Ekonomi

Semoga Pemerintah Mengerti, Kedaulatan Pangan Kepentingan Nasional Paling Hakiki Suatu Bangsa

pangan dan energi, ketahanan pangan, ketahanan energi, kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kebutuhan pangan, kebutuhan energi, impor pangan, impor energi, nusantaranews
ILUSTRASI – Pangan dan Energi. (NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ada dua kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh suatu negara agar tetap kuat dan mandiri. Keduanya, pangan dan energi. Kedaulatan pangan dan energi merupakan kebutuhan paling hakiki suatu bangsa.

Kedua aspek tersebut merupakan agenda kepentingan nasional suatu negara bangsa yang paling hakiki. Jika salah satu dari keduanya lemah, maka kedaulatan negara akan terancam. Menurut Friedrich Ratzel, jika suatu negara bergantung pada impor berarti negara tersebut tidak akan pernah merdeka.

Pada masa orde baru, Presiden Soeharto telah menempatkan pangan dan energi sebagai kepentingan nasional Indonesia. Kebijakan strategis Presiden Soeharto itu dapat diibaratkan tangan kiri presiden memegang Bulog, sementara tangan kanan memenang Pertamina.

Baca juga: Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi Indonesia

Namun ketika memasuki era reformasi, pangan dan energi malah terabaikan kalau tak mau dikatakan malah dihancurkan. Masalahnya sekarang adalah Indonesia tengah menghadapi apa yang disebut ketergantungan.

Sejak 2004, Indonesia diprediksi akan menjadi negara net of oil importer. Sayang, hal ini tak pernah digaungkan lagi oleh siapapun. Seolah-olah kita malu menjadi negara net of oil importer. Padahal, sebagian negara G20 atau negara industri adalah sebagai negara net of oil importer. Sekarang, setiap hari Indonesia harus impor minyak. Rata-rata konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 1,6 juta bph.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

BPS menyatakan impor minyak mentah Indonesia pada awal 2018 sebesar 573,6 juta dolar AS. Kita tidak bisa berdikari lagi lantaran sudah menghadapi ketergantungan.

Baca juga: Sesat Pikir Ketahanan Pangan Nasional

Demikian pula pangan. Dengan kondisi alam yang dimiliki Indonesia, seharusnya kita tidak perlu sampai impor. Sudah beragam jenis pangan yang diimpor, bahkan saat hasil panen padi surplus pun opsi impor tetap dilakukan. Ambil contoh misalnya pada awal-awal 2018 lalu, dalam rentang waktu tiga bulan, pemerintah mengimpor beras mencapai 1 juta ton. Impor dilakukan di tengah-tengah panen raya padi para petani tanah air dan diperkirakan hasilnya surplus 3 juta ton.

Sesungguhnya, dengan luas lahan perkebunan dan pertanian yang ada, Indonesia tidak perlu sampai melakukan impor beras. Juga tidak perlu impor bahan pangan lainnya seperti kedelai, jagung dan produk-produk pertanian. Bahkan Indonesia masih memiliki 60 juta hektare belum termanfaatkan. Apabila lahan tersebut dikelola dengan baik untuk membangun ketahanan pangan nasional, tentu akan menarik puluhan juta tenaga kerja dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Baca Juga:  Membanggakan di Usia 22 Tahun, BPRS Bhakti Sumekar Sumbang PAD 104,3 Miliar

Dan apabila itu terjadi, tidak perlu lagi orang-orang Indonesia menjadi TKI di negeri orang. Bahkan tidak ada lagi orang Indonesia yang menganggur. Justru, mungkin malah kita kekurangan tenaga kerja!

Baca juga: Melihat Skema Ketahanan Energi Nasional

Yang menjadi masalah, apakah pemerintah mengerti bahwa kedaulatan pangan itu adalah kepentingan nasional suatu bangsa yang paling hakiki? Sayangnya, jalan pintas telah diambil dengan dibukanya pintu investasi asing di sektor pertanian. Sektor yang tadinya tertutup untuk investor asing kini telah dibuka dengan revisi Peraturan Presiden (PP) Nomor 39 Tahun 2014 yang diteken pada 23 April di tahun yang sama.

Dengan demikian, usaha budidaya tanaman pangan seluas lebih dari 25 hektare untuk jenis tanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan tanaman pangan lainnya kini telah dinyatakan terbuka bagi modal asing dengan nilai investasi maksimal hingga 49 persen.

Padahal, saat ini monopoli kartel asing sudah sangat dalam di Indonesia, Kartel pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok dan pasokan komoditas pangan utama. (red/nn)

Baca Juga:  Kebutuhan Energi di Jawa Timur Meningkat

Editor: Gendon Wibisono & Eriec Dieda (Artikel ini disunting dari makalah bertajuk Menatap Pembangunan Indonesia Abad 21: Sebuah Perspektif)

Related Posts

1 of 3,061