Budaya / SeniCerpen

Sebelum Kehidupan

Cerpen: Ali Mukoddas

NUSANTARANEWS.CO – Sebelum kehidupan. Sebelum kelahiran. Manusia berkelompok-kelompok, menjunjung satu orang sebagai juru bicara yang dipercaya. Nyawa dan hasrat diserahkan seperti persembahan. Tak ada pemberontakan, selain perang antar kelompok. Seperti kehidupan yang akan datang, mereka juga membentuk kelompok yang bermacam jenis. Kelompok kecil selalu di atas, sedang kelompok besar selalu di bawah. Hal itu terjadi karena konsepnya, hal yang terlalu banyak anggota akan sulit memantau satu persatu, sedang kelompok kecil hampir semua tindakan, bahkan bisikan dapat dipantau. Kesetiaan lebih erat di kelompok kecil. Itu kontras sekali dengan keadaan yang akan mereka lalui, nanti.

Di antara semua orang yang dipanggil, ada satu yang tidak mendapat panggilan, tapi dia berada dalam barisan. Hanya satu orang, dan itu laki-laki, kulitnya antara putih dan hitam, hidung mancung, rambut sedikit keriting, mata tajam seperti serigala, alis seperti siluet cahaya. Tapi lupakanlah tentang satu orang yang menyusup itu. Karena namanya tidak diketahui, asal usulnya dibuyarkan. Dan dia berada di antara kelompok besar. Di antara kelompok besar dan kecil dia menjadi mereka.

Sekarang, sebutlah mereka berada di tempat entah berantah, kota entah berantah dan serba entah berantah. Kelak, saat mereka melewati pintu kehidupan, mereka akan lupa pada identitas dirinya, tapi akan tetap melakukan rutinitas yang dikerjakan dan dijadikan kebiasaan saat berada di tempat entah berantah itu. Karena berkelompok, kesetiaan sebelum menuju pintu kehidupan diikrarkan.

“Kelak, walau kita berpisah, tidak saling kenal, selama keyakinan dan kesetiaan sampai menuju pintu kehidupan dipertahankan, maka akan ada kesempatan untuk satu kelompok lagi. Tak peduli beda pandangan hidup, bentuk dan sebagainya, kita akan bertemu dalam ruang lingkup yang satu.”

Itulah petuah juru bicara di kelompok kecil. Semua mendengarkan dengan saksama. Beda halnya dengan juru bicara di kelompok besar, ketika memberi petuah harus digemakan oleh bawahan si juru bicara agar satu suara itu sampai pada pengikut di ujung barisan. Kadang yang disampaikan dengan yang diterima berbeda, tersebab satu kalimat menimpa kalimat yang lain.

“Sumpah demi kesatuan. Kita akan terus bersama menuju pintu kehidupan dengan menyandang kejayaan,” ucap juru bicara. Lalu digemakan oleh bawahan juru bicara, seperti riuh angin yang bergelombang.

“Sumpah kesatuan, kita akan selalu bersama menuju gerbang kehidupan dengan menyandang kekuasaan,” demikian kata yang sampai di ujung barisan.

“Tak ada kejayaan dan akhir yang dapat mencerai berai kita. Bersatu atau mati di tangan musuh walau dalam keadaan salah. Kelompok besar selalu menang.”

“Tak ada kejayaan dari akhir yang dapat mencederai kita saat bersatu atau pun mati di tangan musuh walau salah. Kelompok besar selalu benar.”

Itulah antara kata juru dan suara gema yang sama sekali berbeda. Entah itu karena tuli, atau tak semangat mengatakan kalimat yang sama. Jelasnya, saat dari barisan ujung depan berkata A, di tengah menjadi B, kemudian di barisan ujung akhir menjadi C. Sorak mereka sama, seperti semangat, gaduh riuh seperti segerombolan lebah.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Kita akan memenangkan kehidupan dengan berbagai cara. Tidak saling tidak membenarkan antara satu dengan yang lain, kita akan berubah. Kalahkan dan takuti kelompok kecil.”

“Kita akan memenangkan kehidupan dengan segala cara. Tidak saling membenarkan antara satu dengan yang lain, kita akan berubah. Kalahkan dan taklukkan kelompok kecil.”

“Kekalahan tidak akan selamanya kalah. Kemenangan tidak selamanya menang. Sekarang kelompok kecil menguasai kita, tapi nanti kita yang akan menguasai mereka.”

“Kekalahan akan kalah selamanya. Kemenangan tidak menang selamanya. Sekarang kelompok kecil berkuasa, tapi nanti kita yang berkuasa.”

