Politik

Pengamat: Mempersatukan Ummat Islam tak Mudah dan Perlu Energi Besar

NusantaraNews.co, Jakarta – Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan, Suripto menyatakan bahwa Islamophobia di Indonesia kembali merebak. Hal itu disebabkan oleh banyak anasir-anasir Orba dan pendukung Nasakom Orde Lama (Orla) di pusat pengambilan keputusan. Selain itu, Islamophobia juga dipantik oleh adanya faktor Asing, Zionisme sebagai kekuatan barat dan Komunisme sebagai kekuatan timur.

Kondisi demikian, bagi Suripto, menuntuk kaum muslim untuk ber-amar ma’ruf dan ber-nahi mungkar. Artinya, tidak cukup hanya dengan melakukan kebaikan-kebaikan bagi bersama, tetapi juga mesti melawan setiap kemungkaran. Ia menerangkan bagaimana cara kejar kebijakan Barat dalam mempengaruhi atau masuk ke dalam sendi-sendi dunua Islam.

“National Intelligence Council (NIC) merilis sebuah riset yang menyebutkan bahwa ancaman terbesar dunia dari 2004 sampai dengan 2020 adalah terorisme khususnya dari Islam. Secara operasional yang biasanya dilakukan bukanlah mencegah atau menanggulangi ancaman, tetapi justru selalu memprovokasi ummat Islam untuk melakukan aksi-aksi yang bisa dikategorikan terorisme sehingga dengan mudah diringkus, dan manjadi bukti bahwa memang Islam itu seolah-olah merupakan ancaman,” ungkap Suripto di Jakarta akhir pekan lalu.

Baca Juga:  DPC PDIP Nunukan Buka Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah Untuk Pilkada Serentak 2024

Simak: Pengamat Intelijen Sebut Indonesia Butuh Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Riset yang dirilis oleh RAND Corporation, lanjutnya, suatu lembaga think tank Amerika dalam bidang politik, ekonomi, pertahanan dan budaya, menyebut bagaimana Amerika memandang dan memperlakukan ummat Islam. Dalam dokumen yang berjudul Civil Democratic Islam mereka membagi ummat Islam itu dalam 4 kategori:

Pertama: Islam Fundamentalis, sebagai musuh nomor satu Amerika. Mereka punya daftar fundamentalis di semua negara. “Ciri-cirinya adalah menolak nilai-nilai demokrasi barat,” ucapnya di hadapan hadapan ulama, tokoh dan aktifis Islam Tanah Abang.

Kedua: Islam Tradisionalis, yaitu kelompok konservatif yang cenderung menolak perubahan. Kelompok tradisionalis dianggap bisa diperalat untuk menghadapi fundamentalis. “Kita tidak usah heran kalau melihat saat ini anak-anak muda dari sebuah organisasi Islam tradisionalis selalu digunakan untuk membubarkan pengajian-pengajian yang mereka anggap anti Pancasila atau radikal,” jelasnya.

Baca: Islamophobia Dera Indonesia Lagi, Ini Penyebab Utamanya

Ketiga: Islam Modernis, yaitu kelompok yang siap menjadi bagian dari kehidupan modern. Kelompok modernis dianggap sebagai lahan yang subur untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi barat, keterbukaan dan ajaran-ajaran kapitalis. Generasi muda Islam banyak yang jadi sasaran, terutama di kampus-kampus melalui program beasiswa untuk dicuci otaknya di Amerika. Setelah di-brainwashed mereka juga digunakan untuk menghadapi fundamentalis.

Baca Juga:  Menangkan Golkar dan Prabowo-Gibran di Jawa Timur, Sarmuji Layak Jadi Menteri

Keempat: Islam Sekularis yaitu kelompok yang memisahkan urusan agama dengan urusan politik dan negara. Bisa dianggap sebagai Islam abangan, tidak terlalu membahayakan namun harus tetap dikendalikan untuk menghadapi fundamentalis dan mencegah mereka agar tidak dimanfaatkan ‘ideologi kiri’.

“Dengan melihat kebijakan seperti di atas maka upaya untuk mempersatukan ummat Islam tidaklah mudah dan perlu energi besar,” tegas Suripto mewanti-wanti.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 3