Opini

Introspeksi Aktivis 98: Kemana Gerakan Mahasiswa (Bag. II)

Reorientasi Gerakan

Indonesia memiliki sejarah perlawanan oposisi yang panjang dengan gerakan mahasiswa sebagai unsur pentingnya. Dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia tercatat berbagai periode penting mulai dari gerakan mahasiswa 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, 1980-an dan 1998.

Mahasiswa menjadi elemen penting dalam setiap perubahan dan atau pergantian kekuasaan. Mahasiswa mempunyai kekuatan pendobrak karena relatif masih muda, memiliki kemampuan analisis masalah yang baik serta keberanian dan semangat juang menegakkan kebenaran.

Ironisnya, gerakan mahasiswa selalu berhasil mendorong eskalasi perlawanan, tetapi pada akhirnya terdegradasi perlahan sebelum mencapai tujuan. Gerakan mahasiswa selalu dimanipulasi oleh para pembonceng dan elit politik busuk bertopeng senioritas dan teori pembenaran, sehingga kini gerakan mahasiswa melemah kalau tidak boleh dikatakan menghilang.

Klaim gerakan mahasiswa dan energi yang tersisa malah terjebak secara menyedihkan untuk dukung-mendukung berbagai faksi elit dan atau kepentingan kelompok; yang seharusnya dipergunakan untuk melakukan pembelaan terhadap problem buruh, petani, dan sektor tertindas lainnya serta aksi-aksi menentang segala kebijakan ekonomi-politik penguasa yang salah.

Baca Juga:  Inggris Memasuki Perekonomian 'Mode Perang'

Konsolidasi demokrasi harus terus berjalan walau di bawah rezim yang “seakan humanis dan populis” yang terlegitimasi berbagai prosedural demokrasi. Bahaya otoritarianisme dapat muncul kembali bila tak ada kekuatan oposisi yang mumpuni dan terorganisasi. Gerakan mahasiswa dapat berperan sebagai katalisator dan provokator (memajukan kesadaran politik rakyat) demi menjaga dinamika dan arah kebijakan pembangunan negara.

Gerakan mahasiswa harus mampu menjadi gerakan politik yang bermoral; sebuah gerakan yang berpihak kepada rakyat dengan tuntutan ekonomi-politik yang jelas dan konsisten disertai dengan penerapan strategi-taktik, program perjuangan, dan pemilihan aliansi yang demokratik, cerdas dan tepat, juga tidak boleh menjadi subordinat kekuasaan dan atau pertarungan elit. Aksi, evaluasi dan refleksi kritis gerakan mahasiswa harus dimulai kembali sejak sekarang sebelum keresahan rakyat yang laten meledak dalam bentuk yang salah.

Gerakan mahasiswa dan para aktivisnya harus renungkan kutipan berikut ini: “Sebuah perjuangan yang sejati, yang lahir dari kedalaman keyakinan iman dan rasa tanggungjawab kemanusiaan, tidak akan gentar menghadapi konsekuensi dari perjuangan ini. Sejatinya, sebagai manusia saya lemah. Tetapi saya tidak dapat membiarkan diri buta hati terhadap saudara yang lemah, cemas dan gelisah. Apa pun konsekuensinya, saya senantiasa berjuang bersama mereka yang selalu kalah dan menjadi korban dalam derap langkah pembangunan negeri ini” (Pleidoi Rm. Frans Amanue Pr, Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka di depan Pengadilan Negeri Larantuka, 11 November 2003).

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Penulis: Ricky Tamba, Pegiat Jaringan ’98, mantan aktivis mahasiswa Gerakan Reformasi 1998

Catatan Penulis: Tulisan ini diketik ulang dan disebarluaskan kembali guna penanda pengingat sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, dengan perlunya pembaharuan data ekonomi-politik per 27/9/2017.

Related Posts

1 of 3