Politik

Telaah Peta Politik Ideologis Indonesia Mutakhir

NusantaraNews.co, Jakarta – Direktur Merauke Circle Dr. Syahganda Nainggolan mengemukakan bahwa, untuk memahami pengertian ideologis dalam perpolitikan di Indonesia semakin sulit karena berbagai situasi paradox yang banyak terjadi saat ini.

“Pertama, kita melihat merebaknya tema-tema ideologis dengan menonjolkan kearusutamaan rakyat dan agama dalam kampanye perebutan kekuasaan, baik dalam tingkat nasional maupun lokal, beriringan dengan berpacunya pencarian kontribusi dana politik melalui cara-cara korupsi dan cara menyimpang lainnya,” terang Syahganda pada pengajian Alumni Salman Institut Teknologi Bandung, Jl. Margasatwa, Jakarta, Jumat (13/10/2017)

Kedua, lanjutnya, pemisahan pengelompokan politik (political sphere) antara negara, rakyat dan swasta tidak lagi begitu jelas dan tegas. Market place danpublic space bercampur aduk. Sehingga negara dan kekuasaan yang di masa lalu ditafsirkan untuk sebesar besarnya untuk keadilan social dan kemakmuran rakyat, karena bertumpu pada tafsir ideologis sebuah negara, berbenturan dengan kepentingan swasta yang bersifat akumulasi keuntungan.

“Ketiga, adanya kerinduan akan kehadiran sosok atau figure yang kuat dan melindungi pada berbagai level kepemimpinan, namun pada saat bersamaan stock kepemimpinan defisit, sehingga kepemimpinan diisi oleh tokoh-tokoh yang tidak memerlukan visi, under capacity, cacat integritas and bahkan cenderung menjadi agen dari kepentingan pemilik modal,” sambung dia.

Baca Juga:  Pleno Perolehan Suara Caleg DPRD Kabupaten Nunukan, Ini Nama Yang Lolos Menempati Kursi Dewan

Syahganda mencontohkan, seorang pelaku politik nasional yaitu ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, juga mengakui adanya kecenderungan politik pragmatis, bertumpu pada uang, pencitraan diri, muncul instant, koruptif dan anti institusi (baca: tribunnew).

“Tokoh politik lainnya, Pramono Anung, dalam disertasinya juga menyinggung politik berbasis uang semakin menonjol. Untuk menjadi anggota legislative dibutuhkan uang milyaran dan bahkan bisa puluhan milyar,” tambah Syahganda menukil pemberitaan di republika online: biaya kampanye calon legislatif capa Rp 20 Milyar.

Bahkan, kata Syahganda, selevel wakil presiden Jusuf Kalla, dalam dialog “civilization” yang diorganisir Professor Din Syamsudin, Senin, 4 Oktober 2017 di kantor Wapres, mengeluhkan bahayanya situasi politik uang dan pragmatism yang terjadi saat ini.

Bagi Syahganda, dominasi dan hegemoni struktur politik dan kekuasaan yang berbasis kepentingan dan uang, tentu saja menyulitkan pemetaan politik berdasarkan ideologi. “Terutama jika ideologi diartikan bukan hanya artifisial, melainkan sebuah pemihakan mengarus utamakan kepentingan rakyat, keadilan sosial dan kemakmuran bangsa. Lalu bagaimana kita bisa membedah sebuah peta ideologi?” tegas dia.

Baca Juga:  Salam Dua Jari, Pengasuh Ponpes Sidogiri Bersama Khofifah Dukung Prabowo-Gibran

Adapun contohnya, lanjut Shyhaganda, Romi misalnya pada poin keempat “Megatrend”nya, tentang diferensiasi dan konsolidasi partai, melihat kecenderungan pengelompokan sebagai berikut: Kemungkinan pertama, secara sosiologis, situasi politik di Indonesia, terbelah antara kelompok Muslim (PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB), Marhaen (PDIP), kelompok berbasis militer (PD, Gerindra, PKPI) dan berbasis modal (Nasdem, PG, Hanura). Atau disebut Romi sebagai 4 M. Kemungkin kedua, pengelompokan juga bisa semakin ideologis dengan (1) Muslim Tradisionalis yaitu PPP dan PKB, (2) Muslim Modernis adalah PAN, PKS, dan PBB, (3) Nasionalis kanan terdiri atas PG, Ger, Nasdem, PD, PKPI, serta (4) Nasionalis kiri yang berisi PDIP.

“Namun, peta ini akan sulit dipertahankan jika dibenturkan dengan peta kepentingan pemilik modal, misalnya. Atau juga kepentingan koalisi pragmatis. Kepentingan pemilik modal maupun kepentingan aliansi pragmatis bukan saja mampu memisahkan partai satu dengan lainnya dalam pengertian sosiologis atau ideologis Romi, melainkan dapat memecahbelah partai partai tersebut di dalam, seperti yang dialami PPP dan Golkar. Dengan demikian, maka dalam pengertian elit dan kekuasaan, peta ideologis cenderung bersifat derifatif dari peta utama yang bertumpu pada kepentingan elit dan uang,” terang Syahganda.

Baca Juga:  Hasto Tuding Kapolda Jatim Suruh Bawahan Menangkan Prabowo-Gibran, Agusdono: Jangan Ngawur

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 5