NUSANTARANEWS.CO – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Perancis dan Amerika Serikat selama 15 tahun terakhir telah mengeluarkan dana miliaran dolar untuk menancapkan kekuasannya di negara-negara Afrika seperti Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania dan Niger. Dana sebanyak itu digelontorkan untuk membiayai operasi militer di kawasan regional namun menemui kegagalan membendung gelombang kekuatan militan bersenjata.
Keberadaan pasukan PBB, Perancis dan Amerika Serikat malah justru memaksa warga setempat mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan karena janji kesejahteraan tak kunjung terwujud, setidaknya dalam 15 tahun terakhir.
Inisiatif G5 Sahel juga tak mampu berbuat banyak. Keberadaan pasukan keamanan justru membuat warga setempat semakin menderita dan kemiskinan tetap melanda mereka. Hal ini tentu tak terlepas karena operasi dilakukan hanya untuk mengamankan kepentingan imperialis dan kapitalis PBB, Perancis dan Amerika Serikat di tanah Afrika.
PBB, Perancis dan Amerika Serikat telah mengerahkan ribuan pasukan keamanan di Afrika, bahkan dilengkapi dengan peralatan perang yang canggih seperti drone.
Kini, inisiatif G5 menghadapi tantangan besar dari para militan yang membentuk kelompok pemberontak setelah sekian lama dipaksa mengangkat senjata oleh pasukan keamanan PBB, Perancis dan Amerika Serikat di Afrika. Sebagian mereka bahkan ada yang menyatakan diri bergabung dengan Al-Qaeda, ISIS, dan ISIL.
Sumber keamanan dan analis mengatakan, warga di Afrika terlalu kuat mengalamai penekanan dari kekuatan militer PBB, Perancis dan Amerika Serikat sehingga membuat mereka memilih jalan lain, yakni mengangkat senjata melakukan perlawanan daripada terus menerus hidup dalam kesengsaraan dan kenestapaan serta tanpa kejelasan masa depan.
Bahkan, komandan G5 Jenderal Didier Dacko mengakui melawan kekuatan para militan memang bukanlah perkara mudah dan membutuhkan waktu yang panjang meskipun dengan mengerahkan kapasitas operasional penuh.
Ambil contoh misalnya di Mali, ketegangan politik dan sosial telah membuat upaya perdamaian macet antara kelompok bersenjata dengan pemerintah. Para pemuda Mali lebih memilih angkat senjata melakukan perlawanan akibat tekanan militer asing dan pasukan pemerintah. Demikian pula halnya para petani, pengembala juga terpaksa mengangkat senjata karena mereka sering mengalami penyiksaan.
Di Burkina Faso, seorang juru agama terkemuka Ibrahim Dicko yang memiliki pengikut membuat gerakan bersenjata dengan menamai diri Ansarul Islam. Salah satu alasan mereka mengambil langkah ini adalah karena hak-haknya ditindas di sejumlah daerah yang diliputi kemiskinan yang akut dan meluas.
Khusus di Niger, Amerika Serikat telah mengirimkan ribuan tentaranya dengan dalih misi perdamaian dan memburu kelompok teroris yang menembak mati empat tentara AS bulan lalu saat berpatroli di Sahel. Padahal, agenda AS sesungguhnya adalah membidik kekayaan uranium di Niger. Sebab, negara yang berbatasan dengan Nigeria ini tercatat sebagai penghasil uraniaum nomor 4 di dunia. Perekonomian Niger sangat tergantung pada pertanian, peternakan dan cadangan uraniumnya yang merupakan terbesar keempat di dunia.
“Saya pikir, masyarakat lokal di Mali dan Niger merasa tealienasi dan bingung dengan tindakan pasukan keamanan. Masalahnya sekarang, di sana membutuhkan solusi politik dan G5 adalah kekuatan kecil karena kekurangan dana,” kata analis dari Universitas Georgetown, Alexander Thurston seperti dikutip Al Jazeera.
Selama ini, kehadiran G5 hanya sebatas pada operasi keamanan dan tidak menyadari kebutuhan akan pembangunan ekonomi jangka panjang, padahal inilah salah satu kunci terciptanya stabilitas di kawasan Afrika.
Sekadar informasi, Perancis masih menempatkan sekitar 4.000 tentaranya di kawasan Afrika. Belum lagi ditambah pasukan PBB dan Amerika Serikat. Saat ini, pasukan Perancis sedang konsentrasi melatih pasukan lokal untuk memburu militan bersenjata yang jumlahnya sekitar seribu yang beroperasi di perbatasan Mali, Niger, dan Burkina Faso. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews