Kolom

Hypocritical Democracy Era Jokowi

Anggota Brigade Mobile (Brimob) Kepolisian Republik Indonesia.
Anggota Brigade Mobile (Brimob) Kepolisian Republik Indonesia. Foto: Ilustrasi/Istimewa

Hypocritical Democracy Era Jokowi. Perdefinisi, demokrasi ialah proses pengambilan keputusan publik secara bersama-sama guna mencapai tujuan bersama masyarakat. Istilah demokrasi sebagai instrumen pengambilan keputusan publik ada banyak. Antara lain demokrali liberal, demokrasi kapitalis, demokrasi rakyat, demokrasi sosialis, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, dan demokrasi munafik (hypocritical democracy) yang lahir era Joko Widodo (Jokowi).

Semua proses demokrasi memiliki cirinya masing-masing. Namun tidak akan dibahas semuanya, keculai hypocritical democracy. Ciri hypocritical democracy bersifat deviasi ekstrim dari definisi demokrasi. Akan tetapi aktornya mengatakan kepada publik bahwa demokrasi ini sesuai definisi demokrasi yang berlaku umum. Era reformasi adalah era demokrasi dengan indikasi menggantikan era orde baru (orba) yang dianggap otoriter.

Baca juga: Polri Banyak Duduk di Jabatan Sipil, Wacana Dwifungsi TNI Muncul Dinilai Akibat Kecemburuan

Instrumen politik orba yang sangat khas dan khusus ialah ABRI dengan dwifungsinya stabilisator dan dinamisator. Era Jokowi juga era penolak Dwifungsi ABRI namun sekonyong-konyong muncul Dwifungsi Polisi berisi Kamtibmas dan polisi penguasa (The Ruling Police). Dwifungsi polisi memang bukan konsensus nasional bagai Dwifungsi ABRI era Orba. Tetapi Dwifungsi Polisi dilakukan secara sadar oleh aktor politik, melalui dukungan aturan dan secara simultan demokrasi perdefinisi diabaikan. Itulah sebabnya demokrasi era Jokowi disebut hypocritical democracy.

Untuk menjelaskan istilah hypocritical democracy era Jokowi bisa diikuti melalui deskripsi beberapa indikasinya sebagai berikut ini.

Baca Juga:  Politisi Asal Sumenep, MH. Said Abdullah, Ungguli Kekayaan Presiden Jokowi: Analisis LHKPN 2022 dan Prestasi Politik Terkini

Pertama, Jenderal Polisi Jadi PLT Gubernur

Saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk 2 orang Pati Polri masing masing Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal M. Iriawan menjadi Pejabat Gubernur Jawa Barat, dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Martuani Sormin menjadi Pejabat Gubernur Sumatera Utara.

Keduanya ditugaskan untuk menggantikan sementara gubernur definitif yang masa jabatanya berakhir, hingga Gubernur definitif baru ditetapkan. Fungsi Polisi ini sebagai fungsi tambahan di luar fungsi formalnya sebagai fungsi Kamtibmas atau community security and order yang bisa disebut The Ruling Police akibat kelemahan otoritas sipil era Jokowi mengendalikan politik dalam negeri saat itu hingga saat ini.

Baca juga: Benarkah Rencana Pengembalian Dwifungsi TNI Sebagai Respon Gagasan Dwifungsi Polri?

Kedua, Pemolisian Demokratis

Istilah Pemolisian Demokrasi (Democratic Policing) bersumber dari karya tulis Kapolri Jenderal Polisi Prof Tito Karnavian. Istilah ini dalam rangka mengubah paradigma Polri di era demokrasi yaitu bukan alat kekuasaan negara melainkan mengabdi dan melindungi masyarakat secara umum. Memang Prof Tito sebelum menjadi Kapolri memiliki niat kuat untuk membenahi organisasi, struktur, dan kultur Polri dengan cap society distrust agar dipercayai masyarakat. Karena itu istilah Democratic Policing Prof Tito patut diberikan apresiasi tinggi.

Namun di balik itu, istilah Democratic Policing secara implisit ternyata lebih cenderung menjadi The Ruling Police dari pada police public servent yaitu kultur polisi yang diharapkan oleh masyarakat. Setingkat lebih tinggi dengan itu, istilah Democratic Policing Prof Tito bisa difungsikan oleh aktor politik menjadi tiranny of democracy. Dengan demikian maka penggunaan istilah Democratic Policing menjadi fungsi kultur polisi apa lagi dengan alasan demi community security and order patut diwaspadai oleh masyarakat. Sebagai catatan bahwa demokrasi perdefinisi adalah instrumen politik untuk menetapkan pemimpin politik bukan instrumen polisi.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Iklim Demokrasi Indonesia Sudah Dewasa

Baca juga: Panglima TNI Diminta Tak Paksakan Pengembalian Dwifungsi TNI

Ketiga, Sinergitas TNI-POLRI

Sejak Prof Tito menjadi Kapolri, hampir simultan waktunya, muncul pula istilah sinergitas TNI-Polri hingga saat ini. Mungkin sebagai sindiran lunak dari Letjen TNI Mar (Purn) Suharto mengatakan bahwa Panglima TNI menjadi Wakapolri. Indikasinya istilah sinergitas itu berlaku secara struktural TNI-Polri mulai dari tingkat Panglima hingga ke tingkat Babinsa-Pospol di pedesaan.

Dalam sinergitas Prof Tito ini, tampak jelas yang disebut The Ruling Police. Ini bisa berakibat pelapukan mental nasionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara akibat digerus sikap sosiologis ketika bersama Polri di masyarakat. Pada mana satu di antara sikap polisi adalah sosiologis. Sementara dalam profesionalisme militer hanya mengenal sosiologi militer.

Keempat, Larangan Ujaran Kebencian

Baca juga: Rizal Ramli Menolak Tegas Rencana Pengembalian Dwifungsi TNI

Aturan larangan ujaran kebencian, sesungguhnya diterbitkan hanya untuk melindungi kepentingan politik dan psikologis ECI dan Cina Komunis di Indonesia. ECI dan Cina Komunis memang sejak ratusan tahun silam terbenci di Nusantara hingga saat ini karena ulah politik mereka pada peristiwa 1965 dan kejahatan ekonomi mereka yang turut meruntuhkan Presiden Soeharto dan Orba.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Adanya aturan larangan kebencian itu, menjadikan ECI dan Cina Komunis kelompok orang sangat terhormat di Indonesia.Padahal sesungguhnya kelompok manusia ini masih berstatus politik terbenci dan berstatus psikologi politik haram dan terbenci di Indonesia. Namun di era Jokowi bila ada seorang yang mengatakan rasa bencinya terhadap kelompok orang terbenci ini, lalu dituntut dengan hukuman pidana ujaran kebencian oleh aparatus penegak hukum.

Baca juga: Dwifungsi ABRI Diberangus, Mendagri Ciptakan Dwifungsi Polri

Akibatnya Pribumi sebagai sumber daya kekuatan nasional lumpuh. Sedangkan ECI dan Cina Komunis kelompok orang terbenci sekaligus musuh Pribumi tumbuh subur di Indonesia. Sungguh era Jokowi adalah era kekuasan aneh, kelompok orang terbenci dibuatkan hukum untuk memaksa menyukainya. Ini benar benar tiranny democracy dan tirannical minority yang ditolak dalam demokrasi.

Oleh: M.D. La Ode, Penulis adalah Direktur Eksekutif CISS

Baca juga: Menyoal Dwifungsi Polri

Baca juga: Democratic Policing Tito Karnavian Dinilai Patut Diwaspadai

Related Posts

1 of 3,209