NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengirim surat panggilan pemeriksaan kembali kepada Ketua DPR RI, Setya Novanto.
Pria yang biasa disapa Setnov ini rencananya dipanggil sebagai saksi tersangka Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo terkait skandal korupsi e-KTP.
Namun nampaknya, sebagaimana yang sudah-sudah, Setnov hanya akan memenuhi panggilan KPK, jika presiden yang memintanya.
Hal ini dipertegas oleh pengacara Setnov, Fredrich Yunadi yang menegaskan jika KPK tetap memaksa memanggil kliennya, maka pihaknya mengaku akan meminta perlindungan Presiden Jokowi. Tak hanya itu, ia juga akan meminta perlindungan TNI.
Dirinya berpegang pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam memberikan persetujuan tertulis bagi anggota yang dipanggil dan dimintai keterangan oleh pengadilan.
Atas dasar itu, Fredrich, mengatakan bahwa pemeriksaan kliennya selaku anggota DPR oleh penegak hukum harus seizin Presiden. “Kami akan minta perlindungan Presiden, TNI, Polri terhadap pihak yang melawan undang-undang,” kata Fredrich Minggu (12/11/2017), di Kantor DPP Golkar.
Dirinya tak terima jika, Ketum Golkar ini dianggap mangkir dari panggilan KPK saat hendak diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Dirut PT Quadra Solution.
Sebagaimana diketahui, kiriman surat dari Sekjen dan Badan Keahlian DPR RI kepada KPK, menjelaskan bahwa pemaggilan terhadap Setnov harus dengan izin tertulis dari Presiden RI.
Dengan kata lain, Setnov hanya akan mau jadi saksi jika presiden Jokowi yang memintanya. Sebelumnya, pada pemeriksaan pada 30 Oktober 2017 lalu, pria yang pernah terlibat kasus ‘Papa Minta Saham’ ini mangkir dengan alasan sedang reses ke daerah. Nampaknya pada pemeriksaan pada 6 November 2017 kemarin pun, ia juga mengulan cerita yang sama.
Ketidakhadiran Setnov kali ini diketahui setelah KPK menerima surat dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR. Surat tertanggal 6 November 2017 itu ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR, Damayanti. (*)
Editor: Romandhon