KolomPolitik

Telaah Kritis: Momentum Pelembagaan Pancasila (Bag. 2)

Oleh: Ali Munhanif*

NUSANTARANEWS.CO – Isu penting yang diunggah Denny JA adalah posisi agama dalam visi dan praktik demokrasi Pancasila. Benarkah mobilisasi agama akan terus meningkat di masa depan dan menjadi batu loncatan bagi politik Islam untuk melembagakan visi keagamaan yang melekat dalam ideologi “Negara Islam”?

Akankah kekuatan mobilisasi agama berlanjut, dan bisa direproduksi untuk artikulasi kepentingan-kepentingan politik-agama dalam koridor demokrasi Indonesia? Harus diakui, mobilisasi agama di ruang publik berkenaan Pilkada DKI Jakarta sangatlah mengagumkan, sekaligus memilukan.

Bukan saja berhasil memenangkan Calon Gubernur dan Wakilnya dalam meraih kursi pimpinan daerah di DKI Jakarta, tetapi juga menghasilkan sebuah capaian politik-keagamaan yang akan dikenang sepanjang masa dalam sejarah politik di tanah air, yakni Aksi Bela Islam 212.

Tetapi jika dilihat dari pentingnya isu protes yang melandasi dukungan terhadapnya, keberhasilan Aksi 212 mengisyaratkan cerita lain. Yaitu bahwa, telah terjadi penyempitan agenda politik dari perjuangan mendirikan negara Islam, penerapan syari’ah, menolak sekularisme, dll., menjadi keprihatinan pada aspek-aspek inti (core issues) dari doktrin agama, termasuk isu tentang penodaan agama, Muslim vs. kafir, menolak shalat jenazah dan semacamnya.

Baca Juga:  WaKil Bupati Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Tahun 2024 Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik

Karakter mobilisasi politik Islampun bergeser secara substantif. Di masa lalu politik Islam didefiniskan sebagai “perjuangan ideologis” yang bertujuan menegakkan konstitusi Islam pada negara nasional, di mana institusi dan otoritas agama mengambil peran dalam tata kelola negara, hukum dan kebudayaan.

Dewasa ini politik Islam telah bertransformasi menjadi “pergulatan identitas kultural” yang memposisikan diri sebagai aspirasi menjaga publik dari efek buruk modernisasi, seperti pudarnya tradisi masyarakat relijius, meluasnya gaya hidup urban, dan perbaikan akhlaq.

Oleh karenanya, sukses Aksi 212 yang didukung oleh hampir seluruh komponen ormas Islam itu terlihat kontras ketika dibenturkan dengan realitas pahit politik Islam dalam mengarungi demokrasi sejak 1999. Pertama, dari pemilu ke pemilu perolehan suara partai Islam tidak pernah meningkat—untuk tidak mengatakan merosot.

Simak: Telaah Kritis: Momentum Pelembagaan Pancasila (Bag. 1)

Kekuatan elektoral gabungan partai-partai Islam (PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB) tidak beranjak antara 32 dan 36 persen. Artinya, keberhasilan mobilisasi massa dengan menggunakan simbol dan ritual keagamaan tadi tidak tercermin dalam mobilisasi elektoral Islam.

Baca Juga:  Silaturrahim Kebangsaan di Hambalang, Khofifah Sebut Jatim Jantung Kemenangan Prabowo-Gibran

Kedua, makin terserapnya civil society berbasis Islam ke dalam pusaran dunia teknokratik akibat terjadinya konvergensi politik (political convergence) antara Islam dan negara. Konvergensi di sini merujuk pada proses politik dan kelembagaan di mana agenda kultural dari ideologi Islam semakin terwadahi dalam institusi penyelenggaraan negara.

Gejala ini memberi jalan bagi aktivis Muslim berpartisipasi dalam urusan birokrasi dan administrasi negara, baik di kementerian, parlemen maupun lembaga lain.

Akibatknya, kepemimpinan sosial-keagamaan di akar rumput kehilangan daya tarik, yang untuk kemudian diambil alih oleh golongan Muslim baru yang bermunculan.

Inilah yang menjelaskan mengapa ormas Islam yang dipandang radikal seperti FPI, FUI dan HTI, atau da`i tak dikenal pada basis institusi sosial lama seperti NU dan Muhamnmadiyah, memenangkan hati umat akhir-akhir ini.

Di era Orde Baru, konvergensi Islam dan negara difasilitasi oleh langkah rezim untuk mengakomodasi kepentingan umat dalam struktur dan lembaga negara. Di era reformasi, meski partai Islam gagal mencantumkan kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945, konvergensi politik dilangsungkan pada institusi di bawahnya dan dilakukan dengan cara-cara yang demokratis.

Baca Juga:  KPU Nunukan Menggelar Pleno Terbuka Rekapitulasi Perolehan Suara Calon DPD RI

Memang tidak akan terjadi transformasi konstitusional menuju negara Islam, tetapi pelembagaan identitas agama pada institusi-institusi publik kian hari kian mewarnai tata kelola pemerintahan kita.

Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2015) mencatat, sejumlah UU yang secara eksplisit bermuatan Islam disahkan antara 2004 dan 2013: UU Peradilan Agama, UU Pendidikan Tinggi, UU Pengelolaan Zakat, UU Wakaf, UU Pengelolaan Haji, UU Pornografi, dan UU Perbankan Syariah.

Trend ini berjalan paralel dengan disahkannyasekitar 367 legislasi daerah dalam bentuk Perda bernuansa agama (2005-20013). Tak terhitung lagi jumlah Peraturan Gubernur, Bupati atau Walikota yang meneguhkan pelembagaan identitas Islam di berbagai daerah.

*Ali Munhanif, Pengajar Ilmu Politik UIN Jakarta dan aktif di Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP).

Related Posts

1 of 18