Opini

Negeri Penuh Warisan Utang

Negeri Penuh Warisan Utang

Kebijakan Utang Luar Negeri (ULN) telah ada sejak masa Orde Lama. Tetapi pembengkakan utang, khususnya hutang LN terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa. Pada  saat itu mungkin tidak terpikirkan bahwa dampak utang LN akan terus membebani dan mengegerus anggaran negara sampai saat ini. Akibatnya, alokasi anggaran untuk belanja pembangunan semakin minim.

Jumlah utang LN semakin bertambah, saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998, di mana negara harus terbebani dengan membengkaknya jumlah utang terutama disebabkan depresiasi rupiah terhadap kurs dollar AS. Kondisi ini ikut menyumbang keterpurukan anggaran negara dengan defisit yang semakin besar. Belum lagi beban pembayaran bunga utang LN setiap tahun (interest payment).

Utang yang jatuh tempo pada tahun 2009, misalnya, hampir 3 kali lipat lebih besar dari utang LN yang jatuh tempo tahun 2008 sebesar US$ 2,894 miliar. Pemerintah harus membayar utang LN jatuh tempo tahun depan US$6,514 miliar. Yang menjadi catatan positif adalah utang LN yang jatuh tempo tahun 2010 turun menjadi US$5,215 miliar.

Utang Luar Negeri (ULN) RI tembus US$391,8 miliar atau Rp 5.485 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS) hingga Juni 2019. Utang tersebut bertumbuh 10,1 persen. Pertumbuhan utang lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya, yakni 8,1 persen.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$195,5 miliar atau setara Rp 2.737 triliun, serta utang swasta (termasuk BUMN) US$196,3 miliar atau setara Rp 2.748 triliun. Pinjaman utang LN ini akan jatuh tempo tiap tahunnya hingga tahun 2040.

Dalam hitungan praktis, maka bisa dikatakan penambahan rata-rata utang di era SBY sebesar Rp 130,85 triliun per tahun. Sedangkan di era Jokowi sekitar Rp 452 triliun per tahun.

Seperti di berbagai kesempatan Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengklaim bahwa manajemen utang Indonesia sudah baik, sudah on the track, utang untuk belanja produktif, risiko utang terjaga, bagus, serta pengelolaan utang dilakukan secara profesional. Menkeu juga memaparkan data dan fakta untuk memperkuat klaim tersebut. Sehingga narasi dengan fakta seputar utang benar-benar mengesankan.

Indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur manajemen utang negara adalah dengan melihat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Negara dianggap aman jika rasio utang terhadap PDB di bawah 60%, dan hal ini diakomodasi oleh UU Keuangan Negara. Dari data Kemenkeu dapat dilihat bahwa rasio utang terhadap PDB memang angkanya menurun.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, uap/air panas, termasuk udara, serta sektor tambang dan penggalian. Empat sektor ini mendominasi utang swasta hingga 76,9 persen.

Secara keseluruhan, rasio utang RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per kuartal II 2019 sebesar 36,8 persen. Rasio tersebut diklaim membaik dibandingkan kuartal I 2019. Pemerintah memang telah berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB, namun upaya mengurangi resiko utang LN harus terus dilakukan, baik pemerintah maupun swasta. Penurunan rasio merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia.

Sesungguhnya, pemerintah Republik Indonesia saat ini mengalami kenaikan utang sebanyak 48% (atau hampir dua kali lipat dari pemerintahan sebelumnya) semenjak Presiden Jokowi memulai pemerintahannya pada 2014.

Negara di berbagai belahan dunia sekarang juga tidak luput dari fenomena utang Luar Negeri. Utang Indonesia masih lebih rendah ketimbang India, Vietnam, Thailand dan Malaysia, karena tiap orang menanggung Rp 3 juta rupiah. Di India, misalnya, utang per kapita mencapai US$1.351 atau Rp 19,5 juta, Vietnam US$1.435 atau Rp 20,7 juta, Thailand US$2.655 atau Rp 38,4 juta dan Malaysia US$5.463 atau Rp 79 juta.

Bahkan, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang, utang per kapita RI malah lebih jauh lagi. Satu orang di AS, misalnya, menanggung utang US$62 ribu atau Rp897 juta. Sementara di Jepang, per orang menanggung US$85 ribu atau Rp 1,2 miliar.

Presiden menyerukan agar seluruh kementerian menghemat anggaran belanja untuk memperkecil defisit anggaran negara, khususnya pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah harus berfikir bagaimana cara melakukan penghematan anggaran yang telah dialokasikan?

Penghematan yang bisa dilakukan, misalnya, mengurangi frekuensi perjalanan dinas, baik dalam perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri yang tidak perlu dan tidak mendesak, mengurangi acara seminar, sosialisasi dan rapat-rapat dinas di luar kota dengan menggunakan hotel mewah dan sebagainya.

Khusus untuk penggunaan belanja modal, agar dilakukan penghematan dengan mengkaji kembali hal-hal yang tidak perlu dan kurang bermanfaat, serta melakukan evaluasi atas standar berbagai jenis kegiatan, barang dan jasa yang dapat ditugaskan kepada kementerian terkait untuk menutup ruang terjadinya penyimpangan oleh siapapun yang bertanggung jawab atas program tersebut.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Di lain pihak, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran harus dapat mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel. Sehingga, mempersempit ruang gerak untuk melakukan penyelewengan.

