Rubrika

Membangkitkan Kembali Spirit Nasionalisme yang Rapuh (Refleksi Hari Kebangkitan Nasional)

Negara Indonesia yang Diproklamirkan Bung Karno-Hatta Telah Dibubarkan Lewat Amandemen UUD 1945
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Garuda Pancasila. (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Tanggal 20 mei merupakan hari yang menumental bagi bangsa Indinesia, karena merupakan hari Kebangkitan Nasional. Peringatan hari Kebangkktan Nasional adalah tonggak sejarah bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan dan kesadaran sebagai sebuah bangsa untuk memajukan diri melalui gerakan yang terorganisir. Lahirnya hari kebangkitan Nasional tidak bisa lepas dari berdirinya organisasi Boedi Oetomo sebagai organisasi yang pertama kali menggelorakan semangat nasionalisme.

Semangat Nasionalisme ini juga muncul di kalangan kaum agamawan khususnya kalangan pesantren. Pada saat itu kalangan pesantren yang dimotori para kyai juga menggalang gerakan untuk menyebarkan semangat nasionalisme dengan membentuk organisasi Nahdlatul Wathan (gerakan kebangsaan) yang dipimpin oleh KH. Wahab Chasbullah. Gerakan kebangsaan kaum pesantren ini terus bergerak hingga lahirnya kemerdekaan dan terbentuknya NKRI. Gerakan ini tidak hanya dalam bentuk diskusi, fatwa agama tetapi juga pertempuran fisik di medan perang.

Dengan terlibatnya para santri, ulama dan kyai dalam gerakan nasional, menunjukkan bahwa hubungan antara agama (Islam) dan faham kebangsaan di Indonesia sudah selesai dan final. Bagi ummat Islam Indonesia, nasionalisme adalah cerminan dari ajaran Islam dan menjadi sarana untuk mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan agama adalah sumber inspirasi dari nasionalisme (KH. Saefuddin Zuhri; 1965). Spirit inilah yang dirumuskan mbah Hasyim As’ari dalam statemen yang sangat terkenal yakni hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman).

Sikap dan pemahaman seperti inilah yang membuat ummat Islam Indonesia bisa menerima NKRI sebagai bentuk negara dan Pancasila sebagai dasar negara setelah melalui perdebatan panjang yang melibatkan pemikiran Islam dari berbagai disiplin ilmu, terutama fiqh. Dengan demikian, mempertanyakan kembali hubungan agama dan negara apalagi menggugat bentuk dan dasar negara atas nama agama sudah tidak relevan lagi, seperti memutar balik arah jarum jam. Terlebih hal ini juga akan memancing perdebatan sia-sia yang bisa memghambat kemajuan bahkan bisa mengancam integritas.bangsa

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Ada kondisi memprihatinkan terkiat dengan semangat nasionaliame bangsa Indonesia saat ini. Maraknya gerakan internasionalisme dalam bentuk liberalisme-kapitalisme di satu sisi dan fundamentalisme-puritanisme agama di sisi lain telah menggerus kesadaran nasionalisme warga bangsa Indonesia.

Akibat faham internsionalisme yang didukung oleh kemajuan tehnologi informasi, hari ini kita melihat terjadi gerakan transformasi kesadaran dari citizenship menjadi nitizenship. Kewargaan yang dibatasi oleh identitas kenegaraan menjadi kewargaan lintas negara dan lintas geografis.

Kenyataan ini menunjukkan, sekarang telah terjadi anomali sosial di kalangan bangsa Indonesia. Dulu tekanan bangsa lain mampu menciptakan kesadaran kebersamaan dalam perbedaan sehingga tumbuh harga diri sebagai bangsa. Bangsa Nusantara yang beragam menggali dan menyatukan potensi sosial dan kultural yang ada untuk menghadapi tekanan dari luar. Kini tekanan dari bangsa lain justru mengancam kebersamaan dan persatuan. Ikrar sebagai bangsa dicampakkan, martabat bangsa diabaikan.

Dengan kata lain orang-orang dulu memiliki kesadaran kreatif menggali potensi diri untuk membangun kekuatan sendiri melawan kekuatan luar. Orang sekarang justru hanyut dan larut dalam gerakan transnasional dengan mencampakkan potensi diri sebagai bangsa. Mereka bangga menjadi pemulung ide dan pengais sampah peradaban bangsa lain sambil mencaci maki peradaban bangsa sendiri. Mereka menggunakan pemikiran dan budaya luar untuk menghancurkan dan melemahkan budaya dan khazanah pemikiran bangsa sendiri

Sikap ini muncul karena minimnya pemahaman terhadap sejarah bangsa sendiri dan miskinnya kesadaran terhadap tradisi dan budaya sendiri.

