NUSANTARANEWS.CO – Menutup akhir tahun, pada tanggal 27 Desember 2017, kita dikejutkan oleh pernyataan Pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang terlihat frustasi, lantaran gagal dalam mencaplok 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot, pemerintah sedang memikirkan alternatif lain untuk mengambil saham Freeport sebesar 51 persen, yaitu dengan membeli hak partisipasi (participating interest/PI) milik perusahaan tambang asal Australia, Rio Tinto. Saat ini, Rio Tinto memiliki 40 persen saham di Freeport (jawapos.com, 27 Desember 2017).
Padahal empat bulan sebelumnya, Selasa 29 Agustus 2017, bertempat di Kementerian ESDM, pemerintahan Jokowi yang diwakili Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dengan bangga mengumumkan keberhasilan kesepakatannya terkait hasil negosiasi dengan PT Freeport Indonesia, yang diwakili langsung oleh CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Richard Adkerson.
Dalam pengumuman tersebut, dipaparkan telah tercapai tiga kesepakatan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dan Freeport. Diantaranya adalah kesepakatan bahwa “Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51% saham kepada pihak Indonesia” (detik.com, 29 Desember 2017).
Masalah saham Freeport yang sedang melilit bangsa Indonesia saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari asal usul kesepakatan sebelumnya. Bung Karno menyebutnya dengan Jasmerah, “jangan sekali kali meninggalkan sejarah”. Apa yang terjadi saat ini adalah akibat saja dari sebab yang diciptakan di masa lalu.
Skandal lembaran saham Freeport yang tengah melilit bangsa Indonesia tersebut tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita yang saat itu menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben). Dari Jabatan Mentamben tersebutlah Ginanjar mulai memainkan perannya selaku “good boy” nya Amerika.
Sebetulnya Freeport telah lama mengincar “membeli” Ginanjar untuk dijadikan sebagai “good boy” semenjak Ginandjar menjabat Kepala BKPM (1985-1988). Melalui tangan raksasa itulah yang menempatkan Ginandjar untuk meraih jabatan yang lebih tinggi, yaitu menjadi Mentaben.
Setahun setelah Ginanjar Kartasasmita diangkat menjadi Mentamben oleh Presiden Soeharto, Freeport Indonesia langsung mengajukan perpanjangan kontrak mereka pada pada tahun 1989. Freeport Indonesia lalu meminta dalam perpanjangan kontrak tersebut untuk memasukkan situs Grasberg sebagai lokasi pertambangan mereka.
Sebetulnya Kontrak Karya tahun 1991 sangat strategis bangi Indonesia untuk meraih kedaulatan dan kemakmuran dari tambang. Mengap? Karena pada tahun 1988, Freeport menemukan cadangan senilai $40 billion di Grasberg, sekitar 3 kilometer dari lokasi tambang lama Ertsberg yang dikuasai Freeport sejak tahun 1967 dan dieksploitasi sejak tahun 1970.
Bahkan sumber lainnya menyebutkan bahwa cadangan Grasberg menyimpan 72 juta ounce emas murni, ditambah perak dan tembaga senilai sekitar US $ 60 miliar. Sedikitnya tiga kali lipat dari besarnya cadangan di Ertsberg.
Namun, selaku “good boy” dari “majikan besar”, Ginandjar hanya bisa mengamini saja dengan embel-embel kenaikan pajak dan bagian saham lebih besar bagi pemerintah Indonesia dari 10% menjadi 20%. Freeport pun menyetujui dan kedua belah pihak menandatangani perjanjian Kontrak Karya pada 30 Desember 1991.
Tentu tak ada makan siang yang gratis. Elite Indonesia yang tak punya karakter, yang gampang dibeli dengan murah, tentu dengan gampang mengobaral kekayaan bangsa kita untuk dikuasai asing, dengan imbalan yang sangat murah.
Freeport Indonesia sangat paham dan mengimani bahwa mayoritas elite Indonesia telah mengubah dirinya sebagai komoditi yang bisa dibeli. Bahkan harga jualnya tidak perlu terlalu mahal, jauh lebih murah dari harga barang loakan di pinggir jalan.
Walaupun diduga dibeli secara murah, namun dalam kasus kontrak karya dengan Freeport tahun 1991, sebuah perusahaan pertambangan terbesar di dunia, imbalan yang diduga diterima oleh Ginandjar diperkerikan tak kecil jumlahnya, tak akan habis hingga tujuh turunan.
Apalagi, konon katanya perusahaan milik adik kandungnya, Agus Gurlaya Kartasasmita, PT Catur Yasa, pernah menang tender untuk mendirikan pembangkit listrik untuk kegiatan tambang di area Freeport. Itu mungkin salah satu imbalan dalam wujud projek, belum yang lainnya.
Kini, anak, cucu dan cicit dapat hidup foya-foya dengan uang hasil korupsi, kolusi dan nepotisme di tengah kemiskinan rakyat. Kini pesta pora dengan uang hasil mengobral kekayaan bangsa secara murah ke asing, lalu tampil seakan-akan bersih dari korupsi dan bebas dari suap.
Karena itu, jika ada ribut-ribut soal transaksi antara kadal dengan buaya dalam skandal penjualan saham Freeport sebesar 51 persen, tentu tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita.
Bukankah ada peran strategis Ginandjar yang menyebabkan kertas saham Freeport yang kini melilit Indonesia Jasmerah!
Penulis: Salamuddin Daeng (Peneliti Ekonomi Politik Pertambangan)