Gema terus berlanjut, ikrar dan janji serta petuah terus diucapkan, berubah seterusnya. Tempat entah berantah itu ramai seperti layaknya perang. Wajah tua dan muda menunjukkan rasa antusias, di antara wajah itu pun ada yang menunjukkan rasa lelah. Bertahun-tahun mereka menunggu giliran dan panggilan, siapa yang akan menuju pintu kehidupan duluan. Sebagian besar menunjukkan wajah siap walau lelah, sebagian kecil tidak siap meninggalkan tempat yang mereka pijaki saat itu.

Keberadaan di tempat entah berantah itu tidak jauh beda dengan apa yang akan terjadi setelah mereka melewati pintu kehidupan. Mereka yang bertani, kelak akan menjadi petani, mereka yang beternak, kelak akan menjadi peternak, mereka yang pembunuh, kelak akan menjadi pembunuh, mereka yang baik dan menghargai diri, kelak akan menjadi baik dan menghargai kehidupan, dan seterusnya, dan seterusnya. Seperti halnya mata-mata, mata-mata di tempat entah berantah itu seperti halnya ninja. Ya, ninja di sana sudah ada, kelak saat mereka melewati pintu kehidupan mata mereka akan berbinar tajam, layaknya mata-mata.

Ada satu kategori orang yang bisa menjadi apa saja setelah melewati pintu kehidupan, karena di tempat entah berantah orang itu melakukan apa saja, segala jenis sesuatu yang bisa dilakukan dia lakukan. Kategori itu hanya berada dalam satu golongan. Sebutlah golongan putih. Di golongan putih, akan tercatat semua sejarah yang mereka perbuat. Golongan putih pun tidak pilih-pilih kelompok, mereka bisa memasuki kelompok kecil, juga kelompok besar. Tidak ada yang menyadari keberadaan mereka.

Sampailah pada waktu di mana pintu kehidupan dibuka. Sekali terbuka, ribuan orang bisa melintasi pintu kehidupan itu. Seperti perang, lagi-lagi seperti perang. Banyak korban berjatuhan saat menuju pintu kehidupan. Sayangnya, pintu yang seharusnya dilewati ribuan orang itu menjadi ratusan karena kegaduhan. Kelompok kecil selalu kuat, karena mereka bekerja sama saat melintasi pintu kehidupan, saling menjaga. Sedang kelompok besar tidak memperhatikan sekitar, komando juru bicara diabaikan, sebagian besar mementingkan diri sendiri agar sampai dengan selamat melewati pintu kehidupan. Pintu kehidupan hanya bertahan dalam hitungan jari, melesat seperti kilat, dan itu terjeda setiap saat.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Sulit mendapatkan suara panggilan untuk menuju pintu kehidupan. Orang yang tidak mendapat panggilan tetap melakukan apa yang menjadi rutinitasnya, yang petani tetap bertani, dan sebagainya. Mereka baru berhenti bertani saat dipanggil untuk menuju pintu kehidupan. Saat itulah kelompok terbentuk.

Di perang yang berkecamuk, lelaki tanpa panggilan itu menyusup seperti belut. Dia mengintip pintu kehidupan, seperti tak ada niat untuk melewatinya. Lelaki tanpa nama dan tidak diketahui keberadaannya itu bersembunyi di antara batu-batu, mata tajamnya menuju ke pintu kehidupan.

“Sungguh indah,” gumam lelaki itu.

Itu gumaman pertama saat pintu terbuka. Kemudian pintu tertutup. Lelaki itu hanya bisa menghafal semua kejadian yang ada di balik pintu itu, ada gambaran masa depan yang begitu jelas. Perang, kedamaian, hal gaib, dan segala hal yang tak seharusnya dia lihat. Kini, pintu menuju kehidupan itu tertutup. Dia hanya bisa melihat ukiran pintu yang sangat tinggi nilai seninya, warnanya hijau keemasan, tiang penyangga pintu seperti akar yang membelit bergelantungan bak kumis pohon rimba. Pintu yang kosong, pikir lelaki itu.

Dalam hitungan jari pintu terbuka lagi. Keadaan di sekitar pintu kehidupan tambah riuh penuh darah. Darah buncah di mana-mana, tapi tak sekali pun dapat menyentuh dan menodai pintu indah itu. Kedua mata lelaki penyusup itu tak berkedip, dia menghafal semua hal yang ada di balik pintu kehidupan. Dua kali pintu terbuka, dua kali pula keadaan di dalamnya berubah. Kadang di balik pintu itu tampak menyenangkan seperti senyum hangat di pagi hari, kadang pula seperti mata merah penuh amarah. Tanpa sadar, tubuh lelaki itu penuh keringat. Matanya yang tak bisa berkedip berair. Beberapa saat pintu yang tinggi dan lebar itu tertutup kembali, seperti kilat.

