Budaya / SeniCerpen

Foto-Foto Raisa – Cerpen M. Rosyid HW

NUSANTARANEWS.CO – Aku memutuskan untuk mengakhiri pernikahan ini setelah aku menikahinya selama lima tahun. Lima tahun yang begitu membahagiakan, apalagi dengan kehadiran Rio, anak kami. Namun, tiga bulan terakhir ini, aku tahu bahwa kami berasal dari dunia yang berbeda dan berjarak. Kasih sayangku sama sekali tidak berkurang karena ia mengandung anak laki-lakiku. Kalimat perceraian itu kuungkapkan saat malam akan menjelang, kata-kata yang telah kupendam selama sembilan puluh sembilan hari dan kulatih setiap hari selama dua bulan persis seperti saat aku berlatih mengucapkan ijab kabul. Di ruang tamu, saat kurasa inilah waktu yang sangat tepat untuk mengutarakan semuanya.

“Raisa, duduklah disini. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu.”

“Tentang Rio, anak kita? Dia baik-baik saja. Dia sekarang sedang bermain bersama Maria di rumah sebelah.”

“Akhir-akhir ini, aku sangat menderita setelah tahu bahwa kamu tidak mencintaiku sepenuhnya. Orang yang kau kenalkan padaku sebagai teman kuliahmu. Kepadanya lah cintamu berlabuh. Aku rasa kamu tidak bahagia menikah bersamaku. Aku juga tidak bisa memaksamu untuk bahagia bersamaku. Kita punya dunia yang berbeda, dan aku tidak bisa memahami duniamu. Aku merasa kita harus mengakhiri pernikahan ini.” Lega sekali, saat kata-kata itu keluar dari tenggorokanku.

“Ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya. Sudah lima tahun kita menikah, Lagipula, Rio masih terlalu kecil seandainya kita harus bercerai.”

“Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku sudah tak mampu lagi menjaga perasaanku, aku tak sanggup melihatmu dengan aktivitas sosialmu lagi. Aku harap kamu besok pulang ke rumah orang tua kamu di Pangandaran.”

“Baiklah Mas. Kalau itu memang keinginan kamu. Jika itu membuatmu lebih bahagia.”

Kemudian Raisa pergi ke kamarnya, yang juga sekaligus kamarku. Berganti pakaian, dan keluar dengan mobilnya. Aku tahu dia sudah tidak mencintaiku lagi, buktinya dia juga tak berniat untuk menghalangiku menceraikannya. Tidak ada raut penyeselan di wajahnya atau gurat kesedihan dalam pandangan matanya. Malam itu, ia pulang dini hari saat aku dan Rio sudah terlelap, sebotol alkohol kutemukan keesokan harinya di ruang tamu dan ia telah menghilang dari rumah ini.

***

Kecurigaanku akan nasib pernikahanku sendiri dan keraguanku akan kecintaannya padaku bermula saat Tio, teman kantorku, meledekku saat kami makan siang bersama tiga bulan yang lalu. “Man, istri kamu sekarang kayak artis ya. Jalan-jalannya ke mall, ke pantai, restoran-restoran mahal.”

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Iyalah, istri siapa dulu? Paiman,” ucapku bangga, walau kebanggan itu sama sekali tak berdasar.

“Coba lihat ini Man, foto-foto istrimu sedang jalan-jalan dimana-mana. Coba lihat!”

Aku mengambil handphone Tio, beberapa foto istriku terpajang di instagram. Raisa sedang mencoba baju baru, makan steak di restoran Jepang, sedang nonton film di bioskop dan puluhan foto lainnya. Memang, akhir-akhir ini kami sering menghabiskan waktu di luar rumah. Aku juga sudah mengagendakan sebulan sekali kami akan bepergian bersama ke tempat-tempat yang menarik.

Foto-foto istriku nampak wajar dan aku sudah memakluminya. Memang semenjak kami pacaran, yang hanya berlangsung tiga bulan dan kemudian aku melamarnya, dia memang hobbi berfoto-foto ria. Selfie, itu istilah jaman sekarang. Setelah berfoto dan mendapatkan sekitar dua puluh gambar, ia akan memilih satu yang menurutnya terbaik dan mengunggah fotonya di media sosial. Istriku bilang kalau media sosial itu namanya instagram. Aku tahu media itu tapi kerjaku dari pagi dan malam membuatku tak sempat untuk melihat aktivitas istriku di media sosial. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari sebuah media sosial, batinku.

“Kamu baru tahu kalau istriku seperti Dian Sastrowardoyo? Ah, kamu ini,” kataku sambil menyerahkan handphone-nya, sambil tersenyum aku mengamini bahwa istriku memang cantik.

“Ya aku kan hanya ketemu dia dua kali, saat pernikahanmu dan setahun lalu saat kita berlibur bersama ke Bali. Sekali-kali lah bawa ke kantor,” timpal Tio.

“Ngawur kamu ini, kamu lah yang sekali-kali datang ke rumahku,” kataku sambil memukul lengannya.

“Tapi foto mesra berduanya mana Man? Atau bertiga dengan Rio?” Tanya Tio tiba-tiba.

“Istrimu hanya berfoto sendiri. Kesannya dia sendiri dan belum punya suami,” ujarnya meneruskan. Nasi yang mau kutelan tersedak di tenggorokan.

“Ah, itu kan hanya kesanmu, apalagi yang hanya terkesan dari media sosial. Kami baik-baik saja, yang foto-foto mesra tidak untuk dikonsumsi publik” kilahku dari pertanyaan Tio, padahal seingatku hanya ada satu foto berdua kami. Yaitu ketika kami di atas panggung pernikahan, foto itu terpajang di ruang tamu rumah kami.

“Hati-hati lho, suami itu harus tahu setiap kegiatan istrinya, tak terkecuali di media sosial,” ujarnya sambil berdiri mengangkat piring yang makanannya telah tandas. Tio memang baik, aku telah mengenalnya selama tujuh tahun semenjak aku kerja di bisnis travel ini. Tidak hanya masalah keluarga, ia juga sering menasihatiku tentang banyak hal.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Setelah makan siang, aku bekerja dengan hati yang memikirkan Raisa. Benar juga kata Tio, ia tidak pernah menggugah foto kami sekeluarga walaupun ia sering memotret kami bertiga. Ia memang maniak media sosial semenjak dulu, dan aku tahu itu betul-betul. Sering sekali aku menegurnya karena matanya yang tidak pernah lepas dari layar hape. Dia sering berselancar di media sosial dan sering sekali berfoto sendiri. Setiap ada spot foto yang menarik hatinya ia akan mengambil foto dirinya sendiri kemudian menggugahnya ke media. Setelah mandi, dia akan mengambil foto berkali-kali di depan cermin. Dan itu tidak hanya sekali, tapi setiap hari. Saat kuajak keluar dan makan di restoran, ia akan berfoto dahulu dengan makanannya sebelum melahapnya. Gayanya pun beraneka ragam yang tidak mampu aku ikuti. Pernah suatu ketika ia menegurku yang bergaya ala kadarnya saat di depan kamera. “Kamu ini Mas, sedikit bergaya lah kalau mau dipotret,” katanya waktu itu.

Setelah percakapan sesaat dengan Tio itulah aku semakin sering mengajak Raisa kencan keluar rumah, bahkan kadang-kadang kutitipkan Rio ke neneknya agar kami bisa menikmati waktu berdua. Ia nampak biasa-biasa saja, tidak ada yang perlu dirisaukan.

***

Malam begitu larut saat aku berjalan gontai keluar kantor. Menarik tuas pintu tanpa bertenaga dan membuka pintu mobil dengan ogah-ogahan. Kalau bukan karena Raisa yang meneleponku sejam yang lalu agar aku segera pulang karena dirinya telah memasak makanan malam khusus untukku, aku tidak akan pulang dan lebih memilih tidur di kantor. Saat aku hendak menyalakan starter, tiba-tiba wajah Tio ada di kaca samping mobil.

“Bisakah aku numpang? Satu arah kan? Mobilku sedang dipakai istriku untuk menjenguk orang tuanya di kampung.”