Presiden juga sudah sering mengingatkan jajaran kementerian untuk benar-benar menjaga kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dan meningkatkan keamanan anggaran negara (safety).

Presiden mengatakan, jika pemerintah menaikkan defisit 0,4%, maka sama dengan menambah pinjaman baru sebesar Rp 28 triliun. Penghematan pengeluaran negara yang tidak perlu, justru akan memperkecil penerbitan Surat Utang dan menunda pencairan pinjaman LN. Sudah saatnya pemerintah benar-benar menyikapi permasalahan defisit anggaran dan mencari alternatif solusi yang membuat aman keuangan negara, khususnya APBN.

Selain itu, negara harus menggenjot penerimaan atau pendapatan. Sebab itu, pemerintah harus mencari alternatif penerimaan, salah satunya adalah dengan terus menggenjot dan mengoptimalisasi penerimaan perpajakan dan menggenjot ekspor.

Melihat data ekspor, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih atas turunnya ekspor non migas. Hal ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah karena permintaan ekspor barang-barang masih lemah akibat perekonomian dunia belum pulih. Bahkan, berbagai negara sekarang sedang fokus bagaimana menyelamatkan perekomian mereka masing-masing yang terancam resesi. Karena itu, strategi terbaik saat ini adalah berbenah rumah kita sendiri, perkuat struktur ekonomi domestik, karena perekonomian global sedang limbung dan sulit diharapkan untuk mendongkrak perekonomian.

Data-data tersebut terus mengindikasikan pelemahan secara perlahan tapi pasti produksi industri nasional yang ditunjukkan oleh penurunan impor bahan baku, penolong serta barang modal karena industri Indonesia sangat bergantung barang-barang impor dalam proses produksinya. Namun, Indonesia terus menjadi negara yang konsumtif atas barang-barang impor yang ditunjukkan oleh naiknya impor barang konsumsi dan proyek-pryek infarstruktur.

Ada banyak hal yang bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi selain dari pajak seperti ekonomi kreatif, sektor pariwisata, perikanan dan kelautan (maritim), optimalisasi dan efisiensi dalam kehbijakan energi, kemandirian pangan dan lain-lain.

Jadi dengan melihat pertumbuhan ekonomi di semester II-2019 di level 5,2%. Target tersebut lebih rendah dari target APBN 2019 sebesar 5,3%. Pemerintah saat ini lebih fokus untuk meningkatkan kualitas dari pertumbuhan ekonomi dengan proyek infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehingga dampaknya akan terasa dalam mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Optimisme harus ditabung dan disemai ke berbagai penjuru negeri bahwa Indonesia mampu keluar dari jeratan utang Luar Negeri, karena ini adalah kesepakatan global yang menimpa semua negara di berbagai belahan dunia. Namun, juga perlu diingat, utang luar negeri itu bukan untuk membayar cicilan utang, atau gali lobang tutup lobang, karena sektor pertumbuhan investasi hanya 100 triliun pertahun, coba lihatlah ribuan triliun yang masih tersisa utang kita.

Membandingkan Indonesia dengan Jepang yang rasio utangnya mencapai 230% dari PDB. Utang Jepang memang delapan kali lebih tinggi dari Indonesia, tapi negara ini memberikan utang kepada negara lain, termasuk Indonesia dalam bentuk surat berharga dan pinjaman langsung. Jepang juga merupakan pemegang surat utang Amerika Serikat (AS) terbesar kedua setelah Tiongkok.

Suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang juga sangat rendah. Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya di kisaran 0%, salah satu yang terendah di dunia. Ditambah lagi, hampir seluruh surat utang ini dibeli oleh rakyatnya sendiri. Dengan begitu, dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri. Makanya, beban utang tidak berdampak besar terhadap stabilitas makroekonomi Jepang.

Sebaliknya, Indonesia merupakan pengutang (debitur) murni. Surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar hingga 39%. Bahkan terbesar di antara negara-negara emerging markets yang rata-rata 25%. Kondisi ini mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal.

Utang Indonesia kurang efektif karena tidak diarahkan untuk hal yang produktif. Ini bisa dilihat dari rasio pembayaran utang terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio/DSR) yang mencapai 24-26%. Rasio ini merupakan salah satu yang tertinggi di antara negara-negara berkembang. Selama ini, utang lebih banyak digunakan untuk operasional birokrasi. Peningkatan belanja modal yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur malah lebih rendah dari pembayaran utang, belanja barang dan belanja pegawai. Postur belanja seperti ini akan membahayakan keuangan negara apabila terus dibiarkan karena perlu dipikirkan ulang, bagaimana mengelola uang hutang luar negeri itu. Di usia 74 tahun Indonesia merdeka kita masih jauh dari mandiri secara ekonomi.

Penulis: Aji Setiawan, mantan aktivis mahasiswa reformasi 1998

Related Posts

1 of 3,054