NUSANTARANEWS.CO – Kepulan asap dari dapur keluarga itu semakin menghitam. Setiap kisi-kisi di dindingnya itu sudah tak tampak lagi—dengan senada kayu nangka—kemerahan. Jika dihitung berapa purnama dapur keluarga itu dijadikan tempat untuk memasak olahan yang terbuat dari tepung ketan, gula aren dan sari pati kelapa atau santan mungkin sudah tiga garis keturunan lamanya. Cukup lama memang.
Dapur keluarga itu adalah tempat untuk memasak atau mengolah sajian-sajian untuk hajatan besar disaat hari-hari “kebesaran” keluarga. Atau, membuat olahan warisan leluhur. Sehingga dibutuhkan banyak orang untuk membuatnya.
Seperti saat itu—dalam pembuatan penganan khas Jakarta, dodol—yang sedang ramai dilakukan di dapur keluarga. Dan di sana pula ada Hayati yang ikut membantu.
Hayati adalah anak dari pasangan Sarkum dan Juleha. Sarkum adalah garis keturunan ketiga dari keluarga besar mendiang Haji Hilal, Kakek dari Ayahnya itu.
Dan, Sarkumlah yang harus melestarikan tradisi Kakeknya itu—agar tidak mati suri. Dodol, sebutannya. Ia harus membuat dodol untuk para pelanggan setianya yang tidak hanya orang-orang kampung saja bahkan ada juga dari perkotaan. Itupun karena dari sumber mulut-ke-mulut. Akhirnya popularlah dodol buatannya itu. Dodol buatan Sarkum.
“Hayati…!” tiba tiba terdengar suara teriakan dari luar dapur keluarga itu.
Tak lain suara itu bersumber pada Sarkum. Karena ia khawatir dengan Hayati, anak gadis satu-satunya itu akan termakan omongan orangtua dulu. Jangan banyak bicara apalagi membuat gaduh disaat membuat dan mengaduk dodol. Akibatnya nanti akan lama menikah. Urung dilamar oleh lelaki pujaan. Bukan itu saja matangnya nanti tidak merata bahkan bisa berjam-jam saat memasaknya. Alhasilnya, jelek nanti. Akan bantet dan mengeras.
Hayati langsung mengalihkan pandangan ke arah Sarkum.
“Ada apa, Beh?” tanya Hayati tidak mengerti jika dipanggil.
” Sudah dibilang elu jangan ke dapur ini! Elu tahu nggak anak perawan seperti elu nggak boleh ikut-ikutan bantu. Kalau pun ikut elu ya harus mematuhi pantangan perkataan orangtua dulu. Kalau mau membatu elu nggak boleh banyak bicara. Mau jodoh elu jauh lagi. Urung dipinang,” ucap lelaki paruh baya menasehati anak gadisnya itu dengan rasa kekhawatiran yang begitu dalam.
Hayati hanya terdiam saja. Tanda ia mengiyakan ucapan Ayahnya itu.
Akhirnya Hayati meninggalkan dapur keluarga. Tempat dimana untuk memasak atau membuat olahan warisan leluhur itu. Padahal ia ingin berlama-lama di sana.
Sejak saat itu Hayati tidak pernah kembali masuk ke dapur keluarga itu kembali. Apalagi untuk membantu memasak atau mengolah penganan kenyal dan legit itu. Ia lebih banyak menghabiskan hari-harinya di kamarnya.
Bip, bip, bip, bip, bip….
Ponsel Hayati bergetar. Tanda pesan singkat masuk. Ia pun meraih ponsel yang diletakan di atas meja riasnya di kamarnya.
Ti nti bada zuhur aku ke rumah km. Aku mau pesan dodol utk Ibuku buat hantaran hajatan tetanggaku. Smp nti ya. (Ratna)
Ternyata itu pesan singkat dari Ratna, teman semasa SMAnya yang sudah dinikahi oleh Yusuf, teman satu pekerjaan Rahman di show room mobil kakak laki-laki sulung Hayati itu. Ratna memberitahukan kedatangannya pada Hayati melalui pesan singkat.
Usai membaca pesan singkat itu Hayati bimbang. Ia tahu teman semasa SMAnya itu mengetahui kalau dirinya pandai membuat dan mengolah makanan manis berwarna coklat tua itu. Tetapi disatu sisi ia sudah dilarang oleh Sarkum. Ayahnya itu melarangnya untuk tidak lagi mendekati dapur itu. Apalagi untuk mengolah makanan itu.
Bimbang. Itu yang tampak terlihat dari paras ayu Hayati ketika usai membaca pesan Ratna. Ia harus berkata apa jika nanti Ratna datang ke rumahnya untuk memesan dodol buatannya! Lagi-lagi ia bimbang.
Iya aku tunggu.
Balas Hayati menutupi kebimbangannya itu.
Tidak lama kemudian Ratna pun tiba di rumah Hayati. Layaknya teman yang sudah lama tidak bertemu cukup lama mereka cipaka-cipiki sebelum memasuki rumah. Hayati pun mengantar Ratna menuju ruang tamu. Kemudian melucurlah kenangan-kenangan manis semasa SMA dari mulut mereka. Terlihat Hayati begitu antusias mendengar cerita Ratna.
Maklum Ratna sudah lebih dulu menikah ketimbang Hayati. Walaupun sama-sama satu angkatan sekaligus pernah sekelas kemudian menjadi teman berbagi suka dan duka. Tapi setelah pengumuman kelulusan SMA saat itu mereka pun berpencar. Berpisah melanjuti kehidupan masing-masing.
“Kamu jahat ya Na tidak mengundang aku saat pernikahan kamu dengan Yusuf,” terlontarlah ucapan Hayati pada Ratna.
“Bukankah undangan itu sekalian buat kamu juga,” kata Ratna.
“Ih, apaan! Aku nggak mau, ah. Aku maunya khusus untuk aku satu. Jangan satu untuk berdua dengan Bang Rahman, kakakku itu,” jelas Hayati.
“Baik-baik aku minta maaf soal undangan itu,” jawab Ratna. “Sekarang kamu mau maafkan aku tidak?” lanjutnya.
“Ya, karena kamu teman baikku dan juga sudah lama tidak bertemu. Sudah pasti aku maafkan,” kata Hayati.
Akhirnya antara Ratna dan Hayati saling memaafkan. Mereka kembali asyik membicarakan kenangan-kenangan manis semasa SMA dulu dan persoalan kehidupan mereka masing-masing. Apalagi Hayati yang belum bisa mengikuti jejak Ratna yang sudah menikah itu. Padahal usianya tidak beda jauh. Lagi-lagi itu yang dikhawatirkan Hayati. Ia takut dikatakan perawan tua atau tidak laku. Tiba-tiba hati Hayati menderas lirih.
“Lho, kamu malah melamun, Ti?” Ratna membuyarkan lamunan Hayati.
“Oh, nggak-nggak,” Hayati langsung refleks menjawab.
“Kamu menangis ya, Ti?” Ratna bertanya lagi.
“A-aku hanya kelilipan saja,” jawab Hayati menghalau. “Oya, kamu mau pesan dodol berapa? Nanti aku buatkan,” lanjut Hayati langsung menyeka airmatanya.
Ratna pun langsung menuju dapur keluarga.
Tapi saat Hayati ingin menuju ke dapur keluarga. Sarkum sudah berdiri tegak di depan pintu yang menuju dapur keluarga. Hayati ingin melewati pintu itu. Namun Ayahnya sudah menunggu. Melarang Hayati melewati pintu itu. Apalagi untuk mengolah makanan kenyal dan legit itu kembali. Sarkum sudah mengultimatumnya.
“Maaf sekarang Hayati sudah kami melarangnya ke dapur! Apalagi untuk membuat dodol.” Sarkum akhirnya angkat suara.
Ratna yang mendengar suara Sarkum, Ayah Hayati itu, ia langsung tergeragap. Ratna tidak menyangka kalau Ayahnya temannya itu kini sudah berubah. Tidak seakrab saat-saat masa SMA dulu. Lelaki paruh baya itu selalu membuka pintu untuk teman-temannya Hayati. Tapi sekarang tidak lagi.
Akhirnya Ratna yang melihat kejadian itu—ia pun berpamitan pada Hayati. Ia tidak jadi memesan dodol pada Hayati. Mungkin ia tahu Hayati sudah dilarang oleh Ayahnya itu untuk kembali mengolah dodol.
“Kamu tidak jadi memesan dodol, Na?” kata Hayati sambil menutupi kejadian itu.
Hayati tidak menerima sikap Ayahnya saat itu. Padahal hanya Ratnalah tempat menuangkan segala kegundahannya selama ini. Apalagi saat itu kesempatan ia untuk berbagi pada Ratna. Ingin sekali meluapkan rasa keresahannya pada lelaki berlesung pipit itu pada Ratna. Tak lain lelaki itu anak lurah yang ingin menyunting Hayati.
“Ng-nggak apa-apa, Ti. Aku lebih baik beli di pasar. Kalau begitu aku balik ya.”
Hayati pun menerima kepergian teman semasa SMA-nya itu dengan kekecewaan.
Seusai Ratna meninggalkan rumah. Hayati langsung menemui Ayahnya. Hayati langsung meluapkan rasa amarahnya yang sudah ia tahan. Tentang sikap Ayahnya yang terlalu begitu sangat mengatur dirinya bahkan sampai ruang pribadinya ikut tercampuri pula.
“Bagus, Beh! Hayati salut dengan apa yang Babeh lakukan tadi di depan Ratna. Babeh benar-benar tidak tahu perasaan Hayati,” ucap Hayati meledak. Apapun yang ada di dalam hati ia ungkapkap pada Sarkum, Ayahnya itu.
Usai itu Hayati langsung meninggalkan Ayahnya seorang diri. Hayati langsung masuk ke kamarnya. Di sana ia langsung menangisi segala nasibnya sambil memukul batal sebagai bentuk kekecewaan pada Ayahnya dan juga pada ketidakkepastian lelaki berlesung pipit itu.
Bukan hanya itu saja Hayati ingin memberitahukan pada Ayahnya agar tidak terlalu mengaminkan kepercayaan turun-menurun yang tak ada habisnya itu. Jika ingin melihat kebahagiaan dirinya. Tapi tidak bisa melakukan itu. Ia takut dianggap sebagai anak durhaka.
Akhirnya di kamar itu Hayati hanya bisa menekuri dirinya saja. Lalu kembali memikirkan ketidakpastian lelaki berlesung pipit itu serta apakah ia harus mengaminkan segala kepercayaan keluarganya—yang turun-menurun itu. Hingga membuat hidupnya terbelenggu. Hayati masih meragu.[]
*Kak Ian, cerpenis kelahiran Jakarta, Mei 1981. Cerpen, cernak, puisi dan artikelnya telah tersiar di berbagai surat kabar lokal dan nasional seperti Solopos, Harian Jogja, Padang EKspres, Singgalang, Tanjung Pinang Pos, Koran Madura, Haluan, Radar Bojonegoro, Analisa Medan, Lampung Post, SINDO, Annida, HIkayah, Sabili, HAI, Misteri, Liberty, Floressastra.com, RiauRealita.com, dll. Beberapa kali ia juga pernah memenangkan lomba menulis cerpen, cernak, artikel/opini dan puisi. Ia bekerja sebagai pengajar Jurnalistik tingkat sekolah, bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta dan komunitas RELI (Relawan Literasi) Jakarta. Sekarang berdomisili di Jakarta. HP : 0882. 1325.2056, Email: [email protected]
_______________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected].