Budaya / SeniCerpen

Sekarang Bukan Waktu yang Tepat untuk Mengumbar Bahagia, Sayang

Cerpen: Fajar Martha

Sebuah sinyal mewanti-wanti. Ialah firasat yang perlu juga diwaspadai. Malah, aku telah meyakini bahwa cara kita menyikapi sejumlah sinyal adalah langkah pertama dalam membenahi petaka. Seperti bagaimana sinyal-sinyal itu berkedut dan berpendar, mengarah seutuhnya padamu.

Aku betul-betul memahami bahwa kau perempuan yang begitu mendamba kebahagiaan. Betapa tidak? Kau sering mengucapkannya lantang-lantang, tak hanya satu-dua kali, tapi berkali-kali. Aku hanya bisa menjawab ‘iya,’ mengiakan ambisimu.

Jangan cemberut dulu, aku tak keliru bila menyebutnya sebagai ambisi. Bukankah semua orang ingin berbahagia?

Mungkin kau menilaiku sebagai ayah yang rumit, ayah yang egois, yang tidak mampu memahami gelagat dan cuaca zaman. Ya, itu celoteh khas orang-orang seusiamu. Namun, seperti ayah-ayah yang lain, aku selalu berdalih bahwa kau belum pernah melewati masa muda, belum pernah merasakan beban hidup yang pernah dan sedang kami panggul. Tak peduli di zaman apa pun, kami, orang-orang tua, selalu memiliki dalih itu. Kalian masih terlalu naif.

Dan tentu, sebagai laki-laki, aku tak pandai mengutarakan maksud dan perasaan yang sejatinya mengendap dalam hati. Kami, kaum lelaki, juga terlahir dengan mahkota bernama gengsi. Walau kutahu cuma kau satu-satunya harta terakhir yang kumiliki: setelah ibumu pergi meninggalkan kita; setelah abangmu turut pergi, memutus garis keluarga—ketika merasa iman yang ia pilih lebih bisa mengantarnya ke surga.

Tidak setelah semua itu. Tidak setelah semua kehilangan itu, Kania anakku sayang. Aku terlalu dalam menyayangimu, menanam banyak harapan di pundakmu yang mungil.

Kau pastilah jemu—atau mungkin muak?—dengan sikapku. Dengan penolakan-penolakanku yang tanpa penjelasan, dengan ratusan perintah yang selalu menuntut untuk dipatuhi. Kau berulangkali melanggarnya, bahkan setelah ibumu pergi tergesa-gesa meninggalkan kita, setelah abangmu minggat dan menajisi keberadaan kita. Setelah pertengkaran-pertengkaran kita, aku hanya bisa mengisap pipa cangklong dalam-dalam, membuang abunya yang bergumpal gelisah ke dalam asbak. Kau tahu telah memenangkan pertempuran. Seorang gadis tak selamanya polos dan lucu. Mereka akan menjadi perempuan yang merasa sanggup mengendalikan laju hidup.

Engkau tak tahu, Kania sayang. Selama ini aku kerap menunggumu sedikit terpeleset, salah ambil langkah, lantas mengaku salah. Percayalah, saat itu takkan ada marah yang tersisa karena aku hanya mengelus rambutmu pelan-pelan, membiarkan air matamu mengucur ke dadaku yang semakin ringkih saja. Aku tahu yang kau butuhkan cuma itu. Aku tak memiliki kosakata untuk membuatmu bicara. Biarlah semua tersampaikan lewat tatap mata kita berdua.

Ketahuilah, Kania anakku, dunia sedang tidak baik-baik saja dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengumbar bahagia.

Baca Juga:  Satupena di Tangan Midas

***

“Keputusanku sudah final, Yah.” Kalimat itu meluncur setelah kau menyunggi kopi dan koran pagi. Ini Minggu, hari paling tepat untuk menepi sejenak dari ingar-bingar hidup. Hari yang mungkin bisa kita berdua lalui dengan canda tawa—meski itu seringkali tak ada.

Katamu lagi, “Kania tahu ayah masih kecewa dengan keenggananku mencari nafkah seperti orang-orang. Menjadi pekerja kantoran bukan duniaku, Yah. Barangkali di sanalah Tuhan membuka pintu rezekinya buatku.”

Kedua tanganmu mengepal mug, seperti ingin meneguhkan keberanian. Sinar mentari yang menerabas dari jendela tak mampu menghangatkan suasana.

