Politik

Gerakan Rakyat Harus Kawal Harapan Lahirnya Agenda Besar Ideologis

NusantaraNews.co, Jakarta – Peta ideologi yang semu dan peta politik kontemporer yang sangat pragmatis sesungguhnya mengalami tantangan dengan adanya kebangkitan populisme dan atau konservatisme (konservatisme istilah Romi/Romahurmuziy dalam Megatrend nya).

Demikian kata Direktur Merauke Circle Dr. Syahganda Nainggolan pada pengajian Alumni Salman Institut Teknologi Bandung, Jl. Margasatwa, Jakarta, Jumat (13/10/2017) bertajuk “Peta Politik Ideologis, Tantangan dan Harapannya”.

“Kita melihat perlawanan rakyat hampir selama dua tahun di Jakarta, melawan kepentingan pemilik modal yang dijalankan Gubernur Ahok, memuncak dengan aksi 7 juta rakyat yang mengepung istana,” terang Syahganda.

Dia pun memperjelas bahwa, kendati konservatisme berbeda dengan populisme, situasi yang terjadi kemudian memunculkan tema-tema ideologis dengan tekanan massa. “Pergolakan rakyat berhasil menghentikan bisnis properti raksasa Reklamasi Teluk Jakarta, meski upaya ini menghadapi perlawanan kembali dari pemerintah pusat,” imbuhnya.

Bagi Syahganda, tema-tema seperti keadilan atas rakyat kecil tergusur (miskin kota dan nelayan), konservasi dan lingkungan hidup serta Islamisasi kepemimpinan local, menjadi keniscayaan di Jakarta. Karena, kata dia, Jakarta merupakan simbol nasional, maka dampak yang terjadi sampai ke daerah daerah.

Baca Juga:  Anton Charliyan: Penganugrahan Kenaikan Pangkat Kehormatan kepada Prabowo Subianto Sudah Sah Sesuai Ketentuan Per UU an

“Gugatan rakyat di daerah-daerah juga terjadi dengan mempertanyakan dominasi ekonomi kelompok tertentu atau aksi menghentikan projek-projek yang dianggap tidak menguntungkan rakyat setempat,” katanya.

Baca: Telaah Peta Politik Ideologis Indonesia Mutakhir

Pada tahun 2018, lanjut dia, isu hak rakyat versus swasta ini menjadi ajang pertarungan besar, seperti projek properti swasta “Meikarta” di Kerawang dan isu penolakan pabrik Semen Indonesia di Jawa Tengah. Begitu juga Freeport di papua dan Newmont di NTB. Apakah tantangan ini mempengaruhi elite partai sehingga semakin ideologis? “Sampai saat ini belum begitu terlihat,” tukasnya sendiri.

Namun, sambung Syahganda, populisme dan/atau konsevatisme ini belum berhenti. Hal pertama, kemiskinan, pengangguran dan ketidak pastian masa depan kalangan grassroot semakin membesar. Ditambah dengan ketimpangan sosial yang belum menurun, kecuali klaim BPS diangka perseratus. Situasi ini menjadi “bahan bakar” bagi tokoh-tokoh populis untuk memberi tekanan politik pada partai, dengan menunjukkan kegagalan partai memperjuangkan nasib rakyat.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Lantik 114 Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Pemkab Nunukan

Kedua, lanjutnya, trend populisme di dunia semakin besar. Fenomena ditingkat tokoh, seperti munculnya Donald Trump, Duterte, Le Pen, Habib Rizieq dll berbarengan dengan dekontruksi eksistensi sebuah negara bangsa , seperti fenomena eksistensi baru Brexit, Catalonia, Skotlandia dan meredupnya eksistensi lembaga kapitalisme global; IMF, World Bank dan WTO.

“Tren populisme ini akan terus mendorong adanya gerakan rakyat yang terus militant dan radikal. Dengan demikian, persoalan ke depan adalah bagaimana dapat mengkompromikan radikalisme rakyat dengan kepentingan pertai partai politik, di mana partai partai ini sudah diasumsikan tidak ideologis,” jelasnya.

“Dengan demikian, harapan munculnya agenda agenda besar ideologis tetap membara. Dan gerakan rakyat harus terus mengawalnya,” imbuhnya mengakhiri.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 3