Mancanegara

MEMBACA PERANG TANPA AKHIR DI SURIAH

Membaca perang tanpa akhir di Suriah
Membaca perang tanpa akhir di Suriah./Foto: CSIS

NUSANTARANEWS.CO – Membaca perang tanpa akhir di Suriah. Masalah utama yang kini membuat dunia melongo dan kehilangan akal sehat mungkin adalah bagaimana Amerika Serikat (AS), NATO, dan bahkan PBB jelas-jelas melindungi puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu teroris bersenjata berat dan canggih di Idlib, Suriah

Bagi pemerintah Suriah sendiri membebaskan provinsi yang kini menjadi pusat komando teroris Al-Qaeda yang memiliki persenjataan berat dan modern yang didukung penuh oleh AS/NATO/Turki dilapangan adalah hal yang hampir mustahil bila tidak dibantu dengan persenjataan modern Rusia, Iran dan Hizbullah.

Lalu bagaimana prospek kesepakatan gencatan senjata pada hari Kamis, apakah akan berhasil mengingat kegagalan gencatan senjata seperti yang sudah-sudah? Apalagi setelah AS memblok kesepakatan Dewan Keamanan tersebut pada hari Jum’at (6/3) dalam sebuah pertemuan tertutup, kata para diplomat yang hadir.

AS menolak mengadopsi pernyataan bersama yang disponsori oleh Vassily Nebenzia duta besar Rusia untuk PBB yang meminta dukungan 14 negara anggota lainnya, dengan alasan “terlalu dini”.

Meski begitu, langit Provinsi Idlib terlihat relatif tenang pada hari Jumat, tidak nampak jet-jet tempur melintas di hari pertama gencatan senjata dalam beberapa bulan terakhir – yang telah dicapai oleh Presiden Recep Tayyip Erdoğan dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Baca Juga:  Rabat’s Choice as World Book Capital, Recognition of Morocco’s Commitment to Culture – Ministry

Duta Besar Inggris Karen Pierce mempertanyakan bagaimana cara kerja dalam prakteknya, siapa yang akan memantaunya, dan bagaimana status Aleppo yang kini dikuasai Damaskus?

Sementara duta besar Jerman untuk PBB Christoph Heusgen hanya mengatakan: “Kita lihat saja nanti, apakah ini akan berhasil.” Jerman merasa prihatin dengan jutaan orang yang menderita di sana dan kami ingin melihat apakah gencatan senjata ini mengarah kepada semacam zona aman di mana orang dapat kembali dan mereka dapat bertahan hidup.

Presiden Suriah Bashar al-Assad sementara ini menyambut baik gencatan senjata tersebut dalam sebuah pembicaraan telepon dengan Presiden Putin pada hari Jumat. Sebelumnya, para diplomat Rusia telah mengisyaratkan bahwa mereka dapat menentang pengesahan perjanjian damai AS-Taliban di Dewan Keamanan menyusul penolakan AS terhadap gencatan senjata Rusia-Turki dalam konflik bersenjata di Suriah yang kini telah memasuki satu dekade yang menewaskan lebih dari 380.000 orang dan menyebabkan setengah dari populasi negara itu menjadi pengungsi.

Seperti diketahui, berkali-kali gencatan senjata yang disepakati di Suriah langsung dilanggar oleh para teroris Al-Qaeda bentukan AS-NATO dan sekutunya. Sejauh ini, AS dan Al-Qaeda telah menjalin kerjasama lebih dari dua dekade terutama sejak proyek “Balkanisasi” Yugoslavia pasca bubarnya Uni Soviet di penghujung abad 20.

Baca Juga:  NATO Terus Meningkatkan Tekanan Pada Serbia

Tidak dapat dipungkiri bahwa AS telah berinvestasi sangat besar terhadap Al-Qaeda, baik materi maupun persenjataan modern hingga hari ini.

Terkait dengan sikap penolakan AS terhadap kesepakatan gencatan senjata di Suriah – begitu pula para teroris, belum ada sejarahnya mereka melakukan sejak agresi proksi militer oleh rezim Obama ke Suriah pada Maret 2011.

Pada 2019 saja, Putin dan Erdogan telah bertemu sebanyak delapan kali untuk membahas penyelesaian konflik tanpa akhir di Suriah dan tidak menghasilkan apa-apa. Hingga Turki akhirnya melakukan agresi militer untuk melindungi para teroris Al-Qaeda dari gempuran skala penuh pasukan koalisi Suriah, Rusia, Iran dan Hizbullah.

Pada hari Kamis, Putin dan Erdogan mengumumkan hal-hal berikut yang disepakati:

  • Gencatan senjata di Idlib akan dimulai Pukul 01.00 dini hari pada hari Jum’at, di mana Rusia dan Turki akan berpatroli bersama-sama di jalan raya M4 yang strategis di provinsi tersebut.
  • Zona penyangga selebar enam km akan dibangun di kedua sisi jalan raya M4 pada 15 Maret.
  • Rusia dan Turki menegaskan dukungan terhadap kedaulatan Suriah dan integritas wilayahnya.
Baca Juga:  Pembantaian Warga Palestina di Gaza: Kekejaman yang Mencoreng Kemanusiaan

Bila AS, NATO, Israel, dan Arab Saudi tetap ingin menggulingkan Presiden Bashar al Assad, dan Turki ingin mencaplok bagian utara Suriah – maka bisa dipastikan perang tanpa akhir akan terus berlanjut. Karena akan berhadapan dengan aliansi Suriah, Rusia, Iran, dan Hizbullah yang bertujuan untuk pemulihan perdamaian dan stabilitas di Suriah.

Perang yang dimulai rezim Obama dan sekarang dilanjutkan oleh Trump, NATO, Turki, Israel dan Saudi untuk mengejar kepentingan mereka masing-masing – menjadikan prospek resolusi konflik di Idlib atau Suriah secara keseluruhan nampaknya hampir tidak ada dalam waktu dekat.

Dalam situasi seperti ini, prinsip-prinsip yang disepakati antara Rusia dan Turki di Moskwa kemungkinan besar akan gagal seperti sebelumnya – dengan menyalahkan Damaskus tentunya seperti yang lalu-lalu.

Presiden Bashar al-Assad sedikit memperoleh ruang bernafas untuk melakukan konsolidasi dan mempersenjatai kembali pasukannya untuk bersiap menghadapi pertempuran berikutnya.

Selain itu, selama pasukan AS dan Turki secara ilegal masih menduduki wilayah Suriah, keadaan perang tetap berlangsung, bahkan pasti dengan upaya gigih mereka melindungi para teroris Al-Qaeda. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,058