NUSANTARANEWS.CO – Sedikitnya 520 ribu Rohingya sudah berada di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh setelah tanah dan rumah mereka dijajah di Rakhine State, Myanmar. Pengusiran Rohingya tampaknya memang didukung berbagai pihak, utamanya perusahaan-perusahaan multinasional yang berkepentingan mengamankan jalur minyak dan gas alam.
Sebagaimana dilaporkan Forbes, bahwa Myanmar diperkirakan memiliki cadangan migas sebesar 11 sampai 23 triliun kaki kubik, yang tentu saja menjadi rebutan perusahaan-perusahaan multinasional asing untuk mendapatkan kontrak mengeksplorasinya.
Jalur Pipa Shwe yang merupakan Joint Venture antara China National Petroleum Corporation (induk Petrocina) dan Myanmar Oil & Gas Enterprise (perusahaan milik Junta Militer Myanmar) dengan jalur melewati Rakhine, yang tanahnya dihuni oleh etnis Rohingya dianggap menjadi halangan bagi kepentingan bisnis migas tersebut.
Walhasil, skenario pengusiran Rohingya disusun secara matang. Dalih paling masuk akal adalah memburu kelompok militan Rohingya yang belakangan dikenal dengan nama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Agustus lalu, kelompok ini memprovokasi polisi yang berjaga di pos perbatasan. Serangan mereka ini membuat pemerintah Myanmar gerah dan segera menerjunkan pasukan keamanannya yang dipimpin langsung oleh militer. Operasi militer dimulai 25 Agustus sesuai kebijakan pemerintahan Myanmar untuk memburu anggota ARSA yang sebetulnya tak seberapa.
Operasi militer itu tentu tidak proporsional. Dalam konteks ini, pemerintah Myanmar boleh dibilang terlalu berlebihan dalam menghadapi serangan dan ancaman ARSA kalau dilakukan dengan cara operasi militer serta menggunakan taktik bumi hangus. Akibatnya, ribuan Rohingya terbunuh dan setengah juta lainnya melarikan diri ke Bangladesh daripada menyerahkan nyawa secara cuma-cuma.
Kaum neolib memang selalu bertindak kejam ketika hendak menguasai kekayaan alam di suatu negara. Termasuk di Rakhine State. Karena bagaimana pun, Myanmar memang sudah membuka diri dari dunia internasional untuk membangun perekonomiannya yang terus mengalami pelemahan sejak menutup diri dari dunia luar. Keterbukaannya dari dunia internasional ditandai dengan bergabungnya Myanmar menjadi anggota ASEAN pada 23 Juli 1997 silam. Sejak saat itu, Myanmar mulai membenahi perekonomiannya.
Perusahaan asing akhirnya datang silih berganti ke Myanmar. Menurut Saskia Sassen atau Robert S. Lynd, seorang Profesor Sosiologi di Universitas Columbia dan Anggota Komite Pemikiran Global, mengusir Rohingya dari Rakhine adalah salah satu cara yang dianggap solutif bagi pemerintah Myanmar untuk mengamankan sejumlah investasi besar-besaran di Rakhine.
Rohingya bertahun-tahun memang dimiskinkan. Meskipun Rakhine memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, nyatanya Saskia Sassen menemukan bahwa hampir seluruh tanahnya direbut dan dikuasai pemerintah Myanmar (junta militer). Bahkan Bank Dunia memperkirakan, lebih dari 78 persen Rohingya hidup di bawah garis kemiskinan. Dan kemiskinan memungkinkan pengusiran Rohingya untuk memberi ruang bagi proyek pembangunan seperti disinyalir Forbes dalam sebuah laporannya baru-baru ini.
Puncaknya, 25 Agustus operasi pengusiran Rohingya pun dimulai. Setengah juta Rohingya pergi meninggalkan harta bendanya di Rakhine, rumah mereka dibakar agar tidak kembali. Kondisi semakin dilematis karena Bangladesh mengatakan Rohingya tidak bisa permanen hidup di kamp-kamp pengungsian dan harus kembali ke Myanmar. Di pihak Myanmar juga tampaknya tidak menginginkan Rohingya kembali ke negaranya.
Dari 520 ribu Rohingya yang melarikan diri, 290 ribu di antaranya anak-anak. Mereka dihantui kengerian dan ketakutan. Kondisi psikis anak-anak Rohingya ini disadari oleh sejumlah relawan kemanusiaan di Bangladesh.
Relawan-relawan kemanusiaan telah menyiapkan sekolah dan zona aman untuk anak-anak di kamp-kamp guna menyembuhkan trauma mereka. Dengan fasilitas seadanya, para relawan berjuang keras memberikan pendidikan kepada anak-anak itu.
AFP melaporkan, di dalam satu kelas ada sekitar 30 anak. Mereka bernyanyi di tengah hujan yang sangat deras menerpa atap kanvas yang hampir menenggelamkan suara kecil mereka. Tapi, kenangan akan kekerasan di Rakhine tidak pernah terbuang dari dalam pikiran anak-anak Rohingya.
“Ini adalah anak-anak, mereka tidak mengerti apa yang telah terjadi. Kami mencoba membuat mereka melupakan apa yang terjadi sehingga mereka tidak terganggu,” kata seorang guru Rohingya, Shamsul Alam.
Bagi kaum neolib yang berkepentingan di Rakhine State, nasib anak-anak Rohingya ini tidak ada artinya. Sekalipun mereka mengalami ketakutan, kengerian hingga kematian, kaum neolib tidak akan peduli karena kepentingan mereka hanyalah semata mengambil keuntungan ekonomi sebesar-besarnya di tanah Rohingya, Rakhine.
Melihat kenyataan tersebut, pemerintah Myanmar selalu berkilah bahwa pasukan keamannnya hanya menargetkan militan Rohingya (ARSA). Tetapi pada kenyataanya banyak anak-anak di kamp-kamp di sekitar kota perbatasan Cox’s Bazar di Bangladeh menceritakan adegan pembantaian, penyiksaan dan pemerkosaan.
Kini, seperti dilaporkan AFP, ada sekitar 200 pusat pembelajaran di kamp yang hanya cukup menampung 17 ribu anak-anak Rohingya. Badan PBB untuk anak-anak UNICEF mengatakan mereka perlu membangun setidaknya 1.300 sekolah.
(Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews)