NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menjelaskan soal utang yang ramai menjadi perbicangan publik. Menurut Menkeu, para elit politik dan ekonom banyak yang tidak komprehensif melihat persoalan utang ini. Kata dia, hanya menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintah jelas memberikan kualitas analisis dan masukan yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan.
Lebih lanjut, Menkeu juga menyebut perhatian politisi dan ekonom mengenai kondisi utang dalam beberapa bulan terakhir terjebak pada isu yang dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang yang kemudian mempengaruhi masyarakat.
Menkeu mengajak kita mendudukkan masalah utang dalam konteks keseluruhan kebijakan ekonomi dan keuangan negara. “Karena utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian,” katanya.
“Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: Penjelasan Lengkap Sri Mulyani Soal Utang yang Sudah Mencapai Angka Fantastis
Intinya, Menkeu meminta masyarakat tak perlu khawatir soal utang. Sebab, melihat utang harus dari kacamata neraca serta melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap PDB, defisit APBN dan posisi utang pemerintah terus dikendalikan di bawah ketentuan UU Keuangan Negara.
Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier mengingatkan agar pemerintah sebaiknya tidak menganggap enteng persoalan utang ini. “Jangan pula menganggap bahwa para ekonom pengkritik tidak tahu persoalan alias merasa pintar sendiri. Karena cepat atau lambat pasar akan menyadari bahwa pemerintah akan memasuki masa-masa sulit untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya, dan itulah awal dimulainya krisis,” kata dia seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Dia mengatakan, utang pemerintah selama 3 tahun lebih usia kepemimpinan Joko Widodo naik sekitar Rp 1. 200 triliun.
“Jauh melebihi kenaikan pendapatan pajak yang stagnan sebagai ukuran kemampuan bayar utang,” kata mantan Dirjen Pajak ini.
Menurutnya, pemerintah selalu berdalih bahwa utang negara yang kini berjumlah Rp 4.000 triliun atau sekitar 29,5% dari PDB masih jauh di bawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara yang batas maksimalnya 60% PDB. Dan jauh pula di bawah ratio utang negara-negara lain.
“Utang Jepang yang sering dijadikan pembanding ratio utangnya terhadap PDB jauh di atas 200% tetapi Jepang mempunyai ciri-ciri tersendiri,” ungkapnya.
Baca juga: Menkeu Sebut Ada Pihak yang Sengaja Ingin Membuat Rakyat Resah Lewat Isu Utang
Selain itu, Fuad juga menyoroti soal membengkaknya utang pemerintah karena kurs rupiah yang cenderung melemah sehingga diperlukan uang dari pendapatan pajak yang lebih banyak lagi untuk pembayaran utang dalam valas.
Kekhawatiran lebih lanjut adalah keterbatasan valas untuk membayar utang dalam mata uang asing mengingat 5 hal.
Pertama, neraca perdagangan yang cenderung defisit dalam 3 bulan terakhir ini yaitu dari Desember 2017 sampai dengan February 2018 mengalami defisit total USD1,1 miliar atau rata-rata defisit perbulan USD364 juta. Kedua, kenaikan cadangan devisa yang bersumber dari utang luar negeri dan hot money yang sewaktu-waktu mudah ditarik keluar negeri.
Ketiga, tax ratio yang rendah tetapi cenderung menurun yang mengindikasikan ke depan kemampuan pemerintah akan menurun dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keempat, sektor industri yang merupakan penyumbang pajak (tax revenue) sebesar 31% cenderung menciut karena terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28% (1997) menjadi 20% PDB (2017).
Kelima, kenaikan anggaran 2018 untuk subsidi seperti listrik dan BBM yang akan membebani ekstra APBN karena Presiden Jokowi ingin menjaga dukungan politik rakyat dalam menghadapi pemilu 2019.
Jadi, kata dia, dari segi kajian dengan memperhatikan berbagai variabel yang berkaitan dengan kemampuan membayar kembali utang plus bunganya, utang pemerintah memang mencemaskan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target dan perdagangan yang lesu, pihak swastapun mulai merasakan kesulitan membayar utangnya. Kredit bermasalah di bank-bank cenderung meningkat dan restrukturisasi utang, kabarnya semakin banyak untuk mengurangi status kredit macet.
“Karena itu, atas berbagai kajian ilmiah dan kritik para ekonom, pemerintah tidak perlu sewot apalagi menudingnya sebagai provokasi,” cetusnya. (red)
Editor: Eriec Dieda