Oleh: Ali Munhanif*
NUSANTARANEWS.CO – Di sinilah meningkatnya mobilisasi agama akhir-akhir ini harus dimaknai: ia menjadi jembatan bagi arah baru transformasi, di mana aspek-aspek yang terkait dengan ideologi negara Islam mengelupas (dislodged) menanggalkan atau tepatnya menyisakan isu-isu inti doktrinal semisal penodaan agama dan membela fatwa ulama.
Menariknya, isu-isu tadi masih menjadi concern bagi sebagian elit Islam yang, pada situasi tertentu, berhasil mengolahnya untuk artikulasi kepentingan ekonomi, politik dan kebudayaan.
Saya berpendapat bahwa proses-proses demokratis dalam mobilisasi agama—sekeras apapun-berjalin kelindan dengan makin kuatnya komitmen umat Islam pada NKRI dan Pancasila sebagai bentuk final dari cita-cita kenegaraan.
Ini berarti konflik konstitusional antara Islam dan negara sekuler telah selesai (settled). Proses historis yang turut menyumbangkan settlement tersebut adalah gerakan Pembaharuan Islam pada 1970an dan warisan kebijakan Orde Baru.
Simak: Telaah Kritis: Momentum Pelembagaan Pancasila (Bag. 1)
Namun karena penataan desain kelembagaan pada institusi-institusi di bawah konstitusi terus berjalan, mobilisasi agama untuk kepentingan politik akan tetap mewarnai pola kompetisi antar partai dan kelompok identitas, baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsial.
Demokrasi tetap membuka ruang bagi kelompok politik manapun untuk semakin bergerak ke tengah, prgamatis dan menjadi moderat. Sehingga kemungkinan mobilisasi identitas agama akan melemahkan komitmen pada Pancasila, masih jauh hal itu terjadi.
Apa yang perlu ditekankan dalam perdebatan tentang “Demokrasi Pancasila yang Diperbaharui” adalah proses yang menegangkan dalam Pilkada DKI yang baru lalu itu dijadikan momentum untuk mencari format “jalan demokratis melembagakan Pancasila”.
Karenanya, bukan soal kesesuaian demokrasi dengan norma-norma Islam Indonesia yang menjadi perbincangan, tetapi bagaimana negara yang berdaulat seperti NKRI menyelesaikan gerakan-gerakan intoleran yang selama dua dasawarsa ini menghantui praktik demokrasi kita.
Pertumbuhan pesat gerakan sosial keagamaan yang mengusung ideologi kekerasan dan revolusi agama menjadi ancaman serius bagi daya tahan NKRI. Para pemangku kebijakan dan cendekiawan harus menyadari bahwa aksi intoleran yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah bentuk dari upaya menghidupkan ikatan ideologis dan primordial yang terbingkai dalam imaginasi tentang “negara alternatif”.
Sentimen akan tatanan alternatif ini terus muncul bersamaan dengan kekecewaan masyarakat akibat buruknya institusi-institusi kenegaraan yang kita bangun lewat demokrasi. Di mata masyarakat bawah, pemerintahan demokratis bukan saja belum mampu memenuhi janjinya meningkatkan kesejahteraan, tapi juga gagal dalam menjaga wibawanya akibat lemahnya penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan mencegah kekerasan di ruang publik.
Perpaduan antara kekecewaan dan kebebasan inilah yang menjadi akar dari mudahnya masyarakat dimobilisir untuk bergabung kedalam organisasi dan gerakan intoleran.
Dan mengamati artikulasi kelompok-kelompok intoleran, terdapat benang merah antara kekerasan yang timbul dengan sentimen negara alternatif yang diimpikan.
Joel Migdal, sarjana sosial terkemuka yang mengamati proses pembentukan negara baru, mengingatkan: akan terjadi pertarungan visi antara “kekuatan tradisional seperti agamawan dan ulama” melawan “pemimpin negara yang baru merdeka” pada pasca Perang Dunia II.
Pertarungan itu memaksa para negarawan untuk menyelesaikan ketegangan antara keterikatan primordial seperti Islam versus negara yang berorientasi civic. Jika berhasil, negara tersebut akan tumbuh menjadi negara civic.
Namun jika gagal, ia akan terjebak menjadi negara lemah (weak state) berhadapan dengan loyalitas tradisional masyarakatnya.
Simak: Telaah Kritis: Momentum Pelembagaan Pancasila (Bag. 2)
Tantangan kita semua dengan demikian adalah menyikapi dengan tegas aksi-aksi intoleransi atas nama negara alternatif tadi. Berkaca pada pengalaman seperti Pakistan, merosotnya otoritas negara dan pemerintah Pakistan berjalan paralel dengan tingginya mobilisasi organisasi Islam garis keras yang mengedepankan “sistem Islami” sebagai alternatif dari sistem kenegaraan, meskipun secara formal negara ini memproklamirkan diri sebagai Republik Islam Pakistan.
Ali Munhanif, Pengajar Ilmu Politik UIN Jakarta dan aktif di Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP).