Berita UtamaPolitik

Membaca Situasi Indonesia, Denny JA: Ini Era yang Mudah Membagi Ketidakpuasan

NusantaraNews.co, Jakarta – Perihal pernyataan ahli ilmu politik luar negeri P.W Singer dalam bukunya “Ghost Fleet” bahwa Indonesia bisa lenyap di tahun 2030, peneliti Denny JA menilah hal itu agak berlebihan.

“Secara positif kita sebut saja prediksi novel itu berfungsi sebagai wake up call saja. Ada ahli yang dengan data dan ketajaman analisisnya sudah berkata: Hei, hati hati! Jangan terlalu santai. Negaramu bisa musnah!” tegas Denny dalam review berjudul “Indonesia akan “Musnah” di tahun 2030?” ujar Danny, Rabu (20/9/2017).

Simak: Prediksi Buku Ghost Fleet Soal Indonesia 2030, Denny JA: Agak berlebihan

Menurut dia, mengapa Uni Sovyet dan Jugoslowakia akhirnya musnah dan hilang dalam peta? Sebuah negara akan pecah atau hilang hanya mungkin karena beberapa variabel yang terjadi sekaligus.

“Ada ketidak puasan daerah, bisa propinsi, atau negara bagian. Itu mungkin karena kondisi ekonomi: misalnya pembagian kue nasional yang tak adil, dan kesejahteraan rakyat di wilayah itu menurun,” kata pendiri Lembaga Surviy Indonesia itu.

Baca Juga:  Momentum Perkuat Silaturahmi Idul Fitri, PT PWU Jatim Gelar Halal Bihalal

Bisa juga, tambah Denny, karena non-ekonomi: keragaman primordial atau ideologi daerah tak bisa diakomodasi atau malah dianak tirikan pemerintah pusat. Dengan sendirinya muncul gagasan yang meluas: jika wilayah kita berdiri sendiri, kita akan lebih baik. Ayo merdeka!

“Namun itupun harus terjadi dalam situasi pemerintah pusat mengalami perpecahan. Tak ada strong leader yang mampu melakukan “elite settlement.” Pada saat yang sama terjadi pula penurunan kapasitas ekonomi dan manajerial pemerintah pusat untuk membiayai akomodasi atas aneka tuntutan daerah, atau elit yang bersebrangan,” kata dia.

Jika itu situasinya, lanjut Dennya, hanya dibutuhkan sebuah picu. Baik yang alamiah, ataupun direkayasa, hanya oleh sebuah “event,” terbukalah kotak pandora yang membuat sebuah negara besar akan collopse, dan pecah menjadi beberapa negara kecil. Lebih celaka lagi perpecahan itu diwarnai kekerasan berdarah.

“Indonesia tentu belum separah itu. Namun sudah ada beberapa gejala yang mengkwatirkan. Sudah 50 tahun lebih sejak 1965, luka soal PKI masih membara. Pemerintah tak kunjung mampu memuaskan semua pihak yang bertikai untuk melakukan “elite settlement,” lalu bersama melupakannya,” hematnya.

Baca Juga:  SK Kwarda Jatim Terbit, Semangat Baru Bagi Pramuka Jawa Timur

Pemerintahpun membuat perpu yang secara sepihak tanpa pengadilan membubarkan sebuah ormas agama. Ini bukan saja dikritik oleh simpatisan ormas tersebut, tapi juga oleh lembaga internasional hak asasi manusia, sebagai kemunduran. Ketidak puasan pada kebijakan pemerintah mudah “digoreng” sebagai ketidak adilan primordial, dan menyebar lewat social media.

Pada saat yang sama, kata Dennya, bahkan lembaga resmi pemerintah, BPS, mengumumkan jumlah orang miskin bertambah. Pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Tapi jika orang miskin bertambah, apapun rasionalisasinya, itu sentimen negatif.

Menkeu membuat pula pernyataan publik bahwa kita “berhutang dalam rangka membayar hutang.” Walau kemudian, pernyataan itu dipercanggih dan diralat, tapi sentimen negatif juga meluas.

“Menurunnya kapasitas ekonomi yang terjadi serentak dengan ketidak puasan atas cara pemerintah mengelola kemajemukan primordial, itu hal yang rawan. Apalagi di era social media. Ini era yang mudah membagi ketidak puasan, bahkan dusta,” cetus Denny.

“Marilah kita berhenti bertikai yang tak perlu. Kompetisi politik hadapi dengan lebih rileks. Jokowi harus dipertahankan sampai 2019, sesuai pilpres yang sudah dijadwalkan. Jika ingin mengganti pemerintahan, harus lewat pemilihan umum. Upaya mengganti pemerintahan di luar pemilu hanya membuat negeri ini celaka,” serunya.

Baca Juga:  Kapolres Sumenep dan Bhayangkari Cabang Sumenep Berbagi Dukungan untuk Anak Yatim di Bulan Ramadan

“Perbanyaklah silahturahmi antar elit politik. Semua kita mungkin masih luka satu sama lain. Namun semua kita berkepentingan negara ini tidak menjadi negara yang gagal pada tahun 2030 nanti,” tadas Denny.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 16