Kolom

Orang Asli Indonesia itu Pemaaf, Jika…

NUSANTARANEWS.CO – Sandiwara demi sandiwara dengan tokoh utama Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama, terus berlanjut dari satu babak ke babak cerita lainnya. Seolah tanpa akhir. Namun, apakah hari pelaksanaan Pesta demokrasi bagi warga DKI adalah penutup dari wandiwara politik ini?

Ahok, sebagai tokoh utaman, bagi para pendukungnya adalah sosok protagonis yang penuh kebaikan mengingat selama menjabat sebagai Gubernur, Ahok mampu menunjukkan, bahwa ia telah bekerja, bekerja, dan bekerja untuk DKI. Sebaliknya, bagi yang kontra terhadap gaya kemimpinan Ahok, sikap ceplas-ceplos dan arogansinya dinilai sebagai wujud dari sosok antagonis.

Lengkaplah, penyebutan bagi sosok paling banyak dibicarakan di republik beberapa bulan terakhir ini. Namun demikian, adanya insiden dalam persidangan dirinya beberapa waktu lalu, sempat memicu amarah warga NU. Mujur, Ahok langsung minta maaf walau hanya lewat video dan Kyai Ma’ruf Amin dengan mudah pula memaafkannya.

Dari peristiewa tersebut, ada dua kenyataan yang begitu kontras. Pertama, warga NU sebagaimana tabiat bangsa Indonesia pada umumnya adalah orang-orang yang pemaaf. Kedua, Ahok dengan tabiatnya yang dinilai arogan dan ceplas-ceplos, dengan mudah melakukan kekeliruan yang sama, dan dengan gampang pula minta maaf.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Akhirnya, situasi mulai kembali kondusif. Kendati tidak menutup kemungkinan dalam masing-masing orang masih tersimpan amarah yang ditahan-tahan. Itulah cara bangsa Indonesia berdamai dengan dirinya sendiri dan tentu saja dengan orang lain. Sebab, orang Indonesia identik dengan orang yang pemaaf, penjaga perasaan orang lain, dan suka perdamaian.

Dari mana orang Indonesia mendapatkan tabiat dan keperibadian semacam itu? Tentu saja dari para pendahulu mereka sejak zaman kejayaan raja-raja tanpan dan bijaksana yang mampu membangun peradaban nusantara. Meski, peradaban nusantara kini banyak tersimpan dalam buku sejarah, namun ruhnya senantiasa hadir dalam diri orang Indonesia yang mampu melihat dan menjelmakannya ke dalam sikap dan perilaku.

Sampai di sini, ingin penulis kutip-selipkan beberapa bait sajak WS. Rendra yang berjudul “Kesaksian Akhir Abad“. Berikut kutipannya untuk dihayati dan diambil pesan-pesannya:

Di atas atap kesepian nalar pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:

Wahai, para leluhur Nusantara!
O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah!
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersekutukan budaya tanah dan air!

O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga oleh dewan hukum adat.
O, bagaimana mesti aku mengerti
bahasa bising dari bangsaku kini?

O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
Ade, bicara, rapang, dan wari.

O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak-poranda.

Kejahatan kasat mata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan, bahwa orang-orang Indonesia senyatanya memiliki pegangan hidup yang diatur oleh hukum adat mereka masing-masing. Baik itu tertulis maupun hanya kesepakatan bersama. Canggihnya, hukum adat itu kendati dijalankan, sama sekali tidak dibentur-benturkan dengan hukum negara. Karenanya, orang Indonesia senantiasa hidup dalam dinamika yang terus bergerak menuju kemerdekaannya yang sejati. (Sulaiman)

Related Posts

1 of 71