NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Jejaring Aktivis Pro Demokrasi (Prodem) mengecam berbagai kebijakan transportasi Indonesia yang kerap menimbulkan kegaduhan dan merugikan rakyat kecil. Secara khusus, Prodem menyoroti layanan berbagi kendaraan (ride sharing) berbasis teknologi aplikasi yang tidak patuh terhadap aturan-aturan dari pemerintah, menabrak Undang-undang, tidak menggunakan program wajib negara dan cenderung eksploitatif.
“Layanan ride sharing mengacak-acak peraturan melalui tawaran program yang dimainkan masing-masing korporasi atau biasa disebut aplikator. Mereka menjalankan praktek merkantilisme dan neoliberalisme, karena mengekploitasi kondisi ekonomi dan rakyat miskin Indonesia. Bencana menimpa banyak orang dengan sederet berbagai jenis kasus hukum yang timbul, khususnya dari aplikator Grab,” ujar Wasekjen Bidang Kebijakan Publik Prodem, Dedi Hardianto melalui keterangan tertulisnya, Kamis (1/2/2018).
Dia mencatat, dari belasan perusahaan sejenis terdapat 3 perusahaan ride sharing yang bersaing ketat, seperti Grab, Uber dan Go-Jek, sementara sisanya layu sebelum berkembang, entah karena tidak memiliki konsep yang jelas atau hanya sekedar mencari sensasi semata.
Tiga kelompok yang tersisa ini memiliki bisnis di bidang transportasi roda dua dan roda empat, terkhusus Go-Jek merambah ke jasa pijat, layanan antar barang dan makanan, tiket bioskop dan tenaga kebersihan.
Para aplikator itu, kecam Dedi, membantah keras anggapan bahwa pola bisnisnya berada di sektor teknologi, perhubungan dan ketenagakerjaan. Tujuannya, mengejar keuntungan sebesar mungkin, lalu mengaburkan pakem utama bisnis ini dengan menghilangkan potensi-potensi aturan dan pajak yang seharusnya dibayarkan berdasarkan jenis bisnis yang ditawarkan.
“Kelompok aplikator ini sukses besar mengadu domba 3 kementerian yang membidangi transportasi atau perhubungan, teknologi dan ketenagakerjaan. Mengaku bergerak di bidang aplikasi, faktanya kelompok ini melibatkan sektor perhubungan melalui transportasi darat milik para pekerja yang bekerja tanpa gaji di perusahaan aplikator tersebut,” tegas tokoh gerakan buruh tersebut.
Prodem menilai, normalnya para pekerja mendapatkan alat transportasi dari pemberi kerja, namun dengan pola aplikator tersebut, para pekerja sukses dibohongi dan menggunakan kendaraan mereka sendiri. Kementerian Perhubungan sukses ditelanjangi.
Dengan sebutan mitra, kaum kelas pekerja dianggap sebagai pengusaha, padahal mereka bergabung dengan kelompok aplikasi ini karena membutuhkan pekerjaan dan penghasilan. Kelompok-kelompok pekerja ini diberikan brand seragam agar mudah dikenali dan dikontrol, akan tetapi, para pekerja ini secara tidak sadar justru telah kehilangan haknya sebagai tenaga kerja. Kementerian Tenaga Kerja ditelanjangi.
Kementerian Kominfo sebagai regulator bidang teknologi informasi, menurut Prodem sukses dibelah oleh kelompok aplikator. Kominfo yang seharusnya mengawasi, terbukti kehilangan peran dan 100% mengikuti pola main aplikator. Kemenkominfo sukses ditelanjangi, sama seperti Kemenhub dan Kemenakertrans.
“Aplikator sukses mendapatkan banyak investor hingga triliunan rupiah, tapi lalai memenuhi hak pengemudi. Misalnya, asuransi yang diterapkan dalam sistem aplikator hanya mengcover insiden saat pekerja aplikator membawa penumpang. Apabila terjadi insiden hingga hilangnya nyawa, maka diperlukan investigasi untuk mengeluarkan bantuan santunan yang besarannya pun tidak layak,” terang Dedi lagi. (*)
Editor: Romandhon