Ekonomi

Kesalahan Besar Pemerintah: Membuang Uang Sia Sia Ke Freeport

Freeport dan Jokowi (Foto Istimewa)
Freeport dan Jokowi (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Divestasi saham Freeport 51 persen yang dilakukan Presiden Jokowi merupakan langkah yang tepat. Yakni mengusir pemilik modal asing dengan mendivestasi saham. Hanya saja kesalahan pemerintah adalah memberi ‘tali asih’ secara cuma cuma terhadap pihak yang sudah dipinjami lahan. Artinya uang sebesar Rp. 55,44 triliun terbuang sia-sia.

Pertanyaanya, kenapa tidak dilakukan dengan men-nol-kan saham? Dengan kata lain menunggu kontrak perjanjian operasi Freeport selesai. Pasalnya perjanjian itu akan berakhir hanya tinggal hitungan tahun. Maka pemerintah sebagai pemilik lahan Freeport dan regulator kebijakan nantinya bisa dengan mudah mengeluarkan para korporasi asing tanpa harus mengeluarkan uang hingga 3,85 miliar dolar AS atau setara 55,44 triliun rupiah. Artinya, menunggu kontrak Freeport selesai jauh lebih efektif dan tentu tak menambah beban negara.

Namun, pemerintah sudah terlanjur menunjuk perusahaan BUMN, PT Inalum untuk mengambil saham. Pertanyaannya apakah PT Inalum mampu dan memiliki dana sebesar Rp. 55,44 triliun untuk membayar ke Freeport? Lantas dari mana untuk membayar devistasi 51 persen?

Apakah dari uang negara? Itu pilihan sulit. Karena tentu akan berdampak pemotongan anggaran APBN. Satu satunya cara realistis adalah utang. Konsekuensi logisnya, beban meningkat.

Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin saat di Kemenkeu (12/7/2018), mengungkapkan sudah ada 11 bank yang siap membantu mendanai transaksi divestasi. Namun, dia mengaku belum bisa mengungkapkan bank mana saja yang sudah memberikan komitmennya. Dia mengatakan masih mendiskusikan berapa porsi pendanaan dari bank dan ekuitas.

Baca Juga:
Jokowi Bohong Soal Akuisisi Saham Freeport Sebesar 51 Persen
Guru Besar UI Minta Publik Tak Terjebak Eforia Soal Divestasi Freeport
Pemilik Hak Sulung Tuntut Hak Tanah Adat Dari PT Freeport

Membaca langkah pemerintah dengan menebus uang ke Freeport sebesar Rp. 55,44 triliun, tak ubahnya pemerintah mengeluarkan program tali asih. Bagaimana tidak? Hanya untuk ‘mengusir’ orang yang mendirikan warung di lahan sendiri, si pemilik justru ditodong untuk mengeluarkan uang. Itu kan lucu?

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

Tapi bagaimanapun upaya presiden Jokowi dengan melakukan divestasi merupakan langkah yang sudah benar. Namun, secara ekonomi dan secara ilmu matematis, langkah Jokowi mengeluarkan Rp. 55,44 triliun itu jelas keliru.

Di Indonesia, terlalu banyak para penghianat penghianat yang bercokol di balik Freeport. Sederet persoalan terkait Freeport yang seakan pelik dan sistemik seperti pernjanjian internasional kemudian isu embargo dari barat serta ancaman kemanan Papua lepas serta berbagai isu-isu menakutkan itu justru yang terus memproduksi orang sendiri. Dan ini yang tidak dipahami secara baik.

Sekali lagi, terkait divestasi, ada dua cash. Pertama devistasi saham 51 persen, itu merupakan langkah yang luar biasa. Tapi yang kedua, mengeluarkan uang hingga triliunan rupiah, jelas merupakan langkah keliru. Dalam hal ini, tim ekonomi Jokowi sebenarnya harus berani secara lantang mengatakan, tidak! untuk mengeluarkan uang tali asih. Sebaliknya, pemerintah bisa bersikap lebih berani menggertak mereka untuk keluar.

Perlu ditegaskan bahwa status Joint Venture Agreement (JVA) antara Freeport dengan pemerintah Indonesia adalah B2G (Business to Government). Berbeda jika JVA-nya statusnya G2G (Government to Government), yakni antara pemerintah Amerika dengan Pemerintah Indonesia. Pertanyaanya, Jika Amerika memiliki kedaulatan memproduksi hukum sendiri untuk negaranya, mengapa Indonesia tidak?

Tersandera Hukum Internasional

Kaitannya dengan ini, atas dasar hukum apa yang menyebut Freeport boleh melakukan eksplorasi di Indonesia seumur hidup? Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai negara yang berdaulat, sudah semestinya, Indonesia berhak mengeluarkan produk hukum sesuai yang diinginkan untuk kepentingan negaranya sendiri.

Artinya kasus Freeport, acuan hukum yang digunakan adalah memakai hukum di Indonesia. Bukan hukum yang disebut sebut sebagai hukum internasional. Itu adalah kebohongan besar terhadap publik Indonesia. Ironisnya, isu hukum internasional serta beberapa isu untuk menakut-nakuti publik tanah air, justru diproduksi orang-orang sendiri. Ingat! Status Freeport dan Indonesia adalah B2G. Bukan G2G.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Sebagai contoh saja, seorang warga Indonesia yang terjerat kasus pembunuhan di Amerika, secara hukum jika negara bersangkutan memiliki perjanjian ekstradisi, maka akan diekstradisikan. Jika tidak ada, maka hukum yang berlaku adalah hukum yang ada di Amerika. Begitupun sebaliknya.

Pertanyaannya, Freeport menggunakan hukum yang mana? Jawabannya adalah menggunakan hukum Indonesia, karena ia statusnya adalah Perseroan Terbatas atau PT. Intinya istilah arbitasi ataupun menggunakan hukum internasional, itu menyesatkan. Kabar yang menyebut kasus Freeport memakai hukum internasional itu tidak benar. Dan publik Indonesia sengaja dibohongi.

Sekali lagi, langkah pemerintah, sudah benar, yakni menempuh divestasi, tapi langkah dengan membayar itu tidak benar? Saat ini, pemegang saham terbesar PT Freeport Indonesia adalah Rio Tinto. Sebagai informasi, Freeport McMoran dalam sejarahnya adalah koperasi kecil di Texas, Amerika serikat. Dulunya perusahaan tersebut nyaris bangkrut.

Ia kemudian menjalin kerjasama dan membentuk unit usaha di Indonesia dengan diberi nama PT. Freeport Indonesia (PT. FI), agar seolah seolah milik orang Indonesia. Dalam hal ini ada segelintir orang Indonesia yang ikut menjadi penumpang gelap dari beroperasinya Freeport di dalam negeri. Nah, mereka-mereka inilah yang selalu menghembuskan isu isu menakutkan soal Freeport. Seakan kasus Freeport itu pelik dan rumit.

Bagaimana pun standing position Indonesia dalam kasus Freeport di atas angin. Karena apa? Selain karena memang sebagai pemilik lahan, pemerintah juga memiliki wewenang untuk membuat kebijakan (regulator). Terlebih dalam kasus Freeport statusnya ada B2G. Lantas apa sulitnya? Justru yang membuat rumit dan sulit itu datang dari sebagian orang Indonesia sendiri yang memiliki ambisi agar tetap terus menikmati keuntungan dari beroperasinya Freeport.

Bila pihak Freeport selaku pemilik modal, mengeluarkan ancaman untuk menarik semua mesin mesinnya. Maka pemerintah tak perlu pusing. Mestinya dengan senang hati pemerintah persilahkan mereka untuk mengangkut semua peralatan miliknya ke negara asal.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Hadiri Sosialisasi dan Literasi Keuangan Bankaltimtara dan OJK di Krayan

Dalam hal ini pihak pemilik modal jelas akan berpikir ulang. Sebab mereka tentu akan mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk membawa ke negara asalnya. Pembangun pabrik di Papua, Freeport telah mengeluarkan dana besar hingga triliunan rupiah untuk membeli dan mengirim mesin mesin mereka  ke Indonesia. Dalam hal ini posisi Indonesia memiliki daya tawar sangat tinggi. Mengapa harus takut?

Freeport Dijaga Tentara Amerika

Muncul pertanyaan, jika demikian, lantas mengapa Freeport seakan akan menjelma menjadi seperti Amerika? Itu memang benar, Freeport mengundang para ‘tentara-tentara’ Amerika untuk masuk ke wilayah Papua dan semata mata untuk memberikan ‘pengamanan’.

Namun perlu diketahui bahwa, sebenarnya para tentara tersebut bukanlah tentara resmi Amerika. Melainkan Black Water (tentara bayaran berkedok petugas keamanan) dan Triple Canopy (perusahaan atau korporasi penyedia jasa kemananan di Amerika dengan menggaet mantan militer).

Dengan kata lain, mereka yang bertugas di area Freeport sejatinya bukanlah tentara Amerika asli. Begitupun saat penurunkan pasukan di pulau Diego Garcia beberapa waktu lalu, mereka bukan tentara asli, melainkan Black Water. Dan dalam iklim politik di Amerika itu sudah menjadi hal biasa dan lumrah.

Pada konteks ini, Amerika bukan menjaga kepentingan Freeport, tetapi menjaga kepentingan penduduk Amerika yang berada di luar Amerika. Nah, seharusnya model kebijakan seperti ini bisa diterapkan pemerintah Indonesia. Artinya Amerika memiliki kepedulian luar biasa terhadap seluruh warganya dimanapun berada. Negara hadir untuk warganya.

Begitupun kasus di Irak. Kelompok kelompok Amerika yang melakukan perang, sesungguhnya bukan tentara asli Amerika, melainkan para tentara Black Water. Sebab, tentara asli Amerika  hanya akan terjun perang ketika dalam melakukan serangan udara saja. Selebihnya di luar itu, mereka menggunakan tentara Black Water. Dalam sejarahnya, Black Water merupakan tentara bayaran yang didirikan oleh mantan presiden Josh Bush.

Editor: Romadhon

Related Posts

1 of 3,061