NusantaraNews.co – Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa diperkuat dengan Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Sasaran kebijakan ini adalah masyarakat atau petani miskin tinggal di sekitar atau di dalam areal kerja Perhutani di Pulau Jawa.
Perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani diberikan dalam bentuk IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) di hutan lindung dan hutan produksi. IPHPS diberikan kepada Petani miskin utk jangka waktu 35 tahun. 5 tahun sekali Pemerintah akan mengevaluasi apakah Pemegang IPHPS melaksanakan kewajiban.Jika tidak, maka Izin tersebut dicabut. Setiap keluarga petani miskin memperoleh maksimal 2 Ha tanah hutan negara untuk dimanfaatkan.
Terdapat beberapa dampak positif kebijakan ini terhadap petani miskin. Yaitu adanya kepastian hukum hubungan petani dan tanah; peningkatan kondisi keadilan sosial bagi petani miskin; dan peningkatan kesejahteraan keluarga petani miskin.
Khusus terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga petani miskin, kebijakan perhutanan sosial melalui regulasi Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 membawa dampak positif.
Implementasi Permen LHK ini menyebabkan meningkatnya pendapatan keluarga pemegang Izin Pemanfaatan. Selama ini dengan luas lahan dimiliki petani miskin hanya maksimal 0,5 Ha, rata2 pendapatan mereka per bulan hanya Rp. 500 ribu. Jumlah ini tentu sangat memperihatinkan, rata2 per hari hanya mampu mengkonsumsi sekitar Rp.15 ribu. Sudah tentu miskin ekonomi, miskin pendidikan dan miskin kesehatan.
Tentu saja dengan perhitungan kasar, jika Petani miskin ini bisa mengelola 2 Ha lahan hutan negara, pendapatan keluarga mereka akan bertambah minimal menjadi Rp. 2 juta per bulan. Itu hitungan minimal! Bisa jadi, hingga Rp.10 juta per bulan. Sangat layak dan mengalami perubahan strata sosial, yakni naik ke strata menengah di wilayah perdesaan.
Kemudian, dari sisi peluang usaha petani miskin atau sumber mata pencaharian, Permen LHK ini akan menyerap setidak-tidaknya 4 kepala keluarga per 2 Ha. Diperkirakan dampak positif terhadap jumlah sumber mata pencaharian petani miskin mencapai sekitar 20 juta jiwa. Sangat banyak ! Pesebaran dampak positif ini tidak hanya di wilayah Provinsi Jawa Barat, tetapi seluruh Pulau Jawa, terutama di Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dari bentuk usaha petani penggarap areal hutan yang diberi izin pemanfaatan, petani miskin akan memiliki semakin beragam atau banyak pilihan. Sesuai ketentuan Pasal 5 Permen LHK No. P.39, kegiatan dalam IPHPS meliputi: 1) Usaha pemanfaatan kawasan; 2) Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman; 3) Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman. Usaha ini dilakukan di hutan produksi; 4) Usaha pemanfaatan air; 5) Usaha pemanfaatan enerji air; 6) Usaha pemanfaatan usaha jasa wisata alam; 7) Usaha pemanfaatan usaha sarana wisata alam; 8) Usaha pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung; dan 9) Usaha pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung.
Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini membawa dampak positif terhadap keanekaragaman atau jumlah pilihan usaha bagi petani miskin. Selama ini mereka punya pilihan sangat terbatas dan homogen dalam memanfaatkan areal garapan mereka. Tentu saja semakin banyak pilihan, semakin banyak sumber mata pencaharian dan pada gilirannya semakin meningkatkan pendapatan keluarga petani penggarap.
Walaupun kebijakan perhutanan sosial ini berdampak positif terhadap petani miskin, dan sangat besar, ada juga beberapa “orang bukan petani” di Jawa Barat menolak dan bahkan mengajukan uji materiil Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 idi Mahkamah Agung (MA). Mereka berupaya agar MA membatalkan berlakunya Permen LHK tersebut.
Beragam alasan mereka ajukan tetapi tidak faktual, dari mulai akan terjadi konflik horizontal hingga berkurangnya pendapatan Perum Perhutani. Mereka menilai kebijakan ini hanya dari sudut negatif saja. Mereka tidak mau melihat dari sudut pandang atau pemikiran positif, sebagai misal sekitar 20 juta jiwa minimal rakyat Pulau Jawa akan memperoleh manfaat dari kebijakan Pemerintah ini. Belum lagi dampak positif turunan lain seperti peningkatan pendidikan dan kesehatan keluar petani miskin.
Jika Permen LHK ini dibatalkan karena upaya beberapa orang bukan petani ini, maka masyarakat dan petani miskin di sekitar atau di dalam areal kerja Perhutani di Pulau Jawa, akan kehilangan momentum untuk terbebas dari kemiskinan struktural yang mereka alami sejak zaman kolonial Belanda. Namun, jika Tim Hakim yang menyidangkan permohonan uji materiil dapat memahami dampak positif Permen LHK ini terhadap kepastian hukum, keadilan sosial, dan kesejahteraan keluarga petani miskin di Pulau Jawa, maka tidak ada alasan untuk memenuhi permohonan uji materiil.
Demi merubah kondisi kesejahteraan keluarga petani miskin, MA harus menolak permohonan uji materiil tersebut.
Penulis: Hilman Haroen (Dosen Universitas Cokroaminoto Yogyakarta)