NUSANTARANEWS.CO – Seandainya Mila bisa kujahit di saku kemejaku atau kusimpan langsung di dompet sebagaimana foto pacar pada umumnya, aku tidak cemas soal identitas. Ia tidak pernah kuantar sampai ke rumahnya. Tepatnya, tidak pernah mau. Bila selesai malam mingguan nonton bioskop atau makan jagung di taman kota, ia selalu minta turun di gang depan.
Aku mengenal Mila empat bulan yang lalu. Langsung jatuh cinta begitu melihatnya duduk sendiri di taman. Tidak tahu tenaga apa yang mendorong, aku datangi bangkunya dan berkata soal sepatuku yang bolong dan aku yang tidak tahu di mana letak tukang sol sepatu. Aku tidak suka membaca novel roman, tetapi barangkali seperti itu situasinya. Aku bicara soal sepatu dan Mila terkikik geli. Lalu ia jongkok dan mengamati sepatu itu dan berkata, “Tidak ada yang bolong.”
“Ya ampun! Benarkah? Tapi, aku merasa ada yang bolong,” kataku.
“Oh, ya?”
“Ya, mungkin hatiku bolong. Aku tidak tahu di mana tempat yang dapat menambal bolong hatiku.”
Mila tertawa senang mendengar itu. Ia juga bilang betapa hatinya juga bolong dan sudah bertahun-tahun tidak pernah lagi pacaran. Aku sendiri belum sama sekali pacaran, tapi, demi tidak membuatku malu, aku diam saja. Kami mengobrol banyak hal dan untuk perama kali dalam hidupku, aku nyambung dengan makhluk bernama perempuan. Tidak berapa lama, aku resmi jadi pacarnya. Cukup dua bulan sejak berkenalan, dunia berubah semudah membalik telapak tangan.
Di desaku tidak ada perempuan manis. Aku perlu berkelana, berkilometer jauhnya dari rumah dan kandang sapiku. Ibu mendesak, “Kamu hampir kepala tiga. Anak Ibu cuma kamu!” Lalu, pembicaraan soal para mantan, yang hanya ada dalam kisah-kisah bualanku, diangkat ibuku dan membuatku sakit hati.
Ibu tidak tahu, sakit hati akibat cinta itu sensitif. Sedikit saja membuat sulit makan. Dan lebih parah, pekerjaan tidak kelar-kelar. Aku bisa dipecat karena tidak fokus. Di kepalaku berkelebatan wajah semua gadis yang dahulu kusukai tapi tidak menyukaiku. Semua tidak dapat kurengkuh, karena mereka tidak pernah tahu isi hatiku.
Seorang teman bilang, nasibku memang tidak baik jika bicara bab asmara. Urusan uang? Kukira bukan. Gajiku besar dan bisa membahagiakan wanita mana pun. Wajahku? Aku tidak menyombongkan diri ke siapa pun, tetapi tidak pernah ada yang bilang aku jelek. “Kamu kurang hoki saja, Bung,” kata teman itu.
Benarkah soal cinta butuh keberuntungan?
Mila lebih mudah kudapat ketimbang apa pun, tapi ia pendiam dan tak terjangkau. Ia tinggal di sudut kota yang belum pernah kulewati. Dari setiap kencan, tidak satu pun kesempatan membawaku ke teras rumahnya yang kuharap dihuni suami istri tua; ayah dan ibu Mila. Aku berharap mengenal orangtuanya agar kami bisa segera meresmikan hubungan ke arah yang lebih serius. Mila hanya bilang, “Aku belum siap.”
Tiga bulan pacaran dan mengenal masing-masing, belum sampai ke tahap menjabat tangan orangtua, apa lagi kalau bukan karena Mila terlalu muda? Ia baru lulus sekolah menengah setahun lalu dan umurku dua puluh delapan. Ia bilang, bukan soal umur. Ia hanya belum siap, karena ibunya galak.
“Sayang,” begitulah kataku suatu malam, “perkara ibumu yang galak, serahkan saja padaku. Aku sudah biasa bertemu orang-orang galak.”
“Kamu sering pacaran?”
“Tidak pernah,” kataku pelan.
“Justru itu…”
Mila semakin asing dan misteri, bahkan ketika kami mulai menginjak bulan kelima dan ia memberikan bibirnya untukku. Hasrat yang terlunasi di area gelap, di suatu sudut taman, dan tidak sampai berakhir lebih dari itu, karena aku tidak mau kami melangkah lebih jauh tanpa pernikahan.
