NUSANTARANEWS.CO – Setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI). Tahun ini, peringatan itu jatuh pada hari Jumat, 9 Desember 2016.
Kalau kita perhatikan suatu hari besar yang diperingati publik, pasti selalu ada sejarah panjang yang akan menjelaskan alasan kenapa hari besar tersebut diperingati. Karena itulah, dengan resolusi 58/4, pada tanggal 31 Oktober 2003, Sidang Umum PBB menetapkan tanggal 9 Desember sebagai HAKI.
Keputusan ini dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran serta kewaspadaan kita terhadap maraknya korupsi, dan juga peranan Konvensi PBB dalam melawan korupsi, baik memeranginya maupun dalam melakukan upaya pencegahan terhadap korupsi.
Sayangnya, hal tersebut nampaknya tak menyadarkan para pejabat di negeri ini untuk merubah perilaku korup. Pasalnya perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat tanah air, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif terus tumbuh subur.
Lantas kenapa korupsi bukannya surut dan malah kian menggila padahal ada Lembaga antikorupsi seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang ditugaskan menindak maupun mencegah tindakan keji itu?
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menjelaskan korupsi biasanya mengacu kepada segelintir kelompok atau perorangan yang menggunakan suatu posisi kekuasaan atau posisi tumpuan kepercayaan orang, untuk memperoleh keuntungan secara tidak jujur.
“(Korupsi) memang mengindikasikan banyak hal, namun esensi utamanya bahwa prilaku transaksional kelompok atau perorangan belum signigicant berubah. Itu sebabnya ada tanggapan semua, kita melakukan sesuatu sedikit saja berbeda dengan sebelum reformasi,” tuturnya melalui pesan singkat kepada nusantaranews.co, di Jakarta, Jumat, (9/12/2016).
Lantas upaya apa yang dilakukan oleh lembaga antirasuah untuk meminimalisir hal tersebut ?
“Upaya yang dilakukan oleh KPK baik dengan pendekatan pencegahan dan penyidikan. Hambatan utamanya ialah bahwa pikiran, ucapan dengan tindakan kita tidak seiring. Karena kita tidak mau berubah, sejumlah kebijakan strategis dan taktis dibangun namun tidak maksimal untuk menghasilkan perubahan. Karena karakter kita rapuh, akibatnya ingtegritas kita, yah seperti yang kita saksikan. Jadi perlu semua komponen merenung,” pungkasnya. (Restu)