“Di sana aku tidak sendiri. Satu tahun terakhir aku mengikuti kursus bahasa Arab. Di Kuwait ada Stefani, teman SMP-ku dulu. Ayah masih ingat, kan? Dia sudah dua tahun jadi barista di sana. Ia mengajakku untuk menyusul. Kami bisa tinggal berdua, sekaligus menghemat biaya hidup sehari-hari. Uangnya banyak, Yah. Aku juga tidak akan lama, kok, tinggal di sana. Paling lama mungkin tiga tahun…”

“Sebentar lagi Ayah pensiun. Uang yang kuperoleh bisa kusisihkan untuk modalmu memulai usaha. Kania tahu Ayah tak mungkin dapat dibatasi umur. Ayah selalu ingin merasa berguna bagi keluarga.”

Ow. Kalimat itu sungguh menghunjam batinku! Betapa waktu cepat berlalu. Kau bukan lagi gadis mungil yang kupanggul di atas pundak untuk mencari penjual es krim. Kau Kania yang telah menginjak dua lima. Usia yang mampu membuatku kehabisan kata-kata.

Nak, tanpa kami kemukakan, seorang ayah sering menyesali pilihan-pilhan yang telah mereka ambil. Pilihan-pilihan yang kami anggap terbaik guna memuluskan langkah buah hati kami di dunia. Dan, penyesalan itu mengajakku kembali ke tiga tahun silam, saat aku begitu berkeras supaya kau segera mencari kerja. Supaya ijazahmu tak terlalu lama mendekam di lemari.

Saat itu kau begitu mengakrabi lara. Kekasihmu Pijar Bumi meninggalkanmu dengan alasan mengada-ada. Aku tak merespons peristiwa itu dengan amarah. Aku bisa saja menghajar lelaki itu. Tetapi itu mubazir, Kania anakku. Kau harus segera bangkit dan tugaskulah untuk memapahmu berjalan kembali. Pahamilah, Nak, perpisahan akan selalu mengakhiri cinta.

Tapi, alih-alih memanfaatkan ilmu yang telah susah-payah kau raih selama kuliah, kau justru memilih bekerja sebagai barista. Meracik minuman di kedai kopi 18 jam yang jarang sepi. Kau menganggap itu pekerjaan bergengsi, pekerjaan yang bisa kembali menceriakan hari-harimu. Dan, ya, ternyata memang betul. Kawan sekantorku juga bilang begitu. Ada gejala aneh yang menghantui zamanmu: pekerjaan di sektor jasa—yang oleh kalangan kami dianggap tak menarik—bisa tampak begitu berkilau dan digilai anak-anak muda. Lalu apa gunanya ijazah? Padahal kau mengetahui beban kerja yang tak sepadan dengan gaji. Belum lagi jadwal kerja malam yang harus kau penuhi. Duh, Kania, jadwal tidurmu jadi berantakan.

Baca Juga:  Satupena di Tangan Midas

Kepalaku makin dibebat pemikiran-pemikiran murung bila menyaksikan acara-acara berita di televisi: kekejaman sistem kontrak dan outsourcing, korupsi berjemaah, perbuatan lancung para politisi, para pemuka agama penabur kebencian, ancaman krisis pangan, mahalnya biaya hidup, transportasi yang terus menerus bobrok, kebodohan dan kedegilan yang meruyak: bisakah kau menyongsong hidup di zaman serunyam ini?

Lantas kau justru menganggur dan menghamburkan gaji yang kau himpun. Kau bisa begitu karena kau belum memiliki tanggungan. Kau masih hidup bersamaku dan ibumu. Kau belum berkeluarga dan mempunyai anak. Kau memilih untuk menikmati kebebasan dengan berpelesir ke Korea Selatan, negeri yang budaya dan orang-orangnya kau kagumi. Aku hanya bisa marah kepada mendiang ibumu. Katanya: biarkan saja, luka yang diberi bekas kekasihmu belum mengering.

Kau tak pernah tahu. Di malam-malam yang senyap, kami berdua kerap bertengkar membicarakanmu. Sering aku menganggapnya terlalu memanjakanmu, Kania. Bahkan hingga menjelang kematiannya, ia masih memaksa untuk mengantar-jemputmu. Padahal usiamu telah dua empat waktu itu. Itulah yang membuatmu dengan enteng menepis tawaran kerja dari berbagai perusahaan, semata-mata karena tempatnya yang terlampau jauh. Ibumu selalu berkata bahwa kau bukan perempuan biasa.

Aku berkali-kali menyanggah ibumu: bukankah kota ini telah memaksa para gadis menjadi dewasa sebelum waktunya? Aku ingin ia berhenti memanjakanmu. Itu saja.

Jawaban baru kuberi keesokan hari. Jawaban yang membuat kedua matamu berbinar, sama seperti dulu setiap kau kubelikan es krim.

***

Kania sayang, lelaki itu datang lagi. Itu Pijar Bumi, Nak, lelaki yang dulu pandai membuatmu berpijar. Lihatlah, di kedua matanya ada irama sendu. Berkali-kali kusaksikan ia menyeka kedua mata itu. Terakhir ke sini ia memintamu untuk kembali bergala kasih, yang kau tolak mentah-mentah.

Memang sulit menerima maaf, anakku sayang. Seperti aku yang hingga kini tak sudi menerima perbuatan abangmu Windu. Lelaki itu datang lagi, berkata ia belum bisa melupakanmu dan memilih hidup sendiri. Kau dengar itu, Nak?

Orang-orang mengherankan tingkahku hari ini. Aku tiada henti mengumbar bahagia. Tubuhku tak lagi berbau apak tembakau, wangi sekali, bersaing dengan harum kue-kue dan kepulan teh melati dan kopi panas. Rambutku yang separuhnya telah kelabu kulumuri minyak kemiri. Kukenakan pula arloji berkilau pemberianmu dulu.

Baca Juga:  Satupena di Tangan Midas

Sebulan di sana, kau rutin mengirim kabar. Di beberapa kesempatan kau juga memperlihatkan foto-fotomu yang ceria, saat kau dan Stefani menjelajahi negeri itu. Kuwait ternyata negeri yang indah, ya. Meski sering dirundung khawatir, senyummu di foto-foto itu membuat dadaku sedikit lega. Anakku telah menempuh jalan yang ia pilih dengan bahagia. Dugaanku keliru, di sana kau tidak tersesat dalam terra incognita.

Kau juga tak mempermasalahkan soal makanan atau tempat tinggal—hal-hal yang biasanya dikhawatirkan almarhum ibumu. Ternyata di sini hidupku begitu nyaman, Yah, katamu. Sempat juga beberapa kali kita bertatapmuka lewat video call.

Kau tak tahu kan, betapa setelahnya aku selalu menangisi ketiadaanmu, menangisi kamarmu yang senantiasa dingin melompong? Kau tak tahu. Orang-orang ini juga tak tahu. Ribuan detik telah berdetak silih berganti, menggilir getir yang bersanding dengan kesunyian manusia di hari tuanya. Kesunyianku di hari tuaku.

Ah, Stefani… Kalian berdua begitu lengket dulu. Kan aku pula yang sering menjemputmu di rumahnya, mengantar kalian ke mal, kolam renang, atau tempat les. Apa kau tidak ingat?

Yang kita tak tahu, sahabatmu Stefani telah menjelma menjadi dewi prahara.

Di negeri yang membuatmu kembali merona, tega-teganya dia menjualmu ke penadah berahi. Kecantikan dan kesegaran tubuhmu diobral di wahana prostitusi. Negeri itu kelimpahan pendatang dari berbagai bangsa. Kebanyakan kaum lelaki yang jauh dari pelukan istri, atau mereka yang senantiasa bernafsu mengangkangi perempuan. Aku tahu kebahagiaanmu telah dicacah menjadi berkeping duka. Bukan penyesalan namanya jika ia hadir di muka.

Kau tiba dua hari yang lalu. Tabungan yang kusimpan untuk kebahagiaanmu banyak kukuras demi menguburmu di sini—bukan di sana. Kini, setelah sekian lama tak melakukannya, aku hanya ingin mereka tahu kalau aku juga bisa mengumbar bahagia meski segalanya sedang tidak baik-baik saja.

Pondok Bambu-Pejaten, November 2017

Baca Juga:

Simak di sini: Puisi Indonesia

Fajar Martha, Anak sasian sosiologi yang meminati kajian kelas, budaya, dan replikasi sosial. “Even if socialism is off the historical agenda, the idea of countering the exploitative logic of capitalism is not.” ― Erik Olin Wright.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 39