ArtikelEkonomi

Wong Cilik Dipites Seperti Kutu

NUSANTARANEWS.CO – Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam ulasannya berpandangan bahwa situasi ekonomi saat ini dinilai menyulitkan wong cilik (rakyat kecil). Berikut uraian singkatnya bagaimana skema wong cilik dipites (digencet) dalam strategi keuangan Pemerintahan Jokowi.

Pertama, rakyat dikeruk pajak tinggi. Sebagaimana diketahui, APBN 2018 ditargetkan meningkat dibandingkan APBNP 2017.  Target yang ingin dicapai dalam APBN 2018 masih sama ambisiusnya dengan APBN 2017 dengan target pengeluaran dan pendapatan yang cukup besar. Meskipun sumber pengeluaran tersebut belum jelas dikarenakan pendapatan pemerintah sendiri.

Selain itu, pemerintah memasang target belanja negara sebesar Rp. 2.204,38 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2018. Proyeksi tersebut meningkat dari target belanja dalam APBN 2017 Rp.2.080,45 triliun dan dari APBN Perubahan 2017 sebesar Rp2.133,29 triliun.

Target pajak tahun 2017 dipastikan tidak akan tercapai dikarenakan pelemahan ekonomi terutama yang dipicu oleh pelemahan daya beli masyarakat. Sebagai gambaran realisasi penerimaan perpajakan sepanjang semester I tahun 2017 ini atau sampai dengan 30 Juni 2017 mencapai Rp 571,9 triliun atau 38,2% dari target APBN 2017 sebesar Rp 1.498,9 triliun.

Pajak yang setinggi-tingginya serta seluas-luasnya diterapkan bagi rakyat merupakan strategi dasar pemerintahan Jokowi untuk mendapatkan uang.  Rakyat diperas sekuat-kuatnya untuk membiayai oligarki penguasa, proyek infrastruktrur yang nantinya akan diserahkan penguasaannya pada taipan dan asing serta dijual dengan tarif semahal-mahalnya kepada rakyat.

Kedua, APBN dirancang defisit. Defisit anggaran 2018 lebih rendah dari 2017. Defisit ini sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19% dari PDB. Akan tetapi target defisit ini dipastikan akan berubah pada APBNP 2018. Sebagaimana APBNP 2017 yang menetapkan angka defisit hingga 2,92% PDB. Ketetapan ini dalam rangka pemerintah menarik pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri dalam rangkan menutup kekurangan penerimaan negara dari pajak dan sumber daya alam.

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Selain itu, APBN defisit karena pengeluaran pemerintah lebih besar dari pendapatan. Lebih besar pasak dari pada tiang. Pengeluaran pememerintah yang besar tersebut disebabkan oleh dua pengeluaran besar yakni (1) pengeluaran rutin dalam bentuk gaji PNS, anggota DPR, MPR dan tunjangan serta anggaran rutin lainnya dalam menjalankan roda pemerintahan. (2) pengeluaran untuk pembayaran kewajiban pemerintah yakni bunga utang, cicilan utang dan utang jatuh tempo yang jumlahnya sangat besar setara dengan seluruh gaji, tunjangan, PNS dan anggota DPR, MPR. Kedua pengeluaran tersebut menyedot lebih dari 75% APBN.

Untuk dapat menutupi pengeluaran tersebut maka pemerintah menyandarkan pada utang baru. Sebetulnya jumlah utang baru pemerintahan Jokowi yang rata rata jumlahnya sebesar Rp. 500 triliun setahun tidak cukup untuk menutupi kewajiban yang disebabkan oleh utang lama atau akumulasi utang yang diciptakan oleh pemerintah.

Ketiga, menumpuk utang ugal-ugalan. Pemerintah telah membuat rancangan belanja yang sangat besar. Alasan yang dikemukakan ke publik adalah agar pemerintah memiliki ruang fiskal dalam rangka mewujudkan mega proyek infrastruktur.  Kebutuhan anggaran yang besar tersebut pada akhirnya akan dicapai dengan mengambil utang secara besar besaran baik dai dalam maupun dari luar negeri.

Akibatnya pemerintah menghadapi beban akumulasi utang yang membengkak. Karena setiap kekurangan anggaran selalu ditutupi dengan utang. Kondisi ini akan berdampak terhadap meningkatnya kewajiban keuangan pemerintah.

Tahun 2018 mendatang pemerintah akan menghadapi kewajiban Bunga sebesar Rp. 253.5 triliun, cicilan sebesar +/-Rp. 65,5 Triliun dan utang jatuh tempo sebesar Rp.390 Triliun. Jadi total kewajiban yang harus dibayar pemerintah Jokowi pada 2018 adalah Rp. 709 triliun. Ini adalah angka yang besar. Nilai ini setara dengan 50% rencana penerimaan pajak setahun atau kewajiban tersebut setara dengan 70% dari realisasi penerimaan pajak setahun.

Keempat, pemerintahan bancakan swasta dan asing. Bagaimana penomena meningkatnya utang luar negeri pemerintah melebihi utang luar negeri swasta. Pada era pemerintahan Jokowi utang luar negeri swasta cenderung menurun atau berkurang, meskipun pada Q2 (quartal II) 2017 sedikit meningkat. Namun sebaliknya, utang luar negeri pemerintah terus meningkat lebih tinggi dibandingkan peiode sebelumnya. Selain itu, utang BUMN juga mengalami peningkatan.

Baca Juga:  Penyumbang Terbesar, DBHCHT Jawa Timur Layak Ditambah Tahun 2025

Daeng menyebut ada indikasi bahwa utang luar negeri swasta Indonesia telah berakumulasi sangat besar. Sehingga swasta tidak lagi memiliki ruang yang cukup untuk dapat mengambil utang. Sementara swasta memanfaatkan pemerintah untuk memgambil utang luar negeri yang besar. Selanjutnya utang luar negeri pemerintah tersebut digunakan untuk membiayai mega proyek yang dikerjakan oleh swasta di Indonesia. Dengan demikian, swasta tidak perlu berhutang lagi, karena toh proyek-proyek pemerintah akan jatuh ke tangan swasta yang merupakan oligarki politik nasional.

Bukti bahwa swasta memanfaatkan pemerintah untuk mengambil utang jumlah besar terlihat dalam kasus akuisisi saham PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) oleh swasta Indonesia. Akusisi saham mayoritas Newmont tersebut dilakukan dengan dana tiga bank BUMN yakni Mandiri, BNI dan BRI yang diberikan kepada para swasta. Jadi kesimpulannya bahwa swasta, swasta tidak perlu mengambil utang luar negeri sendiri, cukup memanfaatkan pemerintah yang berkuasa.

Utang luar negeri pemerintah sejak masa pemerintahan Jokowi meningkat sebesar Rp. 547,37 triliun lebih. Utang luar negeri pemerintah saat ini mencapai Rp. 2,298,80 triliun lebih. Sementara utang luar negeri swasta pada era pemerintahan Jokowi hanya meningkat Rp. 19,1 triliun lebih. Utang luar negeri swasta secara keseluruhan saat ini sebesar Rp. 2,227,6 triliun lebih. Secara keseluruhan total utang luar negeri pemerintah dan swasta atau disebut utang luar negeri Indonesia saat ini adalah sebesar Rp. 4,526,4 triliun lebih. Nilai ini diukur berdasarkan kurs Rp. 13.500/USD.

Kelima, wong cilik dipites seperti kutu. Memberikan insentif infrastrukrur pada swasta melalui pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, MRT, LRT, kereta cepat, pembangkit listrik, agar meningkatkan nilai valuasi aset-aset yang menjadi sumber daya bisnis di dalam negeri terutama aset aset swasta sehingga mereka tidak mengalami kebangkrutan akibat utang yang sudah menggunung.

Baca Juga:  Ketua Umum DPP IP-KI: "Atas Nama Keadilan Sosial, Tunda Kenaikan PPN 12% Demi Rakyat!"

Memberikan para taipan subsidi bunga dan uang muka agar perumahan dan apartemen mereka terbeli dalam rangka memulihkan bisnis property di indonesia yang telah mengalami kejatuhan sejak 2014 lalu. Subsidi ini akan menolong para pengembang untuk mendapatkan pembeli dalam pasar indonesia yang saat ini tengah melemah.

Dalam rangka menghemat anggaran pemerintah memangkas semua jenis subsidi yakni menghapus subsidi BBM premium dan rencana menghapus secara keseluruhan subsidi solar dan gas LPG. Dengan demikian maka penjualan BBM dan LPG sepenuhnya akan menggunakan mekanisme pasar dan harga jual bahan bakar akan terus meningkat.

Menghapus semua subsidi listrik. Listrik telah mengalami kenaikan ratusan persen sejak pemerintahan Jokowi dimulai. Meskipun pada saat yang sama daya beli masyarakat merosot. Sekarang harga /tarif listri tidak lagi ditetapkan memalui mekanisme politik namun hanya berdasarkan pembukuan PLN. Sementara PLN sekarang menanggung utang yang sangat besar. Seluruh utang PLN tersebut dibebankan kepada tarif listrik yang harus dibayar oleh masyarakat.

Keenam, dirinya berkesimpulan bahwa pemerimtah Jokowi melakukan tiga skema kejahatan kepada wong cilik yakni (1) menumpuk utang luar negeri dan surat utang sebesar besarnya, untuk didayagunakan sebesar besarnya dalam memperbesar akumulasi kapital asing dan taipan swasta Indonesia. (2) Mecekik rakyat dengan pajak tinggi, tarif/sewa selangit terhadap barang barang publik dan menerapkan bunga mencekik untuk mendapatkan uang agar tetap bisa bayar utang. (3) menghapus subsidi bagi rakyat namun menerapkan subsidi bagi swasta. Pemerintah mencari untung dengan menjual air mahal, BBM mahal, listrik mahal, tol mahal, pendidikan mahal dan kesehatan mahal. Rakyat dipites seperti kutu. (*)

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 25