KolomRubrika

Kritikus: Kumbakarna Gugur, Rahwana akan Tumbang!

Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis, dan mantan Komisioner Komnas HAM. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)
Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis, dan mantan Komisioner Komnas HAM. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO – Dalam cerita mitologi Jawa. ketika kita nonton atau membaca cerita pewayangan dalam kisah Ramayana, Adegan saat Hanoman dibakar hidup-hidup. Inilah cerita klimaks dalam pementasan wayang, baik wayang orang maupun wayang kulit. Kisah si kera sakti yang tak mempan dibakar, malah ganti membakar dan mengobrak-abrik kerajaan Negeri Alengka.

Sang kera putih bukannya mati terbakar, namun merajalela menggunakan api yang berkobar pada tubuhnya untuk membakar kerajaan Alengka. Bahkan dia berhasil melarikan diri dan melaporkan peta kekuatan angkatan perang Alengka kepada Rama Wijaya.

Baca Juga:

Perang besar di Alengka. Rama dengan bala tentara pasukan kera menyerbu Alengka. Sedangkan para raksasa bala tentara Alengka menahan serbuan para kera sakti dengan gagah berani pula.

Di tengah medan perang yang dahsyat, kehebatan Kumbakarna yang turut berperang membela negara Alengka. Meskipun berwujud raksasa, kasar dan posturnya tinggi besar, namun sesungguhnya Kumbakarna adalah pribadi yang jujur, bijaksana dan memiliki jiwa nasionalisme yang mengagumkan.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Dia tahu benar bahwa tindakan Rahwana sang kakak tidak benar. Bahkan dia berusaha selalu mengingatkan, meskipun tidak pernah digubris Rahwana.

Karena negeri Alengka tanah tumpah darahnya diserang musuh, jiwa nasionalisme Kumbakarna terketuk. Dia berdiri di barisan terdepan untuk membela tanah tumpah darah sampai titik darah penghabisan. Kumbakarna mati di tangan Rama hanya karena membela Rahwana sang angkara murka.

Rama harus bertarung sangat keras untuk mengalahkan Kumbakarna. Saat kedua tangannya telah terpotong, Kumbakarna masih mampu berperang dengan kakinya yang berukuran raksasa menginjak-injak baletentara kera. Kemudian Rama memotong kedua kali Kumbakarna, namun dia masih tetap berperang dengan menggelindingkan tubuhnya yang luar biasa besar. Namun akhirnya Kumbakarna gugur sebagai pahlawan bangsa setelah terkena panah sakti Rama.

Pilkada 2017 lalu, mengingatkan saya memori sepenggal kisah mitologi Jawa yang saya baca dan menyaksikan dalam Sendratari Ramayanan di Candi Prambanan Medio 90-an. Bagaimana Ahok mendapat tekanan bertubi-tubi, dikrimininalisasi, berbagai kekerasan verbal menjadi korban diskriminasi rasial sampai akhirnya tumbang secara politik dalam Pilkada DKI Jakarta 19 April 2017.

Ahok ibarat Kumbakarna yang gugur di tangan Rama sebagaimana alkisah di atas. Kumbakarna tidak mungkin gugur dan negeri Alengka mustahil jatuh ditangan Rama Wijaya seandainya saja Rahwana tidak menghukum Hanoman.

Baca Juga:  National Cybersecurity Connect 2024 Berlangsung Sukses

Kesalahan terbesar Rahwana (Jokowi) memecat sembarang dari posisi menteri tanpa menghitung hutan Budi dan jasa atas perjuangan mereka. Pasti Hanoman (Anies Baswedan) sakit hati dan nyatakan perang atau lawan dan tahun lalu kita saksikan Anies Baswedan telah sukses obrak-abrik segala jabatan, uang dan otoritas dimiliki oleh Ahok maupun juga Jokowi.

Sakitnya Hanoman (Anies) karena Rahwana (Jokowi), kakaknya Kumbakarna (Ahok), memberi hukuman yang kejam langsung pemecatan dari kursi menteri. Bagaimanapun Anies berguru pada bosnya Prabowo Subianto pemimpin perang ibarat Ramawijaya menyerbu negeri Alengka (Jakarta) berhasil dikuasai setelah menewaskan Ahok sang Kumbakarna.

Tidak bisa disangkal bahwa kematian Kumbakarna karena ulah Rahwana. Hari ini juga kekalahan Pilkada Jakarta Karena ulah Jokowi yang menggunakan segala kekuasaan dan jabatan untuk menyerang semua orang yang bertentangan atau tidak sejalan.

Orang-orang dekatnya yang pernah berdarah-darah dipecat, Istana diisi orang-orang oportunis yang tidak berkorban. Partai politik dihancurkan, aktivis tekan, kelompok Islam dianggap musuh, Pesoalan HAM diabaikan, tiap Kamis berjemur di depan istana diabaikan, rakyat kecil korban sia-sia karena cor kaki diabaikan, kemiskinan, pengangguran, kematian anak dan ibu yang meningkat bahkan kue kekuasaan hanya dinikmati kelompok kecil (oligarki), pembangunan infrastuktur yang masih dalam problematika, gagal membangun energi 35 ribu Megawatt, pembangunan 19 kawasan industri yang belum jadi satupun, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, peningkatan korupsi, kolusi dan nepotisme, penetrasi kapital dan mafia menguasai sumber daya alam, 6 ribu orang papua ditangkap, dianiaya, disiksa dan dibunuh selama 2,5 tahun kepemimpinan Jokowi, dibawah kepemimpinannya masalah Paniai, masalah Tolikara, Manokwari, Yahukimo, Timika dan Jayapura serta berbagai kasus lainnya.

Baca Juga:  473 Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep Resmi Diwisuda, Kampus Kembangkan Kerja Sama Internasional

Sebagai persoalan di pemerintahan tersebut di atas mendasari rendah elektabilitas publik terhadap Ahok. Akhibatnya Ahok tumbang begitu saja.

Kita tidak adil hanya menyalahkan seorang Ahok karena seperti Kumbakarna yang tidak pernah bersalah tetapi menjadi korban secara sadis oleh pasukan kera yg dipimpin oleh Rama. Yang harus bersalah dan merefleksikan atas kekalahan ini adalah Rahwana (Jokowi). Karena ulahnya. Karena itu, kematian kumbakarna (kekalahan Ahok) harus dihormati sebagai nasionalis tulen dan patriotik yang jujur tetapi kita juga akan menyaksikan dengan senjata bernama Jayawijaya Ramawijaya (Prabowo) akan menusuk dan menumbangkan Rahwana (Jokowi) 2019.

Penulis: Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis, dan mantan Komisioner Komnas HAM

Related Posts

1 of 3,141