Catatan Kritis Amien Rais Soal Divestasi 51 Persen Saham Freeport

Amien Rais (Foto NUSANTARANEWS.CO/Romadhon)

Amien Rais (Foto NUSANTARANEWS.CO/Romadhon)

Amien Rais (Foto NUSANTARANEWS.CO/Romadhon)
Amien Rais (Foto NUSANTARANEWS.CO/Romadhon)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada 26 Juli 2018 lalu, Indonesian Resources Studies (IRESS) bekerjasama dengan Fraksi PAN DPR-RI menyelenggarakan diskusi nasional bertajuk Menggugat Kerjasama Pengelolaan Freeport di Kompleks DPR/MPR Senayan. Tema diskusi ini memang tengah hangat menyusul klaim pemerintah Joko Widodo yang menyebut telah sukses menguasai 51 persen saham Freeport.

Salah satu tokoh yang ikut hadir dalam diskusi tersebut ialah Amien Rais. Tokoh nasional dan politikus senior. Turut hadir pula ekonom senior Fuad Bawazier.

Berikut redaksi suguhkan catatan Amien Rais tentang divestasi 51 persen saham Freeport sebagaimana klaim pemerintahan Jokowi.

Baca juga: Jokowi Bohong Soal Akuisisi Saham Freeport Sebesar 51 Persen

Diskusi membahas isu nasional terkait kerjasama pengelolaan Freeport, terutama isu divestasi 51 persen saham perusahaan kepada Indonesia. Divestasi bermakna penjualan dari bisnis dimiliki oleh PT Freeport Indonesia kepada Pemerintah Indonesia. Amien Rais secara tegas menuntut agar tambang Freeport-McMoran ditutup saja.

Setelah Indonesia dibodohi oleh Freeport-McMoran Inc sejak 1967 dengan penjarahan emas, perak, tembaga dan berbagai mineral ikutan lainnya, bulan Juli ini kita digemparkan oleh sebuah narasi versi pemerintah bahwa Freeport telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi lewat Head of Agreement Indonesia-Freeport.

Points of HoA itu pertama, PT Freeport Indonesia’s (PTFI) legal foundation will be in the form of Special Mining Permit (IUPK) and not Working Contract (KK). Kedua, the Investment of 51 % of PTFI shares is for the Indonesian national ownership.

Baca juga: Guru Besar UI Minta Publik Tak Terjebak Eforia Soal Divestasi Freeport

Ketiga, Freeport is to build smelters in Indonesia. Keempat, state revenue ini aggregates will be higher than the ongoing state revenue with KK scheme.

Kelima, operational extension of 2 X 10 years will be given if PTFI fulfills its IUPK obligation. PTFI will receive an operational extension until 2041.

Kalimat ‘Freeport telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi’ menjadi buyar setelah pihak Freeport (Richard Adkerson) maupun Indonesia (Ignasius Jonan) mengakui HoA itu tidak mengikat. Artinya, kapan saja bisa dibatalkan. Meminjam pernyataan Jonan, tapi ini framework buat transaksi. Ini sebenarnya secara hukum HoA itu tidak pernah mengikat.

Para pengamat ekonomi dan pertambangan yang jujur, seperti Dradjad Wibowo dan Marwan Batubara telah menyebut bahwa HoA itu masih memerlukan negosiasi panjang. Selain operasional tetap di tangan Freeport, juga tidak satu pun Bank Pemerintah yang bersedia mengutangi Inalum Indonesia untuk memperoleh uang sebesart US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 55 triliun. Utang itu harus dari Bank Asing sepenuhnya. Di samping itu, ada berbagai masalah technicalities yang tidak mudah.

Baca juga:

Sesuai Working atau Kontral Karya 1967, di mana Indonesia hanya mendapat royalti sekitar 1 persen dan pajak yang sepenuhnya sesuai kemauan Freeport, WC/KK itu berakhir pada 2021. Walapun ada pasal yang meneyebutkan dapat diperpanjang sampai 2041.

Saya berpendapat KK (Kontrak Karya) dengan Freeport sebaiknya ditutup. Sekali untuk selamanya. Titik. No extension, full stop. Mengapa? PT Freeport-McMoran Indonesia telah melakukan 4 macam kejahatan.

