NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi telah disahkan DPR RI menjadi Undang-Undang (UU) pada Jumat (25/5).
Salah satu poin penting dalam UU Terorisme ini ialah terkait definisi terorisme. DPR menyetujui definisi terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan negara.
Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan dalam sebuah pernyataannya seperti dikutip redaksi mengatakan pengesahan UU anti-teorisme ini harus tetap menjadikan HAM sebagai pijakannya. Sebab, hukum dalam masyarakat demokratik berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara.
“Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa produk legislasi anti-terorisme harus bersesuaian dengan kepentingan warga negara terhadap perlindungan hak-haknya,” katanya.
Simak artikel-artikel terkait:
Catatan Komnas HAM Terkait RUU Terorisme
Kelompok Teroris, The Assassins dan Revisi UU Terorisme
Sebuah Usaha Mendefinisikan Terorisme
Ghost War, Sebuah Pandangan Geopolitik
Ghost Fleet dan Pesan Armada Hantu Komunitas Intelijen Terhadap Cina
Koalisi mengingatkan kembali pernyataan Sekjen PBB Kofi Annan yang melihat bahwa terorisme memang merupakan satu ancaman dan negara-negara harus melindungi warga negaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai hak tetapi juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi, atau membenarkan pelanggaran HAM.
Demikian pula dokumen PBB tentang strategi global dalam kontra terorisme yang salah satunya memuat soal tanggung jawab negara dalam menangkal fenomena terorisme ialah pembelaan dan penegakan HAM.
“Dalam menyusun kebijakan anti-terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yakni menempatkan perlindungan terhadap liberty of person dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap security of person,” katanya.
Koalisi menggarisbawahi beberapa poin di dalam undang-undang yang baru disahkan, salah satunya agar dijalankan secara hati-hati dengan memastikan bahwa penanganan terorisme tetap berada dalam koridor penegakan hukum (criminal justice system) dan menghormati hak asasi manusia.
Lebih lanjut, koalisi juga mendesak DPR agr segera membentuk tim pengawas dengan melibatkan masyarakat sipil. Pasalnya, kata mereka, hal tersebut sudah diamanatkan dalam UU anti-terorisme untuk menjaga prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle) sehingga setiap tahun perlu ada evaluasi dari implementasi aturan ini, apakah ada praktik penyimpangan atau tidak dalam pelaksananan kewenangan khusus itu oleh aparat negara yang diawasi oleh Komisi Pengawas DPR untuk menilainya.
Sementara itu anggota Pansus RUU anti-terorisme DPR Bobby Adhityorizaldi pada Jumat (25/5) memastikan nantinya akan ada tim pengawas yang disiapkan untuk mengawasi UU anti-terorisme tersebut.
“Ada tim pengawas yang dibentuk DPR untuk mengawasi tindakan aparat penegak hukum dalam menindak terorisme. Kini, orang mau ngebom saja sudah bisa ditangkap,” kata Bobby. (red/ed/nn)
Editor: Eriec Dieda