Bidang perdagangan salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan Presiden Jokowi. Tim Studi NSEAS menilai kritis kinerja Jokowi urus perdagangan berdasarkan 4 standar kriteria.
Pertama, janji lisan kampanye Jokowi saat Pilpres 2014. Kedua, janji tertulis kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 tertuang dalam dokumen Nawacita yang diserahkan kepada KPU. Ketiga, RPJMN 2015-2019 yang disusun dan diterbitkan Presiden Jokowi. Keempat, Renstra Kemendag tahun 2015-2019.
Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan secepatnya mewujudkan swasembada pangan dan lepas jeratan dari impor beras, daging, garam, dan komoditas lainnya. Janji ini ternyata masih belum ditepati. Tiga tahun lebih usia Pemerintahan Jokowi-JK swasembada pangan masih belum terwujud. Masih membuka lebar impor pangan. Ironisnya, BPK menilai, pengelolaan tata niaga impor pangan oleh Kemendag era Jokowi ini menunjukkan ada ketidakpatuhan beberapa pihak terhadap aturan perundang-undangan.
Baca juga: Surplus 3 Juta Ton Beras, Kemendag Bersikeras Tetap Membuka Opsi Impor
Janji kedua menurunkan harga sembako, meningkatkan kualitas dan program Raskin (beras bersubsidi untuk orang miskin). Hingga kini harga sembako terus menaik, tidak pernah menurun. Sementara itu, masih ada penyelenggara negara mempertanyakan kualitas Raskin, dari mulai anggota DPR, Gubernur dan juga Bupati. Mereka mempertanyakan soal kualitas Raskin dari Bulog disalurkan kepada masyarakat.
Dan janji ketiga perbaikan 5000 pasar tradisional. Setelah 3,5 tahun jadi Presiden, Jokowi baru mampu merealisasikan janji ini hanya 1000 pasar.
Mengacu janji tertulis kampanye Pilpres 2014 Jokowi-JK tertuang dalam Nawacita, mereka berjanji antara lain peningkatan daya saing produk nasional melalui peningkatan kualitas, pencitraan, harga dan servis. Masih kita tunggu realisasinya; prioritas akses modal bagi UMKM. Belum ada data realisasi keberpihakan terhadap UMKM. Apakah ada peningkatan penyaluran modal UMKM, masih kita tunggu jawabannya dari Pemerintah. Kondisi permodalan UMKM dapat digunakan penilaian anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto. Ia menilai, masih sulit akses permodalan UMKM saat ini. Hal ini berisiko, membuat UMKM nasional sulit bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, atau MEA saat ini.
Baca juga: Protes Kondisi Pasar Tradisional, Masyarakat Jualan Sayur di DPRD Sumenep
Kemudian renovasi atau revitalisasi 5.000 pasar tradisional umur lebih 25 tahun. Baru terealisir sekitar 20%; memberantas penyelundupan barang dari luar negeri ke pasar dalam negeri. Masih kita tunggu realisasinya; serta meningkatkan efisiensi perdagangan antar daerah dan pulau. Hasil kegiatan ini masih belum ditemukan data, fakta dan angkanya.
Rencana kegiatan sektor perdagangan juga tercatat dalam RPJMN 2015-2019 antara lain pertumbuhan ekspor produk non migas rata-rata 19,5% per tahun; rasio ekspor jasa terhadap PDB rata-rata 3,0% per tahun; peningkatan pangsa ekspor produk manufaktur menjadi 65%; menurunkan rasio biaya logistik terhadap PDB 5% per tahun sehingga mencapai 19,2% pada 2019; menurunkan rata-rata selling time menjadi 3-4 hari; serta terjaganya kofisien variasi harga barang kebutuhan pokok antar waktu di bawah 9% dan antar wilayah rata-rata di bawah 13,6% per tahun.
Baca juga: Melihat Pertumbuhan Pasar Tradisional, Daya Beli Masyarakat Memang Menurun
Seberapa lebar kesenjangan antara target capaian dengan realisasi, masih menunggu data, fakta dan angka resmi dari Pemerintah. Diharapkan tahun ke-4 Jokowi jadi presiden sudah terpublikasikan.
