NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Isu kebijakan impor pangan kembali menjadi perbicangan publik. Setelah sebelumnya menyoal impor beras, garam dan sejumlah pangan lainnya, kini impor gula jadi isu panas.
Kementerian Perdagangan kembali akan mengimpor gula. Tahun 2018 pemerintah menetapkan impor gula mentah untuk gula rafinasi sebesar 3,6 juta ton. Keputusan impor kembali diambil menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 sebanyak 1,1 juta ton dengan dalih menambal kebutuhan konsumsi pada periode Januari-Mei 2019.
Tak pelak, kebijakan impor gula ini membuat situasi memanas dan menimbulkan beragam spekulasi. Apalagi, kebijakan tersebut dilakukan menjelang dihelatnya Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden pada April 2019 mendatang.
Baca juga: Konspirasi Busuk Impor Gula untuk Mencari Dana Pileg dan Pilpres 2019
Pengamat ekonomi dari AEPI, Salamuddin Daeng menuturkan, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah terkait impor pangan. Pertama, impor pangan merupakan salah satu penyebab utama defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
Kedua, impor pangan merupakan salah satu penyebab utama merosotnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Ketiga, impor pangan merupakan penyebab utama terjadinya inflasi karena harga pangan impor yang semakin mahal.
Keempat, impor pangan mengakibatkan jatuhnya harga panen petani. Impor biasanya dilakukan pada masa panen justru dilakukan dalam rangka menekan harga produk pertanian petani.
Baca juga: Dulu Janji Stop Impor Pangan, Jokowi Bohongi Rakyat
Kelima, impor pangan semakin membuat sektor pertanian Indonesia memburuk, kurang diperhatikan secara maksimal dikarenakan pemerintah dimanja oleh impor.
Keenam, impor pangan membuat pangan Indonesia sangat rentan pada faktor ekternal atau dengan kata lain indonesia makin tidak berdaulat.
Ketujuh, impor pangan menimbulkan koral hazard penyelenggara negara dengan memainkan kartu izin impor, kuota impor dan lain sebagainya.
Kedelapan, impor pangan membuka peluang kejahatan para pengusaha, penimbun pangan dan mempermainkan harga pangan dalam rangka memaksimalkan keuntungan mereka dan merugikan rakyat.
Baca juga: Indonesia Impor Pangan dari 40 Negara
Salamuddin menyebutkan 5 solusi dari permasalahan impor pangan tersebut. “Pemerintah harus menjelaskan kepada publik tentang data-data surplus pangan, suplus beras, surplus jagung yang diumumkan Kementerian Pertanian,” ujar Salamuddin, Jakarta, Jumat (11/1/2019).
Kedua, diduga terjadi markup data produksi pangan nasional oleh Kementerian Pertanian sebagaimana temuan Badan Pusat Statistik (BPS). “Data ini harus dibereskan,” cetusnya.
Ketiga, ada selisih produksi beras antara Mentan dan BPS yang mencapai 43%. Ini merupakan selisih yang tidak wajar. “Diduga terjadi dalam seluruh produksi pangan yang lain. Kedua belah pihak harus diperiksa,” sebutnya.
Baca juga: Daftar Impor 29 Kebutuhan Pangan Pokok
Keempat, dugaan markup produksi pangan tidak berdiri sendiri tetapi juga bisa berpotensi markup dana APBN, markup jumlah bibit, markup luas lahan. “Masalah ini harus diselidiki oleh penegak hukum,” tukasnya.
Kelima, pemerintah dan DPR harus menata ulang, mengitung ulang pangan nasional, agar tidak menjadi bahan bancakan oligarki. “Pertanian dan pangan adalah pondasi ekonomi nasional yang harus diurus dengan sungguh-sungguh,” pungkasnya.
(eda/gdn)
Editor: Gendon Wibisono