Saat itulah lelaki tersebut membaca semua kemungkinan-kemungkinan agar dirinya bisa mencapai pintu kehidupan tanpa pertumpahan darah. Lelaki itu seperti berteori masalah perang. Dia takjub pada satu kelompok yang saling menjaga. Berada di pojok memang, selalu terpojok, tapi mereka melingkar seperti menjaga sesuatu di dalam lingkaran itu.

Sebagaimana perang, mereka yang menuju pintu kehidupan membawa senjata terbaik untuk menjaga diri. Lelaki itu melihat berbagai macam senjata, namun yang dia kagumi adalah benda panjang tajam dan busur. Kelak, pikirnya, saat mendapat panggilan menuju pintu kehidupan, dia akan membawa sesuatu seperti kedua senjata itu. Pintu kehidupan terbuka lagi, pada saat yang sama lelaki itu tidak lagi menghafal dunia di balik pintu, tapi fokus pada orang yang masuk ke dalamnya.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Apa yang kau lakukan di balik batu, Anak Muda?”

Satu suara melengking menerobos gaduhnya suara pertempuran. Lelaki yang disebutnya anak muda tersentak, mundur, berusaha menjaga diri dari serangan. Sayangnya orang yang mengeluarkan suara itu tak membawa senjata. Mungkin dia juga bersembunyi, pikir lelaki tersebut setelah melihat sekilas, lalu menenangkan diri.

“Kau tak menjawab. Apa kau ketakutan? Kemarilah, kau jangan masuk ke celah-celah bebatuan. Tidak akan ada yang menyakitimu.”

“Ah, tidak, aku hanya mengamati keadaan saja. Aku tidak terlibat dalam panggilan menuju pintu kehidupan.”

“Ya, bisa kau jelaskan nanti. Tapi kalau kau bisa selamat dari keadaan ini. Mau kau membantuku membebat luka di lengan kiri ini. Aku kesulitan menggapainya.”

Tanpa kata, lelaki yang dipanggil pemuda itu mengambil potongan kain yang berada di tangan orang tak bersenjata itu. Lalu melilitkannya di lengan yang terluka.

“Terima kasih. Siapa namamu?”

“Aku tidak bermaksud memberitahumu. Sekarang aku sudah membebat lukamu.”

“Baiklah, kau panggil saja aku Ka. Sekarang kau kembalilah, ke tempatmu, terserah mau lari dari pertempuran menuju pintu kehidupan atau kembali ke rumahmu.”

Orang yang menyebut dirinya Ka itu beranjak pergi. Berteriak seakan menantang siapa saja yang mau menyerangnya.

“Apakah semua orang harus berperang mati-matian untuk melewati pintu kehidupan itu? Bukankah mereka bisa melewatinya bersama-sama dengan damai tanpa melakukan hal bodoh seperti itu?”

Lelaki itu coba berteriak untuk mengalahkan teriakan Ka. Tapi percuma, suaranya tak terdengar. Lelaki itu mundur, bersembunyi. Sekarang yang dia pikirkan adalah kembali ke rumah, menunggu panggilan untuk melewati pintu kehidupan. Dia berpikir, kelak saat dirinya mendapat panggilan, dia akan mempengaruhi semua orang agar tidak perlu melakukan hal bodoh semacam itu untuk melewati pintu kehidupan.

Lelaki itu berdiri, keluar dari bebatuan. Entah, saat keluar dia sudah berada dalam lingkaran satu kelompok. Dia berada di tengah-tengah kelompok kecil, lalu terseret mendekati pintu kehidupan yang terbuka. Lelaki itu tidak bisa keluar atau berteriak bahwa dirinya tak seharusnya berada di tengah-tengah kelompok itu. Tapi telat, dirinya sudah berada di ambang pintu. Satu kelompok kecil masuk dengan bebas, bersamaan dengan lelaki tanpa panggilan itu.[]

Jakarta, 29 Juni 2017.

Penulis merupakan pemuda asal Madura yang menulis untuk dirinya sendiri, cukup egoistis memang. Setelah mengakhiri pembelajarannya di Annuqayah, dia pindah ke Jakarta serta kuliah Ilmu Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Bisa berkirim email dengan penulis di [email protected].

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

 

Related Posts

1 of 39