MancanegaraTerbaru

Prancis, G5, Saudi dan AS Sepakat Sahel Jadi Zona Perang Melawan Teroris

NUSANTARANEWS.CO – Republik Niger adalah negara keempat penghasil uranium terbesar di dunia. Uranium tercatat menjadi salah satu sumber ketergantungan perekonomian Niger selain pertanian dan peternakan. Namun begitu, Niger masih sangat tergantung bantuan asing karena terhitung lebih separuh pendapatan negara ini bergantung pada dana asing, terutama IMF dan Trust Fund.

Sedikitnya sembilan proyek senilai total 190 juta Euro yang telah disetujui di Niger di bawah komando Trust Fund. Uni Eropa juga diketahui menggelontorkan dana senilau 596 juta Euro di bawah kendali European Development Fund (EDF) untuk program pembangunan Niger.

Besarnya investasi asing di Niger memicu situasi sosio-ekonomi dan keamanan memburuk dalam beberapa tahun terakhir, utamanya pada tahun 2017. Ancaman kriminal, terorisme dan krisis kemanusiaan terus membayangi negara yang berbatasan dengan Nigeria ini.

Guna menghadapi ancaman proyek pembangunan di Niger, PBB mengerahkan pasukan keamanan dalam jumlah tak sedikit di Niger, termasuk di negara-negara Afrika lainnya seperti Mali, Burkina Faso, Mauritania dan Chad.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Pasukan keamanan yang beroperasi di kelima negara tersebut di bawah bendera G5 dibantu sejumlah negara Uni Eropa, terutama Prancis dan juga Amerika Serikat. Adapun kelompok-kelompok yang akan mereka hadapi di antaranya Boko Haram, Ansarul Islam, Al-Shabbab, Al-Murabitoun dan Front Pembebasan Macina. Nama Boko Haram menjadi kelompok paling mematikan.

Lahirnya kelompok-kelompok tersebut memang membuat tanah Afrika terus bergejolak. Sebagian analis menyebut, lahirnya kelompok ekstremis di Afrika lebih banyak disebabkan faktor kemiskinan. Keberadaan pasukan keamanan justru membuat warga setempat semakin menderita dan kemiskinan tetap melanda mereka. Operasi keamanan yang digelar pasukan imperialis di tanah Afrika bukannya mewujudkan kesejahteraan, melainkan malah justru menciptakan kemiskinan dan memaksa warga setempat mengangkat senjata.

Salah satu akibat paling nyata ialah Oktober lalu. Empat tentara AS tewas di tangan kelompok militan setelah disergap di kawasan Sahel, Niger. Tewasnya keempat tentara AS tersebut harus dibayar mahal Pentagon. Dan tak lama berselang, AS pun mengumumkan operasi khusus di Niger dibantu pesawat tak berawak. AS bahkan mengirimkan ribuan angkatan darat untuk memburu kelompok militan yang telah menembak mati empat tentaranya pada Oktober.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Serahkan Bantuan Sosial Sembako

Kabar terbaru menyebutkan, negara-negara G5 akan menerjunkan 5.000 pasukan gabungan anti-teroris ke Sahel pada Maret 2018. Hal itu diungkapkan Jenderal Mohamed Znagui Sid’Ahmed Ely, kepala Departemen Keamanan dan Pertahanan G5.

Kepada IHS Janes, Jenderal asal Mauritania ini mengatakan pasukan gabungan tersebut akan berpatroli di tiga wilayah; barat, tengah dan timur. Sejauh ini, tengah adalah satu-satunya wilayah operasional pasukan dengan pos komandonya di Niamey, Niger. “Pos komando juga akan dibentuk di Mauritania, di perbatasan Mali,” kata Jenderal Mohamed.

Tak hanya 5.000 pasukan dari G5, Arab Saudi juga akan mengerahkan pasukannya ke negara-negara G5; Burkina Faso, Mali, Mauritania, Niger, Chad dengan misi yang sama.

Al Arabya melaporkan, Arab Saudi menggelontorkan dana 100 juta Euro untuk pengerahan pasukan keamanan Kerajaan Saudi guna memerangi kelompok militan dan ekstremis di tanah Afrika.

Kendati langkah pengerahan pasukan keamanan ini dikiritik keras sejumlah pihak, nyatanya pertemuan G5 yang diinisiasi Presiden Prancis Emmanuel Macron pada pertengahan Desember 2017 telah menyepakati pembentukan pasukan gabungan untuk berpatroli bersama di gurun sahara, Sahel yang merupakan sebuah wilayah dalam status kepemilikan bersama Niger, Nigeria, Burkina Faso, Chad, Sudan, Ethiopia, Eritrea, Djibouti, Somalia, Mauritania, Mali dan Senegal.

Baca Juga:  INILAH TAMPANG DEDENGKOT KORUPTOR PERS INDONESIA BINAAN DEWAN PERS

Keputusan G5, Prancis, Arab Saudi dan AS beroperasi di Niger dikritik karena hanya akan menimbulkan pertumpahan darah masyarakat sipil. Negara-negara tersebut disarankan mendorong untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) saja ketimbang melakukan operasi keamanan, dan hal ini justru lebih murah, efisien, aman, berkelanjutan dan menyelesaikan masalah ke akar-akarnya. Sebab, tata pemerintahan yang baik merupakan jalan yang dapat bertahan lebih lama untuk menuju keamanan dan perdamaian. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 8