(Catatan untuk tulisan Denny JA: Demokrasi Pancasila yang Diperbarui)
Dalam konteks perjalanan hidup bangsa kita, maka pada era Indonesia 1.0 periode 1945-1966 meskipun konstitusi mengalami amandemen dan perubahan, tapi modul dasar Pancasila, tetap substansi dan esensinya. Era 1.0 di bawah Presiden Sukarno ini mengalami pelbagai adaptasi konsitusi, mulai dari Maklumat WK Presiden No X 16 Oktober 1945 yang merubah sistem kabinet presidensial ke parlementer sehingga Presiden Sukarno diganti oleh PM Sutan Syahrir pada 14 November 1945.
Dibalik formalitas itu ada “black campaign” isu bahwa Bung Karno dan Bung Hatta, tidak disukai oleh Sekutu karena dianggap kolaborator Jepang karena keduanya terkait dengan Putera, lembaga mobilisasi rakyat pengerah Romusha Jepang.
Dalam konteks political behavior ini memang harus diakui bahwa sulit memahami “kompromi” maupun toleransi yang dipraktekkan oleh para tokoh elite nasional Indonesia di zaman perjuangan kemerdekaan sebelum dan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebelum kemerdekaan, sejak Belanda memberi kesempatan kepada elite nasional untuk ikut dalam Volksraad atau Dewan Rakyat 1908 maka elite terpecah dua. Golongan yang menyambut baik dan menerima tawaran dan peluang untuk duduk dalam badan “legislative” itu disebut golongan ko(operatif).
Di pihak lain, Bung Karno , Hatta, Syahrir dan lain lain yang menolak disebut golongan non ko. Dalam perspektif jangka panjang, kita sekarang tentu tidak boleh dan tidak bisa lagi mencap golongan ko sebagai “antek kolonialis Hindia Belanda”. Sebab diantara mereka ada tokoh pejuang kepentingan rakyat seperti Mohamad Husnie Thamrin yang harus dihargai perjuangannya melalui jalur Volksraad untuk masyarakat Jakarta. Karena itulah namanya diabadikan dalam proyek perbaikan kampong yang menjadi percontohan Bank Dunia, oleh Gubernur Ali Sadikin.
Dalam konteks sejarah kita maka posisioning elite kita yang tidak bisa mengelak dari turbulensi geopolitik dan tekanan opini internasional tidak hanya terjadi di era digital medsos 2017 tapi juga sudah berlangsung sejak perjuangan kemerdekaan dan ditengah negosiasi dengan Belanda pun terjadi konflik internal dikalangan elite kita yang saling mempergunakan propaganda populisme dan xenophobia.
Pada era Indonesia 1.0 ini selama 5 tahun pertama, berperan dwitunggal Sukarno Hatta memayungi dwitunggal Syahrir Amir Syarifuddin. Presiden Sukarno menjadi Perdana Menteri kabinet presidensial pertama kemudian diganti oleh Syahrir lalu Amir Syarifudin yang tragis ikut pemberontakan PKI Madiun 1948 dan diganti oleh Bung Hatta sampai RIS diakui melalui KMB.
Setelah itu Natsir dan Sukiman dari Masyumi jadi PM ke 5 dan ke 6 disusul Wilopo dan Ali Sastroamijoyo dari PNI sebagai PM ke 7 dan ke 8. PM ke 9 Burhanudin Harahap dari Masyumi menyelenggarakan pemilu terbersih dalam sejarah RI menghasilkan 4 besar partai pemenang PNI, Masyumi, NU, PKIdan Ali Sastroamijoyo menjadi satu satunya orang Indonesia yang sampai waktu itu survive dan sukses menjadi PM tidak berurutan.
Biasanya kultur Indonesia sekali berkuasa bila turun akan sulit untuk “come back” apalagi bila sistem politiknya semakin otoritarian.
Pada tahun 1957 kabinet Ali Sastroamijoyo bubar dan Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur serta mengangkat tokoh non partai Ir Djuanda sebagai Perdana Menteri RI ke-10 dan mulai memasukkan militer dalam kabinet. KSAD Nasution malah diangkat jadi Penguasa Perang Pusat sebab negara dinyatakan dalam keadaan perang sejak jatuhnya cabinet Ali II hasil pemilu 1955.
Konstituante gagal menyelesaikan tugas karena dead lock voting 4 kali antara kubu Pancasila vs kubu Piagam Jakarta dan Presiden Sukarno mendekritkan kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959 dan mulai memimpin langsung sistim presidensial sebagai PM sejak Kabinet Kerja 10 Juli 1959.
Bung Karno akanmembubarkan DPR hasil pemilu diganti dengan DPRGR yang sebagian besar anggotanya diangkat oleh Presiden dan hanya sebagian kecil anggota DPR terpilih 1955.
Bung Karno hanya akan menjadi “presiden otoriter” praktis selama 5 tahun, sebab sejak 1 Oktober 1965 ketika Pangkostrad Mayjen Soeharto mbalelo menolak lapor ke Halim sebetulnya wangsit kepresidenan sudah berangsur pindah ke capres RI ke-2 yang akan menerima Supersemar pada 11 Maret 1966.
Yang terjadi di Indonesia 1966 adalah turbulensi domestik nasional yang berdampak durian runtuh bagi Paman Sam yang sedang terpojok di Vietnam oleh invasi Vietcong. Dalam sekejap RI berubah dari poros Jakarta Pnom Penh Hanoi Beijing Pyongyang, menjadi anti komunis, anti RRT dan memutuskan hubungan dengan Beijing. (Bersambung...)
Oleh: Christianto Wibisono, Ketua Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia