NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aksi kriminalitas yang dilakukan remaja atau anak di bawah umur tidak terlepas dari kurangnya perhatian orang tua terhadap buah hatinya. Kurangnya perhatian dari orang tua membuat anak jadi lepas kontrol.
“Kondisi ini didukung dengan sifat masyarakat yang memiliki psikologi agresif dan faktor keluarga yang sibuk sehingga gaya hidup modern tidak terkontol. Akibatnya, anak yang memiliki keinginan lebih ingin melakukan hal kriminal,” ujar pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati ketika duhubungi NusantaraNews di Jakarta, Sabtu (26/8/2017).
Selain itu, menurut Devie, kondisi tersebut bukti dari ketidakmampuan pemerintah menjalankan pendidikan secara gratis. Sebab, masih banyak biaya pendidikan seperti pembelian buku, dan seragam yang tidak gratis.
“Negara juga harus tanggung jawab, selain harus berikan pendidikan gratis, negara juga harus memberikan wadah yang bermanfaat bagi anak dan remaja. Seperti pembangunan GOR (gelanggang olahraga) dan fasilitas lainnya yang positif bagi anak,” ungkapnya.
Devie mengaku tak setuju jika dalam sebuah kasus pidana, kemudian anak menjadi pihak yang terhukum. Menurut dia, sekalipun dilakukan oleh para anak remaja, dan di bawah umur merupakan korbannya.
“Pemerintah baik pusat dan daerah menjadi tanggung jawab. Karena upaya pemberian hukuman kurungan tidak akan memberi efekjera, lebih baik rehab agar hukumannya menjadi terkontrol,” tuturnya.
Bagaimana pun, lanjut dia, orang tua merupakan mahluk sosial. Orang tua memerlukan teman dan butuh sandaran secara sosial dan psikis. Ketika menghadapi masalah atau dalam kondisi lelah namun tidak memiliki sandaran sosial maka orangtua menjadi rentan melakukan kekerasan atau penelantaran pada anak.
“Kembali lagi, anak yang menjadi korban. Tata kehidupan sosial kita saat ini sudah berubah,” ucapnya.
Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Ach. Sulaiman