Pertama, kejahatan lingkungan. Sejak 50 tahun lalu, rata-rata limbah atau tailing yang dibuang ke berbagai sungai (Aghawagun, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimue) dan tanah subur di sekitar sungai mencapai jumlah 700.000 ton per hari. Diperkirakan beberapa tahun lagi jumlah limbah bakal menyundul angka 6 sampai 7 miliar ton.

Di tahun 2005 New York Times menulis limbah/tailing Freeport lebih besar dari tanah yang dikeruk untuk Terusan Panama. Sementara Jatam menghitung, bila limbah itu dibuang ke Jakarta yang luasnya 660 km2, tanah permukaan DKI bertambah tinggi sekitar 5 meter. Bayangkan, begitu dahsyatnya ecocide (pembunuhan lingkungan hidup) oleh Freeport di Papua Barat.

Baca juga: Dibawa Ke Arbitrase, Saham Freeport Akan Langsung Jeblok

Sebuah dana pensiun di Norwegia menarik sahamnya di Freeport sebesar 280 juta dolar karena tidak tega dan tidak mau ikut melakukan ecocide di Papua Barat. Anehnya, kita sendiri cenderung menganggap enteng soal kehancuran lingkungan itu. Bahwa HoA tidak menyentuh sedikit pun tentang ecocide ini membuktikan betapa kita abai dengan kelestarian alam di Papua.

BPK menghitung kerugian yang diderita Indonesia gara-gara destruksi ekologi oleh Freeport sebesar US$ 12,95 miliar. Temuan BPK ini dianggap angin lalu oleh sebagian pemimpin bangsa, yang telah pekok dan tuli karena sudah tertutupi dengan kepentingan ekonomi yang penuh skandal.

Kejahatan kedua adalah pengemplangan pajak oleh Freeport. Ketika saya, akhir 1996 menginap di Tembaga Pura, kota yang sangat mewah dan serba ada, saya berkesempatan melihat langsung lokasi pertambangan Freeport. Saya diberitahu oleh para insinyur muda dari UI, UGM dan ITB bahwa Freeport memasukkan alat-alat berat pertambangan sampai kebutuhan Freeport yang berupa AC, washing machine dan lain-lain secara bebas pajak, karena Freeport merasa seperti negara kecil di atas negara Indonesia.

Baca juga: Benarkah Freeport Dijaga Tentara Amerika?

Setelah saya menulis di kolom resonansi (Harian Republika) pada 1997 bahwa Freeport pasti mengemplang pajak karena pajak yang diterima Indonesia dari Freeport jauh lebih kecil dari yang dibayar Djarum dan Gudang Garam. Maka, tahun berikutnya Freeport menjadi pembayar pajak terbesar. Kata Joseph Stiglitz, Freeport sesungguhnya sadar sedang menjarah SDA Indonesia. Karena itu, bila boroknya dituding langsung mereka akan segera memperbaiki diri. Masalahnya, untuk menuding borok-borok Freeport dan berbagai koporasi lainnya, kita tidak pernah berani.

Kejahatan ketiga adalah kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat Papua yang sering berdemo minta supaya Freeport ditutup. Juga cukup banyak korban tembak mati terhadap orang-orang yang berusaha mengais satu atau dua gram emas di lembah buangan limbah Freeport. Berbagai Gereja di Papua Barat memiliki data mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas Freeport, dan tidak jarang menggunakan sebagian tentara dan polisi yang sempat didekati dan dikooptasi oleh Freeport.

Kejahatan keempat, Freeport menjadikan Indonesia sebagai corporate state. Sehingga, setiap korupsi berskala mega di Indonesia hakekatnya telah menjadi state capture corruption. Negara rela membiarkan aparat keamanan, pertahanan, hukum dan birokrasinya tunduk sepenuhnya di bawah keputusan korporasi internasional yang berada di luar jangkauan negara. Negara tidak mampu mengatur dan meletakkan kepentingan korporasi di bawah kepentingan nasional bangsa Indonesia.