“Tentu, masuklah.”

Jalanan kota Bandung sangat lengang karena memang jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, orang-orang sudah berkumpul di rumah masing-masing. Kupacu mobilku secepatnya, kerinduanku akan Raisa dan Rio sudah di ubun-ubun kepala.

“Kemarin kamu habis dari Puncak Bogor ya?” Tio mengagetkanku.

“Iya, kok kamu tahu?”

“Biasa, istrimu kan setiap habis melakukan sesuatu atau bepergian kemana pasti menggugahnya di media sosial,” ujarnya sambil menatap layar handphone-nya. Aku juga masih fokus dengan jalan walau kadang-kadang menoleh ke arahnya.

“Oh pantesan. Mumpung libur ya jalan-jalan. Kalau setiap hari bekerja gak akan ada habisnya. Hari ini saja harus pulang jam segini,” ujarku sambil mengeluh.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Eh Man. Kamu kenal Prayoga Setiawan gak?”

“Enggak,”

“Si Yoga ini kulihat sering sekali berkomentar di foto-foto istrimu. Bahkan di list komen foto Raisa, namanya selalu ada. Coba lihat deh, komentar-komentarnya aneh juga, sepertinya dia dekat dengan istrimu. Di akunnya Yoga hanya ada satu gambar pemandangan gunung. Tanyakan aja ke istrimu Man.”

Kulihat foto-foto istriku di hape Tyo yang penuh dengan komentar Yoga yang berbalas-balasan dengan Raisa. Sesuatu rasa menohok ulu hatiku. Dadaku tiba-tiba menjadi sesak. Ah, kadang-kadang aku menyesal tak punya waktu berlebih untuk melihat media sosial, terutama punya istriku.

Setelah mengantarkan Tyo, kukebut mobil menuju rumah dan kutemukan istriku sedang menonton televisi. Sambil melepas sepatu dan kemejaku, kutanya istriku.

“Sa, siapa itu Yoga? Nama lengkapnya Prayoga Setiawan? Kok dia sering berkomentar di instagram-mu?”

“Oh itu temanku kuliah dulu Mas. Mungkin dia mau menjalin silaturahim karena semenjak lulus kuliah gak pernah ketemu. Aku sih berprasangka baik aja.”

“Tapi kok seperti akrab sekali?”

“Biasa Mas, teman lama, jarang ketemu.”

***

Keesokan harinya aku mencoba memasuki dunia sosial, aku ingin tahu sebenar-benarnya Raisa. Tyo mengajariku media sosial mulai dari instagram, facebook, twitter, path, dan bbm. Selama ini aku tahu semua media sosial itu, tapi hanya sebatas tahu dan tak mampu untuk mengoperasikannya. Lambat laun, hari berganti hari. Aku semakin tahu bahwa Raisa begitu aktif di media sosial, aku mulai diam-diam mengamatinya. Dia yan tinggal seharian dirumah dan keluar saat bersamaku ternyata mempunyai dunia yang begitu berbeda dari yang kutahu. Dia sering keluar rumah saat aku sedang bekerja dan bertemu dengan teman-temannya, dan juga pacar barunya.

Seminggu setelah Tyo mengajariku aku telah tahu bahwa dia sudah berselingkuh lama sekali. Dari data-data media sosial istriku dan anggapanku sendiri, perselingkuhan itu sudah setahun berlalu. Persis dengan orang yang selalu berkomentar di deretan foto-fotonya. Dua bulan aku terus membuntuti istriku dan menceraikannya di hari pertama bulan ketiga.

Hal yang paling menusuk hatiku datang empat belas hari setelah aku menceraikannya. Aku menemukan foto Raisa sedang berpelukan dengan Tyo di sebuah kafe. Foto kedua yang diunggah di akun Prayoga Se(tyo)wan.

*M. Rosyid HW (Muhammad Rosyid Husnul Waro’i), lahir di Sidoarjo, 10 Oktober 1993 Alumnus Sastra Inggris Fakultas Humaniora, UIN Maliki Malang.

Related Posts

1 of 49