Kehidupanku di kantor mulai tenang sejak ada Mila. Ia selalu kujemput di malam minggu dan kami kencan sampai jam sepuluh tepat. Bila ada waktu, malam-malam lain kami lewatkan. Masalahnya satu: ia tidak mau kuantar ke rumah. Cukup di gang depan saja.
“Dia tidak jujur,” kata temanku.
Aku diam.
“Bung, cinta itu berkembang dari kejujuran,” lanjutnya. “Tidak ada cinta dibangun atas dasar rahasia. Cinta bukan buku cerita detektif, dan Bung tidak mungkin menikmati teka-teki dalam urusan ini. Cinta itu terbuka dan terang-terangan.”
Kukira temanku sok tahu. Kami bukan kurang terbuka secara harfiah. Sebab sekali waktu pernah Mila membiarkanku meraba beberapa bagian tubuhnya, walau tak sampai kami melakukan sesuatu yang tidak pantas. Aku masih bisa menjaga diri dan nama baik kami. Lagi pula, aku tidak mau Mila hamil sebelum nikah.
Sifat tertutup Mila, yang menjadi pacarku selama empat bulan, membuatku mimpi buruk dua kali. Mimpi pertama, tentang bebek yang mengejar-ngejarku di kota mati. Itu bukan bebek biasa, melainkan bebek raksasa dengan mata merah seperti iblis, dan sayap besar berkelepak bagai kibasan neraka. Mimpi kedua lebih simpel: aku tertidur di kamar di rumah sakit, dan seorang perempuan tidak bermata berada di tempat tidur sebelahku. Benar-benar tak bermata, dan ia mengaku kedua bola matanya hilang dicuri setan.
Karena mimpi-mimpi ini, juga omongan temanku tentang Mila yang tidak jujur tentang keluarganya, aku merasa suatu hari kami berpisah. Padahal aku mencintai Mila dan dia mencintaiku; begitulah yang kudengar, “Aku cinta kamu, Kak. Tak ada laki-laki yang kuimpikan jadi suamiku sebesar impianku padamu.”
Memang mengharukan, tapi kali ini aku tidak percaya. Mila barangkali menyimpan rahasia. Aku marah. Ia tidak membalas amarahku kecuali dengan tangis. Aku tidak bisa marah lebih lama. Kupeluk dan kubelai-belai dia. Aku minta maaf dan dia mengangguk pelan. Besoknya kembali aku marah dan ia menangis lagi, lalu aku meminta maaf lagi. Siklus aneh ini terjadi berulang kali. Akhirnya Mila tidak memenuhi janji temu. Ia kirim SMS, “Bosan kamu marahi!”
Aku mengajaknya bertemu. Mila bilang semua bukan soal ibunya yang galak. Ada suatu hal yang lebih besar dan gawat ketimbang sekadar orangtua galak. Aku ingin tahu, kalau perlu membantu membereskan masalah itu agar hubungan kami tidak selesai.
Mila tidak suka aku ke rumahnya, dan tidak akan setuju. Ia mengancamku akan memutus hubungan kami jika sampai kujemput dia ke rumahnya. Aku tidak peduli. Aku pergi membawa motor dan kubayangkan ada sesuatu yang tidak beres di sana. Ada ayah yang bejat dan memaksa anaknya berbuat hal tidak senonoh mungkin. Atau, ada seorang kakak sinting dan melarang adiknya berpacaran, dan jika si adik ngotot tetap berpacaran, sang pacar bakal ditembak atau digorok, mungkin…
Aku tidak tahu mana yang benar, tetapi semua itu terus berputar-putar di kepalaku. Ketika motor berhenti di gang, aku merasa dadaku agak sesak dan kuhirup aroma bunga kamboja. Saat itu kusadari ban motorku kempes dan kubawa motor itu ke tukang tambal ban di seberang. Kukatakan pada tukang tambal ban itu bahwa aku akan pergi ke sebuah rumah di seberang. Ia mengangguk dan mengerjakan banku. Aku menyeberang karena tidak lagi ingin mengganggu pekerjaan tukang tambal ban itu. Kupandangi gang dusun tempat Mila biasa kuturunkan. Gang itu terlalu sepi di saat yang harusnya ramai. Jam sepuluh pagi hari Minggu, lalu lalang kendaraan di depan cukup ramai, tapi melongok ke gang, tidak seorang pun kelihatan.