Sejarah adalah referensi hidup bagi setiap bangsa. Suatu generasi yang tidak memiliki pemahaman terhadap sejarahnya sendiri seperti buih di atas gelombang lautan. Mudah diombang ambingkan keadaan dan dibohongi bangsa lain. Mereka menelan mentah-mentah setiap informasi dan pemikiran yang diberikan, tanpa reserve dan sikap kritis karena mereka tidak memiliki pemahaman sejarah yang bisa menjadi referensi hidup untuk mengkritisi setiap informasi dan pemikiran yang diterima dari bangsa lain.

Baca Juga:  Kemitraan Jobstreet by SEEK dan APTIKNAS Hadirkan Jutaan Lowongan Pekerjaan

Tradisi adalah jangkar yang membuat suatu bangsa memiliki karakter yang kokoh dan kuat sehingga tidak mudah hanyut dalam pusaran arus gelombang budaya dan pemikiran bangsa lain. Setiap bangsa yang tidak memiliki tradisi atau tidak faham terhadap budaya masyarakatnya akan mudah hanyut dalam arus kebudayaan bangsa lain. Jika sudah demikian maka bangsa tersebut akan keropos karena tidak memiliki kekuatan kultural dan sumber inspirasi untuk menghadapi gempuran budaya.

Inilah yg menyebabkan para pendiri bangsa tidak mudah hanyut dan larut dalam pemikiran bangsa lain. Ki Dajar Dewantoro, dr. Soetomo, Moh. Hatta, AA Maramis, Sosro Kartono dan lain-lain semua belajar ke Eropa. Tetapi mereka tidak hanyut dalam budaya Eropa. Demikian juga para ulama Nusantara seperti Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Abdusshomad al-Falembangi, Syeikh Arsyad al-Banjari, Syeikh Chatib al-Minangkabowi, Mbah Hasyim Asy’ari, Kyai Ahmad Dahlan, semua belajar ke Arab. Tapi mereka semua tidak hanyut dalam budaya Arab.

Sekalipun hidup dan berada di negara lain, para leluhur itu tetap.bisa memilah mana ajaran mana pemikiran dan budaya. Ini terjadi karena mereka memiliki pemahaman sejarah dan akar tradisi yang kuat yang bisa dijadikan referensi dan pijakan dalam membangun pemikiran dan menentukan sikap

Hal yang sama juga terjadi pada bangsa-bangsa lain, terutama bangsa Eropa, Amerika, Jepang, Cina yang tetap kokoh dan tegak spirit kebangsaannya sekalipun berada dalam pusaran arus modernisme dan globalisasi. Mereka tetap bangga dan menjaga martabat bangsanya meski telah menjadi bagian dari warga bangsa dunia maya (nitizen). Ini karena mereka memiliki pamehaman yang baik terhadap sejarahnya sendiri dan tradisi yang mereka miliki.

Baca Juga:  Komunitas Taretan Ning Lia Madura Sambut Gembira Pelantikan Lia Istifhama sebagai Senator DPD RI

Karena vitalnya peran dan posisi sejarah dan tradisi suatu bangsa inilah maka strategi utama untuk bisa menguasai bangsa tersebut adalah dengan menghancurkan tradisi dan sejarahnya agar bangsa tersebut kehilangan jejak dan akar-akar sosialnya. Jika sudah demikian bangsa tersebut akan mudah dikuasai atau dihancurkan. Inilah yang sedang terjadi di negeri ini, hingga semangat kebangsaan bangsa ini rapuh dan luluh.

Di tengah kepungan arus ideologi dunia dan pusaran arus budaya global yang telah menggerogoti semangat kebangsaan sehingga melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perlu adanya penguatan pemahaman sejarah dan akar-akar tradisi bangsa Indonesia yang beragam. Hal ini bukan dimaksudkan untuk membanggakan diri yang bisa membuat bangsa ini terjebak dalam sikap narsis.

Pemahaman sejarah dimaksudkan sebagai penggalian nilai yang dalam setiap penggalan sejarah bangsa untuk dijadikan referensi hidup agar bisa bersikap kritis terhadap keadaan dan pemikiran dari bangsa lain. Sedangkan pemahaman tradisi dimasudkan sebagai jangkar untuk membentuk karakter diri sekaligus sebagai sumber kreatifitas membangun budaya alternatif di era global. Dengan cara ini rasa bangga sebagai bangsa akan tumbuh sehingga martabat bangsa akan dapat dikembalikan.

Salam kedamaian untuk NKRI!

Oleh: Al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis adalah seorang budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009

Related Posts

1 of 5