Selanjutnya Renstra Kemendag tahun 2015-2019 mencatat Pemerintah akan melaksanakan antara lain pertumbuhan ekspor non migas target 2015 9,9%; kontribusi produk manufaktur terhadap total ekspor target 2015 47%; pertumbuhan ekspor jasa target 2015 13-16%; pertumbuhan ekspor non migas produk (komoditi) utama dan prospektif; pertumbuhan produk non migas ke pasar utama dan pasar prospektif; meningkatkan promosi citra ekspor; serta pendirian Lembaga/Kantor Perwakilan/Pusat promosi di dalam dan luar negeri.
Kita tunggu data, fakta dan angka resmi realisasi dari Kemendag. Seberapa jauh Kemendag ini telah mencapai target tercatat di Renstra. Diharapkan setelah tahun ke-4 hasil realisasi sudah terpublikasi, tidak semata melalui LAKIP Mendag.
Jokowi sendiri memberi tiga tugas kepada Mendag Enggartiasto Lukita. Di antaranya menjaga stabilitas harga bahan pokok, meningkatkan ekspor dan menjaga neraca perdagangan, serta membangun dan merevitalisasi pasar rakyat.
Mampukah Mendag melaksanakan tugas ini? Fakta membuktikan, harga bahan pokok terus melonjak. Nilai ekspor terus merosot. Meskipun Januari 2018 Kemendag mencatat capaian nilai ekspor naik USD14,45 miliar. Tetapi, kenaikan hanya 7,86% dibandingkan periode sama di 2017.
Baca juga: Ekonomi Merosot, Indonesia Tertinggal dari Vietnam dan Filipina
Jokowi sendiri mengakui, ekspor Indonesia masih jauh di kawasan ASEAN. Bahkan kini ekspor Vietnam telah mengalahkan Indonesia. Nilai ekspor Thailand telah mencapai US$ 231 miliar, kemudian disusul Malaysia US$ 184 miliar dan Vietnam US$ 160 miliar. Sedangkan nilai ekspor Indonesia saat ini baru sekitar US$ 145 miliar. “Ini fakta, negara sebesar kita ini kalah dengan Thailand yang penduduknya 68 juta, Malaysia 31 juta penduduknya, Vietnam 92 juta, dengan resource, dengan SDM yang sangat besar kita kalah,” ujarnya akhir Januari lalu.
Sedangkan pasar rakyat baru mampu 1.000 lokasi direvitalisasi dari 5.000 pasar. Pemerintah klaim pada tahun 2015 telah mengkucurkan Rp 1,362,800,000,000,- dan direalisasikan untuk 182 pasar. Lalu kucuran melalui DAK Rp 1,075,900,000,000,- untuk pembangunan 770 pasar tradisional. Selain itu, ada dana revitalisasi pasar melalui Kementerian Koperasi dan UKM Rp 78 miliar untuk 65 unit.
Pada tahun 2016, dana revitalisasi pasar rakyat digelontorkan Rp 1.466,500,000 untuk 168 unit pasar dan melalui DAK Rp 1,006,995,080,000 untuk membangun 710 unit pasar rakyat.
Mendag Enggartiasto Lukita mengatakan pada 2016 Kemendag merevitalisasi 878 pasar rakyat. Ini terdiri dari 168 pasar melalui Dana Tugas Pembantuan dan 710 pasar melalui DAK. Di lain pihak, Mendag mengakui, saat ini baru mampu menuntaskan sekitar 1.000 lokasi pasar rakyat.
Target 5.000 pasar hingga 2019 berarti setelah 3 tahun Jokowi jadi Presiden, tercapai realisasi minimal 3.000 lokasi. Padahal pengakuan Mendag baru 1.000 pasar terealisir. Baru sekitar 35% dari target 3.000 lokasi untuk 3 tahun atau hanya 20% dari target 5.000 lokasi untuk 5 tahun. Waktu tinggal 1,5 tahun lagi. Ini bermakna kinerja Jokowi sangat buruk urus revitalisasi pasar rakyat.
Jokowi terbuka mengkritik kinerja Kemendag. Di mata Jokowi, pejabat Kemendag terlalu nyaman bekerja di zona aman, sehingga tidak mau membuat terobosan. Ia menyoroti beberapa hal harus diperbaiki jajaran Kemendag. Salah satunya adalah pasar, baik dalam maupun luar negeri.
Jokowi berpendapat, pejabat atase perdagangan dan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) selama ini bekerja tanpa membawa terobosan terutama dalam mengggarap pasar-pasar di luar negeri. ITPC gitu-gitu saja. Pameran juga tidak ada pembaruan. Pasar-pasar baru banyak sekali yang tidak pernah diurus.
