Ekonomi

Jangan Bandingkan Utang Indonesia Dengan Jepang

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani yang membandingkan utang Indonesia dengan negara Jepang sangat disayangkan. Pasalnya sikap tersebut terkesan menunjukkan bagaimana Sri Mulyani tak siap menghadapi kenyataan dengan utang Indonesia yang sulit dikendalikan.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mencatat total utang pemerintah per Februari 2018 telah tembus Rp 4.034,8 triliun atau naik 13,46% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Utang yang dalam bentuk pinjaman ini terbagi dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Untuk pinjaman luar negeri sebesar 19,13% atau Rp 771,6 triliun yang terdiri dari pinjaman bilateral 8,21% atau Rp 331,24 triliun. Sementara untuk pinjaman dalam negeri hanya 0,14% atau sebesar Rp 5,78 triliun.

Kaitannya dengan utang Indonesia, mestinya Sri Mulyani melakukan pendekatan ekonomi dalam menjawab dan menyelesaikan masalah tersebut. Bukan malah menggunakan pendekatan politis, dengan membanding-bandingkan utang negara Jepang.

Membandingkan utang Indonesia dengan Jepang melalui sudut pandang nominal dan ratio utang jelas salah kaprah. Memang, utang Jepang secara nominal jauh lebih tinggi dari Indonesia. Rasio utangnya pun juga lebih dari 200%, tertinggi di dunia. Namun, cara pandang semacam itu adalah cara pandang politis bukan representasi ekonom.

Baca Juga:  Bapenda Tulungagung Berikan Apresiasi Pada Wajib Pajak di TAX AWARD 2024

Sebagi informasi, utang Jepang dipegang mayoritas dalam negeri Jepang sendiri. Bahkan hampir 50% dipegang oleh Bank Sentral. Itu artinya, pemerintah Jepang berhutang pada rakyatnya sendiri. Rate Bunga Utang juga sangat rendah. Hanya sekitar satu koma sekian persen. Jika dibandingkan dengan rate yang diberikan oleh pemerintah Indonesia jelas jauh.

Begitupun dengan credit rating Jepang, Indonesia tidak ada apa-apanya. Maka dalam hal ini Sri Mulyani mestinya harus komprehensif dan jernih berpikir.

Berdasarkan NIIPs, jika dibandingakan dengan Jepang Indonesia kalah telak. NIIPs adalah Net International Investment Positions. Dimana sebuah negara dengan NIIPs yang positif, itu menunjukkan negara tersebut memiliki net external assets, bukan net external liabilities. Dengan demikian, negara itu adalah negara kreditor.

Nah, Jepang dalam konteks ini memiliki NIIPs tertinggi di dunia yang mencapai 2,812,543,005,181 USD. Sementara Indonesia nilai NIIPs-nya memprihatinkan,  – 413,106,000,000 USD. Minus (-) disini menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara debitur.

Baca Juga:  Bandara Internasional Dhoho Kediri Diresmikan, Khofifah: Pengungkit Kesejahteraan Masyarakat

Jadi membandingkan utang Indonesia dengan Jepang sebagaimana yang dilakukan Sri Mulyani, mencerminkan sikap mlipir dari kenyataan. Artinya, melihat utang Indonesia dengan membandingkan utang negara-negara maju adalah keblinger.

Kalau hanya perbandingan nominal, jelas utang Jepang jauh lebih tinggi. Begitupun dengan Amerika. Namun kemampuan untuk membayar utang kedua negara ini yakni Jepang dan Amerika, mereka jauh lebih mampu.

Sebab kedua negara tersebut memiliki aset (net external assets) yang banyak dan dimana-mana. Dengan kata lain, baik Jepang atau Amerika mereka mempunyai kemampuan membayar utang dua kali lipat dibanding Indonesia. Apalagi, kasus utang Jepang dipegang oleh mayoritas dalam negeri sendiri. Sehingga Jepang sebenarnya adalah negara kreditur. Sedangkan Indonesia, diakui atau tidak adalah negara debitur.

Maka tidak nalar kemudian, jika pemerintah terus memaksakan diri utang, tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar utang-utang tersebut.

Terbaru BPS (Badan Pusat Statistik) bahkan mencatat selama tiga bulan terakhir, neraca perdagangan Indonesia terus mengalami defisit. Tercatat sejak Desember 2017 hingga Januari dan Februari 2018. Bahkan di bulan Februari lalu, neraca perdagangan mengalami defisit mencapai US$ 0,12 miliar.

Baca Juga:  Sumenep Raih Predikat BB Dalam SAKIP 2024, Bukti Komitmen terhadap Akuntabilitas Publik

Editor: Romadhon

Related Posts

1 of 5