Ekonomi

Utang Pemerintahan Jokowi untuk Sektor Produktif, Pembodohan Publik?

utang pemerintah, utang jokowi, utang negara, utang bertambah, nusantaranews, janji jokowi
Ilustrasi utang pemerintahan Joko Widodo selama 4 tahun. (Foto: Ilustrasi/Indpos)

MASYARAKAT masih mengkritisi penambahan utang pemerintah yang setiap tahun bertambah besar. Pasalnya, calon presiden Joko Widodo (Jokowi) semasa kampanye pemilihan presiden 2014 mengatakan, atau tepatnya berjanji, untuk tidak menambah utang negara lagi. Pembangunan ekonomi nasional akan dilakukan secara mandiri. Tetapi, realisasi selama 4 tahun sejak 2015-2018 tidak mencerminkan janji tersebut.

Utang, dan defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) semakin besar. Utang bertambah Rp 1.207,7 triliun selama 4 tahun pemerintahan Jokowi. Masing-masing Rp 298,5 triliun (2015), Rp 308,3 triliun (2016), Rp 341 triliun (2017) dan Rp 259,9 triliun (2018). Defisit 2018 masih merupakan angka sementara. Total defisit dan penambahan utang tersebut jauh lebih besar dari penambahan utang selama dua periode (10 tahun) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang jumlahnya sebesar Rp 905,3 triliun.

Sebagai pembenaran penambahan utang, pemerintah berkilah bahwa pembangunan ekonomi nasional, khususnya infrastruktur, mustahil dapat dilakukan tanpa utang. Pemerintah juga mengatakan bahwa infrastruktur kita sangat tertinggal. Sehingga pembangunan infrastruktur harus dipercepat guna mengejar ketertinggalan tersebut. Pemerintah juga mengatakan bahwa defisit APBN dan utang, seharusnya tidak menjadi masalah dan tidak perlu dipersoalkan selama digunakan untuk sektor produktif dalam pembangunan ekonomi nasional seperti pembangunan infrastruktur.

Anggap saja alasan pemerintah benar bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa lepas dari utang, bahwa utang pemerintah tidak masalah selama digunakan untuk pembangunan sektor produktif seperti infrastruktur yang selama ini menjadi andalan pembangunan ekonomi nasional pemerintahan Jokowi.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah benar defisit APBN dan utang pemerintah yang besar tersebut digunakan untuk sektor produktif, pembangunan infrastruktur, seperti yang diklaim pemerintah? Bagaimana mengukurnya? Untuk itu mari kita uji kebenaran alasan pemerintah tersebut di atas.

Baca Juga:  Loloskan Ekspor Kepiting Berkarapas Kecil, Pengusaha dan Balai Karantina Ikan Diduga Kongkalikong

Pertama, defisit pada APBN (dan utang pemerintah) terjadi karena Penerimaan Negara secara keseluruhan lebih rendah dari Belanja Negara secara keseluruhan. Artinya, kalau Penerimaan Negara pada periode tertentu hanya Rp 1.000 triliun sedangkan Belanja Negara Rp 1.200 triliun maka terjadi defisit, atau penambahan utang, Rp 200 triliun.

Pada komponen Belanja Negara sebesar Rp 1.200 triliun tersebut terdapat Belanja Rutin (Pegawai, Kepolisian, Ketentaraan, Hukum, dan lainnya) Rp 800 triliun. Belanja Sosial (Pendidikan, Kesehatan, Subsidi, dan lainnya) Rp 200 triliun. Sedangkan Belanja Modal (Infrastruktur, dan sejenisnya) Rp 200 triliun.

Berdasarkan data ini, apakah kita bisa mengatakan bahwa defisit Rp 200 triliun tersebut timbul dari Belanja Negara yang mana? Dengan kata lain, apakah kita bisa memilah defisit (atau penambahan utang) sebesar Rp 200 triliun tersebut terjadi akibat digunakan untuk Belanja Rutin ? Belanja Sosial atau Belanja Modal?

Jawabannya, tentu saja defisit APBN tidak bisa dipilah-pilah apakah digunakan untuk sektor tertentu saja karena Belanja Negara merupakan satu kesatuan: kecuali memang ada program pinjaman untuk proyek tertentu.