Di kiri gang ada pemakaman dengan pagar yang nyaris roboh. Lumut menginvasi tembok pagar kuburan. Rerumputan liar berpusat di sekitar gang. Dari tempatku berdiri, gang ini seperti sebuah jalan menuju neraka. Tetapi gang ini dihuni manusia. Gang ini bukan gang hantu. Aku pernah lihat beberapa orang keluar masuk gang sini ketika menurunkan Mila selepas malam mingguan.
Tidak berapa lama, beberapa orang mulai kelihatan. Sebagian berjalan masuk gang, dan sisanya dengan santai keluar menuju jalan raya. Kutanyakan secara detail ciri-ciri Mila pada mereka. Tidak ada yang tahu. Tidak ada gadis rambut panjang bernama Mila, kata pemuda tanggung yang aneh. Ia tidak henti merogohkan jari telunjuknya ke lubang hidung. Aku menduga orang ini gila, tetapi keterangan dari warga yang kelihatan sehat jasmani rohaninya pun, sama saja.
“Tidak ada yang namanya Mila.”
“Dia pacar saya. Biasanya selesai jalan-jalan, saya antar ke sini,” kataku.
Orang-orang angkat tangan setelah mereka tahu aku tidak pernah menurunkan Mila di rumahnya.
“Lelaki yang baik,” demikian kata ibu paruh baya yang kutanyai, “tidak mungkin menurunkan perempuan di jalan di atas jam sepuluh malam.”
Aku tidak enak, tapi tidak membantah, walau Mila yang memaksaku menurunkan dia di jalan. Seandainya Mila bisa kujahit di saku kemejaku atau kusimpan langsung di dompet sebagaimana foto pacar pada umumnya, aku tidak cemas soal identitas. Ia tidak pernah kuantar sampai ke rumahnya. Tepatnya, tidak pernah mau. Bila selesai malam mingguan nonton bioskop atau makan jagung di taman kota, ia selalu minta turun di gang depan.
Dulu aku tidak curiga, tetapi hari ini semua berubah.
Aku masuk gang dan memutuskan membongkar rahasia Mila. Ciri fisik itu cukup. Mungkin nama aslinya bukan Mila. Mungkin Rani, atau Maria, atau Leli, atau Suketi? Aku tidak tahu kenapa ia tidak jujur. Aku yakin pacarku tinggal di gang sepi ini, karena ada warga berkata sering melihat perempuan muda pulang di atas jam dua petang.
Walau biasanya Mila kuantar sekitar jam sepuluh malam, kukira aku bisa mencari tahu tentang Mila dari informasi ini. Gadis berambut panjang dengan tahi lalat di dagu, sesuai ciri yang kuberi, kata orang itu, sering keluar malam. Apa itu Mila?
Aku panas dingin dan ingat mimpi burukku dikejar bebek dari neraka. Mungkin pertanda buruk. Aku juga ingat mimpi perempuan tanpa bola mata. Mungkin memang pertanda buruk.
Orang itu memberiku peta ke rumah si gadis yang suka keluar malam tersebut, di secarik kertas bekas bungkus rokok. Rumah bercat biru dengan rimbunan bunga melati di jalan masuk, itulah rumahnya. “Satu-satunya rumah berbau melati,” katanya sambil mencorat-coret kertas itu dengan pulpen dari sakuku. Aku ucapkan terima kasih setelah menerima kertas itu dan bergegas masuk gang.
Aku tidak tahu harus bicara apa pada ibuku, yang sudah tidak sabar mendapatkan cucu dari pernikahanku dan Mila, gadis yang sempat kukenalkan sekali ke beliau, meski lewat telepon. Aku tidak tahu harus apa, karena gadis penghuni rumah itu memang Mila. Ia speechless, tidak menyangka aku mencari sejauh ini.
Jarak gang dan rumahnya sejauh setengah kilo, berkelak-kelok, lewat dua jembatan, dan sesekali lapangan kecil yang ditumbuhi ilalang.
Aku tahu setelah ini kami tak mungkin bertemu lagi.
Selamanya tidak.
Mila—atau siapa pun itu namanya—telah berbohong. Mungkin itu bukan salahnya. Ia menangis saat aku pergi dan berkata kami putus. Ia menangis karena ia mencintaiku. Sayangnya, pekerjaannya tidak memberinya hak mencintai. Seandainya, boleh berharap, kujahit tubuhmu ke tubuhku, kataku dalam hati. Tetapi, itu tidak akan pernah terwujud.
Ibu tidak akan merestuiku menikahi seekor kupu-kupu.
Gempol, 23 Juni – 5 Agustus 2016
*Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.