Inilah saat yang kita nantikan telah tiba. Saat untuk benar-benar mengembalikan tambang emas, perak, tembaga yang selama ini dikelola oleh Freeport-McMoran Inc dan Rio Tinto ke pangkuan Ibu Pertiwi. Caranya, Kontrak Karya dengan Freeport tidak perlu diperpanjang. Tetapi sebelum ditutup, Indonesia harus menghitung berapa dollar/rupiah yang harus dibayar Freeport untuk mengganti kehancuran lingkungan yang telah ditimbulkannya selama 50 tahun terakhir.

Baca juga: Kesalahan Besar Pemerintah, Membuang Uang Sia-sia ke Freeport

Berbagai bentuk pajak yang dikemplang harus dihitung secara cermat dan harus segera dibayar. Pelanggaran HAM yang dilakukan Freeport harus dibuka tuntas, jangan sampai saudara-saudara kita di Papua Barat berkesimpulan Pemerintah Jakarta bersengkongkol dengan Freeport dalam menggarong dan melanggar HAM masyarakat Papua.

Tahun 2007 lalu Joseph Stiglitz berceramah di Jakarta, di sebuah forum yang diselenggarakan oleh Majalah Tempo. Isi ceramahnya mengejutkan, Indonesia dianjurkan supaya melakukan negosiasi ulang pada semua kontrak pertambangan yang merugikan Indonesia. Bahkan, dia mengatakan, kalau perlu melakukan nasionalisasi korporasi asing seperti dilakukan oleh Bolivia. Penduduk Bolivia yang hanya 8,5 juta, sekarang 10 juta, sejak 2006 di bawah Precsiden Evo Morales, berkat negoisasai ulang, kocek nasionalnnya belipat 300 persen dari sekitar 3 miliar dolar Amerika menjadi 9 miliar dolar.

Morales dipilih untuk ke empat kalinya. Dan begitu Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika, Morales mengirimkan pesan ke Trump; We want respect, not submission or blackmail. Sampai sekarang kita belum punya presiden seberani Morales, yang hanya lulusan STM dan mantan ketua Serikat Buruh Bolivia.

Saya gagal memahami, ada sebagian pemimpin dan ahli hukum yang menyatakan bahwa Indonesia sudah kalah janji dan kita tidak bisa mengubah Working Contract dengan Freeport, kecuali kalau kita mau dijadikan Irak kedua. Dan segala dalih lain yang menggelikan.

Baca juga: Pemilik Hak Sulung Tuntut Hak Tanah Adat Dari PT Freeport

Dalam perjanjian perdata antar negara, kita kenal dua doktrin. Pertama, pacta sun servanda, semua perjanjian harus dilaksanakan. Doktrin kedua sama kuatnya, berbunyi rebus sic stanibus yang berarti sesuai perkembangan keadaan. Doktrin kedua ini berarti, bila ternyata di belakang hari terjadi situasi yang berbeda dan salah atu pihak merasa dirugikan, maka pihak itu dapat melakukan negoisasi ulang.

Sesungguhnya, kehancuran ekologi Papua Barat yang demikian dahsyat di sekitar lokasi penambangan Freeport sudah lebih dari cukup untuk bukan saja tidak perlu melakukan negoisasi ulang, tetapi tidak perlu lagi memperpanjang kontrak. IUPK dan semacamnya sesungguhnya tidak kita perlukan lagi!

S&P 500, Standard and Poors dari MCGraw-Hill sudah menetapkan Freeport-McMoran sebagai the worst performer karena telah menghancurkan ekologi sekitar pertambangan secara sangat ganas. Jadi kita tunggu apa lagi? Kapan kita berhenti sebagai bangsa yang seolah-olah masih dihinggapi mental inlander, yang seakan masih menderita penyakit kompleks-inferioritas.

Saya tidak tahu persis tentang ketakutan kita. Bila ada perselisihan Indonesia dengan Freeport, maka dispute itu harus dibawa ke arbitrase internasional. Sementara Cina tidak pernah membawa dispute dalam bentuk apapun kecuali ke arbitrase Cina sendiri.

Alternative dispute resolution the PRC: among the various ways of setting disputes between Chineses and foreign parties, arbitration remains in the most popular. Notably, the China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC) has emerged in recent years as a wolrd heavyweight in terms of numbers of caes heard each year. (Chicago Journal of International Law, Vol. 7/Number 1 Summer 1997). (red/nn/meh)

Editor: Banyu Asqalani & Eriec Dieda

Exit mobile version