Baca juga: Afrika Jadi Target Incaran Menlu Retno Marsudi
Eks walikota Solo ini menyadari Amerika Serikat, Jepang, Cina dan Eropa merupakan pasar besar. Namun, masih banyak negara lain berpotensi besar dan dapat ‘digarap’ Indonesia. Salah satunya Afrika. Nilai potensi pasar di Afrika mencapai US$550 miliar. Namun, Indonesia hingga kini baru menguasai pasar ekspor senilai US$4,2 miliar di sana. Indonesia bahkan tidak mencapai US$1 miliar di pasar Eurasia yang berpotensi hingga US$251 miliar. Intinya, Jokowi mengakui Pemerintah belum bekerja optimal untuk meningkatkan pasar ekspor.
Kondisi perdagangan global Indonesia juga menunjukkan merosot. Sumber World Economic Forum menunjukkan, indeks daya saing global Indonesia sempat di peringkat 54 tahun 2009. Naik ke peringkat 44 tahun 2010. Kembali turun ke posisi 46 tahun 2011 dan ke urutan 50 tahun 2012. Kembali naik ke angka 38 tahun 2013. Tahun 2014 kembali naik ke urutan 34, tetapi di era Jokowi 2015 kembali turun ke posisi 37 dari 140 negara.
Tahun 2016 merosot drastis ke posisi 41 dari 138 negara. Tahun 2017 Indonesia naik menempati urutan 36 dari 137 negara. Jika dihitung per tahun era Jokowi, maka berada pada peringkat ke 37 (2015), 41 (2016) dan 36 (2017). Rata-rata peringkat ke 38. Angka 38 ini menunjukkan peringkat daya saing global era Jokowi merosot atau lebih rendah dibandingkan era SBY yang pernah mencapai peringkat 34. Adalah keliru pernyataan daya saing global era Jokowi meningkat jika dibandingkan era SBY.
Baca juga: Peringkat Daya Saing RI Turun di No.41 Sedunia
Tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK, kinerja ekspor Indonesia juga cenderung menurun. Hal ini ditekankan ekonom senior INDEF Didik J Rachbini Juli 2017 lalu yang dikutip media. Menurut Didik, empat tahun lalu Indonesia berhasil mencapai US$ 200 miliar, sekarang (2017) hampir US$ 117 miliar, separuh tergerus. Padahal, nilai ekspor merupakan tanda pemerintahan hidup. Saat ini terjadi de-konsumsi dan de-ekspansi dilakukan pemerintah. Hal itu menunjukkan pemerintah tidak mengerjakan pekerjaan untuk bersaing di tingkat internasional.
Kondisi neraca perdagangan tiga bulan terakhir ini juga memprihatinkan. Sebagaimana diungkapkan Mantan Menkeu, Fuad Bawazier, neraca perdagangan Indonesia cenderung defisit dalam tiga bulan terakhir ini yaitu dari Desember 2017 sampai dengan Februari 2018. Total defisit neraca perdagangan USD1,1 miliar atau rata-rata defisit perbulan USD364 juta.
Baca juga: Tiga Sukses Semu Ekonomi Jokowi
Tim Studi NSEAS sementara ini berkesimpulan. Pertama, dari sisi peningkatan daya saing global, kinerja Jokowi buruk karena capaian lebih rendah ketimbang era SBY.
Kedua, dari sisi revitalisasi pasar rakyat, kinerja Jokowi tergolong lebih buruk karena cuma mampu mencapai sekitar 35% dari total target tiga tahun 3.000 lokasi. Jika dibandingkan target 5 tahun, Jokowi baru mampu merealisasikan sekitar 20%. Sisa waktu tinggal 1,5 tahun lagi bagi Jokowi.
Ketiga dari sisi ekspor, kinerja Jokowi juga buruk karena tidak berhasil menaikkan nilai ekspor. Dan keempat dari sisi pengendalian harga kebutuhan pokok, juga kinerja Jokowi buruk karena harga tetap menaik, tidak turun.
Mengapa kinerja Jokowi buruk urus perdagangan? Pertanyaan ini sangat penting dijawab Rezim Jokowi agar diperoleh solusi untuk diimplementasikan demi kesuksesan urus perdagangan.
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Ketua Tim Studi NSEAS