Ekonomi

Kekacauan Data, Kegagalan Paling Mendasar Pemerintahan Jokowi-JK

kekacauan data, salamuddin daeng, pemerintahan jokowi-jk, kegagalan paling mendasar, data pemerintah, perencanaan pembangunan, nusantara news, nusantara news
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat ekonomi Salamuddin Daeng mengatakan kekacauan data pemerintah merupakan kegagalan paling mendasar pemerintahan Jokowi-JK selama 4 tahun terakhir. Data merupakan dasar dari perencanaan pembangunan.

“Mau bangun apa saja maka diperlukan data yang akurat. Apalagi bangun negara tentu harus sangat akurat, lebih akurat, dikarenakan negara memiliki sumber daya untuk melalukan survei, sensus dan metode apapun yang diperlukan dalam menghasilkan data yang akurat,” ujar Salamuddin, Jakarta, Rabu (20/2/2019).

Baca juga: Kasihan Presiden Jokowi, Terima Data Tak Akurat dari Lembaga Pemerintahan

“Namun di sinilah kegagalan paling dasar dari pemerintahan Jokowi-JK. Gagal dalam membenahi data nasional yang kacau-balau. Masalah ini telah menjadi keluhan para analis, akademisi dan investor. Jadi kalau pemerintah bicara data pasti ujung-ujungnya belepotan. Salah data!,” sambung dia.

Dia mengungkapkan hampir seluruh data di Indonesia kacau. Mulai dari data dasar seperti data kependudukan, data tanah atau lahan, data produksi masing-masing sektor ekonomi dan lain sebagaimya.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Terima Kunjungan Tim Ekonomi di Perbatasan Sabah

“Antar lembaga pemerintah yang satu dengan yang lain berbeda datanya. Hal ini dikarenakan ego sektoral. Dalam rangka mengejar anggaran masing-masing sektor, masing-masing kementerian dan lembaga,” paparnya.

Baca juga: Soal Jokowi Salah Data, Mantan Jubir Gus Dur: Cermin Ada Masalah di Administrasi Istana

“Kesalahan data adalah sumber korupsi anggaran negara,” cetusnya. Dia menuturkan, perencanaan pembangunan tidak dapat dilaksanakan bila data-data yang dimiliki tidak akurat. “Kalau alokasi anggaran didasari data yang tidak akurat, maka bisa dipastikan akan terjadi korupsi,” ujar dia lagi.

Sebagai contoh, kata peneliti AEPI ini, data lahan pertanian adalah contoh paling fatal. Perbedaan yang mencolok antara data lahan pertanian versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Menteri Pertanian (Mentan). Perbedaan data keduanya sangat mencolok. Menurut Mentan lahan baku sawah untuk produksi padi meningkat selama pemerintahan Jokowi. Sementara menurut BPS lahan baku sawah untuk produksi padi malah turun 700 ribu hektare. Selisih dua lembaga ini mencapai 1,2 juta hektare.

Baca Juga:  Pj Bupati Pamekasan Salurkan Beras Murah di Kecamatan Waru untuk Stabilitas Harga

Baca juga: Ego Sektoral Antara Lembaga Bebani Presiden Jokowi Terkait Data Nasional

“Banyak pihak telah menyampaikan petisi kepada pemerintah untuk memperbaiki data itu karena bisa menjadi sumber korupsi. Termasuk dugaan korupsi impor beras. Tapi tampaknya tidak ada upaya membenahinya,” sebutnya.

Akibatnya, lanjut dia, ketika melakukan perhitungan produksi beras, selisih perhitungan produksi beras kedua lembaga itu mencapai 43%. “Ini sudah keterlaluan kekacauan datanya. Presiden Jokowi tampak lebih senang menggunakan data Kementerian Pertanian karena perhitungan luas lahan baku dan perhitungan produksi berasnya jauh lebih besar,” terang dia.

Lebih jauh lagi, katanya, masalah data tanah dan lahan tidak pernah dibenahi oleh pemerintah. Padahal ini data dasar, sama halnya dengan data kependudukan karena menyangkut kedaulatan, ketahanan dan keamanan negara. Penguasaan lahan di Indonesia sudah tumpang tindih.

Baca juga: Usai Dilantik, Gubernur Riau Janji Cegah Karhutla Sesuai Perintah Presiden Jokowi

Padahal, tambah dia, tanah atau lahan yang telah dialokasikan untuk penanaman modal sangat luas. Untuk lahan kehutanan HPH, HTI, HTR mencapai 32 juta hektare, tambang mineral dan batubara 42 juta hektare, untuk lahan perkebunan sawit sekitar 9-14 juta hektare (tidak pasti), untuk migas sekitar 90 juta hektare. Padahal luas daratan Indonesia 192 juta hektare.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Hadiri Sosialisasi dan Literasi Keuangan Bankaltimtara dan OJK di Krayan

“Banyak kabupaten kota di Indonesia telah mengalokasikan penggunaan tanah atau lahan melebihi luas administratif daerahnya. Bagaimana bisa terjadi kekacauan data seperti itu? Sementara pemerintah Jokowi tidak dan gagal membenahinya,” tukasnya.

(eda/gdn)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 806