EkonomiPolitik

Pemindahan Ibu Kota Sensitif Digulirkan Saat Ekonomi Indonesia Lagi Berat

Pemindahan Ibu Kota Sensitif Digulirkan Saat Ekonomi Indonesia Lagi Berat. (Ilustrasi: @KemenPUPR)
Pemindahan Ibu Kota Sensitif Digulirkan Saat Ekonomi Indonesia Lagi Berat. (Ilustrasi: @KemenPUPR)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera menyebut rencana pemindahan Ibu Kota Negara yang digulirkan Presiden Joko Widodo pada pidato kenegaraan di sidang tahunan MPR 2019 bukanlah isu baru.

Menurut Mardani isu itu sejak zaman presiden-presiden RI sebelumnya juga sudah digulirkan. Akan tetapi, kata dia, yang membuat hal ini cukup sensitif saat ini adalah ide ini digulirkan ketika situasi ekonomi dan keuangan negara lagi berat.

“Di sisi lain, kita belum melihat urgensi pemindahan ibu kota ini. Apakah kalau ibu kota tidak dipindahkan, Negara Indonesia ini akan terancam? Dari mana sumber anggarannya? Siapa yang bakal mengelola proyek pembangunan kotanya?,” kata Mardani dalam keterangannya, Jakarta, Selara (20/8/2019).

Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti di atas, kata dia, mesti dilontarkan, mengingat kebijakan pemindahan ibukota ini menimbulkan dampak yang serius bagi keuangan negara dan masa depan bangsa kita. Dan terbanyak melibatkan komisi II DPR.

Baca Juga:  JKSN Jatim Deklarasikan Dukungan Khofifah-Emil Dua Periode

“Pertama, saya ingin membedah dari sisi anggaran. Mari kita lihat rincian sumber anggaran pemindahan Ibu Kota yang direncanakan Pemerintah (lampiran foto slide anggaran),” ucapnya.

“Dari rincian anggaran ini dapat kita lihat total estimasi biaya Rp. 466 Trilyun. Jumlah ini sangat besar bila dibandingkan dengan hutang luar negeri Indonesia dan APBN tahunan Pemerintah,” imbuhnya.

Saat ini, ungkapnya, Utang Luar Negeri Indonesia sudah mencapai Rp. 5.528 Trilyun (Data Bank Indonesia, April 2019), rencana Belanja Negara di RAPBN 2020 sebesar Rp. 2.528,8 Trilyun dengan defisit Rp. 307,2 Trilyun. Besaran rencana Belanja Negara sebesar Rp. 2.528,8 Trilyun ini belum termasuk biaya pemindahan Ibu Kota, karena menurut pemerintah proses pemindahan ibu kota masih dalam tahap kajian dan perencanaan.

Baca Juga:  Mulai Emil Hingga Bayu, Inilah Cawagub Potensial Khofifah Versi ARCI

“Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi kita menurun menjadi 5,05% (jauh di bawah pertumbuhan ideal minimal 7%), pengangguran terbuka masih tinggi: 6,82 juta orang (5,01%), jumlah penduduk miskin: 25,14 juta orang, industri manufaktur semakin tertinggal,” urainya.

Dari data-data, lanjutnya, dapat dilihat masih beratnya kondisi ekonomi dan keuangan negara. Dana sangat besar sejumlah Rp. 466 Trilyun sangat tidak tepat jika digunakan tuk biaya pemindahan ibu kota negara yang kurang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dana sebesar itu kalaupun ada haruslah digunakan untuk membangun kawasan-kawasan ekonomi dan industri yang tepat sasaran untuk pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah.

Kedua, sambung Mardani, perihal aturan tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dari rincian anggaran dapat kita lihat dari total estimasi biaya Rp. 466 Trilyun, 93,5% (435,4 Trilyun)-nya adalah dari sektor swasta (KPBU dan swasta). Hal ini sangat membahayakan untuk rencana pembangunan Ibu Kota Negara yang merupakan obyek vital negara.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

“Sumber pembiayaan gedung legislatif, eksekutif, yudikatif, serta sarana pendukung dan penunjangnya dari KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) dan Swasta, ini yang dapat mengancam aspek keamanan dan kedaulatan Ibu Kota sebagai objek vital negara,” jelasnya.

“Di dalam Perpres No 38 tahun 2015 Pasal 5 ayat 1 tentang KPBU sudah dijelaskan dengan rinci bahwa infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha adalah infrastruktur ekonomi & infrastruktur sosial, bukan infrastruktur politik/lembaga negara,” tutup Mardani.

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,151