NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak seluruh eksepsi terdakwa Miryam S Haryani. Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, maka persidangan perkara ini dilanjutkan ke pokok perkara dengan menghadirkan saksi-saksi.
Miryam didakwa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto, dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan oleh tiga orang penyidik KPK. Padahal alasan yang disampaikan tersebut tidak benar.
Dalam surat dakwaan dijelaskan bahwa Miryam pada 23 Maret 2017 dihadirkan oleh penuntut umum sebagai saksi dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Sebelum memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan, terlebih dahulu Miryam bersumpah sesuai agama Kristen bahwa akan memberikan keterangan yang benar.
Selanjutnya ketua majelis hakim menanyakan kepada Miryam mengenai keterangan yang pernah diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan sebagaimana tertuang dalam BAP tanggal 1 Desember 2016, BAP tanggal 7 Desember 2016, BAP tanggal 14 Desember 2016 dan BAP tanggal 24 Januari 2017 yang diparaf dan ditandatangani oleh terdakwa. Atas pertanyaan hakim, Miryam membenarkan paraf dan tandatangannya yang ada dalam semua BAP, namun terdakwa mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP tersebut dengan alasan isinya tidak benar karena pada saat penyidikan telah ditekan dan diancam oleh tiga orang penyidik KPK yang memeriksanya.
Terhadap keterangan Miryam yang mencabut semua isi BAP tersebut, hakim kembali menguatkan agar Miryam memberikan keterangan yang benar di persidangan ini karena sudah disumpah. Apalagi menurut hakim keterangan Miryam dalam BAP sangat runtut, sistematis dan tidak mungkin bisa mengarang keterangan seperti itu, sehingga kalau mau mencabur keterangan harus dengan alasan logis agar bisa diterima oleh Hakim.
Meskipun sudah diperingatkan oleh hakim, namun Miryam tetap menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam oleh penyidik KPK saat pemeriksaan penyidikan, sehingga hakim memerintahkan penuntut umum agar pada sidang berikutnya menghadirkan tiga orang penyidik yanh pernah memeriksa terdakwa sebagai saksi verbal lisan yang akan dikonfrontir keterangannya dengan Miryam.
Kemudian pada Kamis 30 Maret 2016, penuntut umum pun menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama dengan tiga orang penyidik KPK yaitu Novel Baswedan, M I Susanti, dan A.Damanik untuk dikonfrontir. Hasilnya diterangkan bahwa ketiga penyidik tidak pernah melakukan penekanan, mengancam saat memeriksa Miryam sebagai saksi.
Setelah mendengar keterangan dari ketiga penyidik KPK, hakim kembali menanyakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada keterangannya yang ditekan dan diancam oleh penyidik KPK.
Terhadap keterangan Miryam yang tidak benar tersebut, Jaksa pun mengajukan permintaan kepada hakim agar Miryam ditetapkan sebagai pelaku pemberian keterangan palsu atau keterangan tidak benar. Atas permintaan dari penuntut umum, meskipun hakim tidak mengeluarkan penetapan namun hakim mempersilahkan kepada penuntut umum untuk memprosesnya secara hukum.
Atas perbuatannya itu, Jaksa KPK pun mendakwanya dengan Pasal 22 Jo Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahum 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam Pasal 22 disebutkan setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
Reporter: Restu Fadilah
Editor: Romandhon