Ekonomi

KSPI Tolak Kenaikan Upah Minimum 2019 8,03 Persen Sesuai Surat Edaran Menaker

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) mengakibatkan kembalinya rezim upah murah. Dengan adanya PP 78/2015 hak berunding serikat buruh untuk menentukan upah minimum hilang. Oleh karena itu, KSPI dan buruh Indonesia mendesak agar PP 78/2015 segera dicabut.

Karena itu, Said Iqbal menyerukan kepada kepala daerah untuk tidak memakai PP 78/2015 dalam menetapkan kenaikan upah minimum 2019. Selain itu, buruh juga mendesak agar Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2018 dicabut.

Baca Juga:

“Secara hukum PP 78/2015 melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tegas Iqbal, Jakarta, Selasa (16/10/2018).

Baca Juga:  LANAL Nunukan Berhasil Lepaskan Jaring Yang Melilit KM Kandhega Nusantara 6

Menurut dia, penetapan upah minimum yang dilakukan oleh Gubernur berdasarkan atas rekomendasi Bupati dan Dewan Pengupahan, yang didahului dengan survey pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, yang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang menyebut besarnya kenaikan upah minimum 2019 adalah sebesar 8,03 persen.

Dalam kaitan dengan itu, KSPI meminta para Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengabaikan surat edaran Nomor: B.240/M-Naker/PHISSK-UPAH/X/2018 Hal Penyampaian Data Tingkat Inflansi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018, tertanggal 15 Oktober 2018.

Apalagi, dalam surat edaran itu ada dugaan menaker mengancam Gubernur, Bupati, dan Walikota; apabila tidak menetapkan upah minimum sesuai dengan PP 78/2015 maka bisa diberhentikan sebagai Kepala Daerah.

“Bagi buruh tidak ada kaitan antara penetapan upah minimum dengan pencopotan kepada daerah. Kami menilai surat edaran Menaker tersebut sangat provokatif dan memancing suasana yang tidak kondusif di kalangan buruh di seluruh Indonesia, serta mencerminkan arogansi penguasa terhadap kaum buruh” kata Said Iqbal.

Baca Juga:  DBHCHT Sumenep Fasilitasi Jaminan Ketenagakerjaan untuk Petani Tembakau

Oleh karena itu, lanjutnya, KSPI mendesak menaker untuk mencabut surat edaran tersebut dan meminta kepada Kepada Daerah untuk mengabaikan isi surat tersebut.

Buruh Minta Kenaikan Upah Minimum Antara 20 – 25 Persen

Buruh terang-terangan menolak kenaikan upah minimum 2019 sebesar 8,03 persen. Sebab kenaikan sebesar itu akan membuat daya beli kaum buruh makin menurun akibat kenaikan upah minimum yang rendah.

Padahal secara bersamaan, di tengah melemahnya rupiah terhadap dollar dan meningkatnya harga minyak dunia, berpotensi mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan dan BBM jenis premium akan naik. Apalagi, sekarang pertamax sudah mengalami kenaikan.

Efeknya, apabila premium naik, maka akan menimbukan kenaikan harga-harga barang lainnya. Seperti harga kebutuhan pokok, transportasi, sewa/kontrak rumah, dan kenaikan harga-harga lainnya.

“Dengan demikian, kenaikan upah yang hanya 8,03 persen tidak akan memberikan manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil di tengah kenaikan harga-harga barang tadi, yang oleh doctor Rizal Ramli diperkirakan akan terjadi bulan Desember 2018. Padahal upah minimum mulai berlaku Januari 2019,” tegas Said Iqbal.

Baca Juga:  Pembangunan KIHT: Investasi untuk Lapangan Kerja Berkelanjutan di Sumenep

KSPI juga menolak keras apabila ada rencana pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium, karena akan lebih memukul daya beli buruh dan rakyat kecil akibat kebijakan upah murah.

Oleh karena itu KSPI mengusulkan kenaikan upah minimum adalah berkisar 20 hingga 25 persen, bukan 8,03 persen. Selain itu, upah minimum sektoral sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus tetap diberlakukan.

“Bila pemerintah tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh, buruh Indonesia akan mempersiapkan aksi unjuk rasa untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum tanpa menggunakan PP 78/2015 di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 3,169