Oleh karena itu, klaim pemerintah bahwa defisit APBN digunakan untuk Belanja Modal, atau sektor produktif, tidak bisa dibenarkan. Bahkan cenderung memberi informasi yang kurang mendidik kepada publik. Yang lebih mengkhawatirkan, dengan kondisi defisit APBN yang sama pada pemerintahan sebelumnya, pemerintah yang sekarang akan mengatakan sebaliknya.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Pemerintah akan mengatakan defisit Rp 200 triliun tersebut terjadi akibat digunakan untuk Belanja Sosial, atau non-produktif. Hal ini untuk menjadi pembenaran bahwa utang sekarang digunakan untuk sektor produktif sehingga tidak masalah. Sedangkan dulu digunakan untuk sektor non-produktif, maka menjadi masalah.

Kalau sudah begini maka yang terjadi adalah pembenaran sepihak dan interpretasi sesukanya, tanpa dasar sama sekali.

Kedua, alasan pemerintah bahwa defisit APBN dan utang pada pemerintahan Jokowi digunakan untuk sektor produktif. Sedangkan pada pemerintahan sebelumnya lebih digunakan untuk sektor non-produktif).

Mari kita uji kebenarannya. Caranya dengan menggunakan data realisasi Belanja Modal dan Defisit APBN periode 2010-2018 yang diambil dari LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) yang sudah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Untuk periode 2010-2014 (pemerintahan kedua SBY), realisasi total Belanja Modal sebesar Rp 677,3 triliun. Total Defisit sebesar Rp 722,9 triliun. Berarti, rasio Belanja Modal terhadap Defisit mencapai 93,7 persen. Dengan kata lain, penyerapan Defisit untuk sektor Belanja Modal, atau sektor produktif, mencapai 93,7 persen.

Sedangkan selama 4 tahun pemerintahan Jokowi, realisasi total Belanja Modal hanya mencapai Rp 778,5 triliun. Total Defisit mencapai Rp 1.207,7 triliun. Dengan demikian, rasio Belanja Modal terhadap Defisit hanya 64,5 persen saja.

Tampak bahwa penyerapan defisit APBN untuk sektor Belanja Modal, atau yang di-klaim sebagai sektor produktif, hanya 64,5 persen saja. Jauh di bawah penyerapan di era periode kedua pemerintahan SBY. Kalau kita bandingkan dengan periode pertama pemerintahan SBY, maka terlihat jauh lebih buruk lagi.

Baca Juga:  Harga Beras Meroket, Inilah Yang Harus Dilakukan Jawa Timur

Jadi, berdasarkan fakta dan data realisasi APBN tersebut, klaim bahwa penyerapan defisit APBN dan penambahan utang pada pemerintahan Jokowi digunakan untuk sektor produktif tidak terbukti, dan hanya ilusi saja. Bahkan faktanya jauh lebih buruk dibandingkan dengan masa pemerintahan SBY.

Ketiga, kalau defisit atau utang digunakan untuk sektor produktif maka peningkatan pertumbuhan ekonomi seharusnya lebih besar dari penambahan utang dari defisit APBN. Artinya, rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) seharusnya menurun. Faktanya, rasio utang terhadap PDB malah membesar dari 24,7 persen pada 2014 menjadi 29,39 persen pada 2017, yang mana menunjukkan bahwa penggunaan utang kurang efisien dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Jadi kesimpulannya adalah bahwa klaim penambahan utang dan defisit APBN pada pemerintahan Jokowi, digunakan untuk sektor produktif hanya ilusi saja. Pertama, karena penggunaan utang pada hakekatnya tidak bisa dipilah-pilah untuk sektor apa. Sebab penerimaan negara menjadi satu kesatuan. Belanja negara juga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipilah pendanaannya.

Kedua, dengan menggunakan rasio belanja modal terhadap defisit, maka terlihat bahwa kualitas penggunaan atau penyerapan defisit (utang) untuk belanja modal di pemerintahan Jokowi faktanya jauh lebih buruk dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.

Oleh: Prof. Dr. Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Related Posts

1 of 3,056