NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Nama Ferry Juliantono tentu sudah tak asing di mata publik. Ia kerap muncul di TV dan media massa. Ia juga diundang untuk menjadi pembicara di berbagai forum diskusi dan dialog.
Ferry adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Karir politiknya cukup mengkilap. Hal itu tentu tak lepas dari kiprahnya sejak mahasiswa.
Semasa menjadi aktivis, Ferry sangat aktif dalam berbagai kegiatan. Ia membela hak-hak petani dalam melawan pemerintahan dan kepentingan bisnis di Badega, Ujung Genteng, Cimacan di Jawa Barat dan daerah lainnya.
Di era orde baru, tepatnya tahun 1993, pria bernama lengkap Ferry Joko Juliantono ini sempat ditahan lantaran menentang kembali pencalonan Presiden Soeharto. Sedang di era reformasi, Ferry mengorganisir gerakan buruh dan petani; Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Indonesian Free Trade Union). Ia kemudian mendirikan Dewan Tani Indonesia (Indonesian Peasant Council).
Baca juga: Ferry Juliantono Percaya Kekuatan Doa dan Sosial Media Menangkan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019
Di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, Ferry pernah ditahan karena menentang keras kenaikan harga BBM. “Waktu itu, saya ditangkap di Kuala Lumpur sepulang dari Guangzhou,” kisahnya saat berbicang-bincang dengan NUSANTARANEWS.CO, Sabtu 27 Oktober 2018.
Ferry tak sendirian menentang kenaikan harga BBM era SBY. Tokoh kenamaan, Rizal Ramli juga sama seperti dirinya, menentang kebijakan yang merugikan rakyat tersebut. “Tapi, Pak Rizal Ramli nggak ditangkap, dan tidak ditahan,” kenangnya.
Peristiwa ini terjadi pada periode 2008-2009. Di tahun ini pula, bersama dirinya menjadi sekretaris jenderal Komite Bangkit Indonesia (KBI). Tujuan organisasi yang diketuai Rizal Ramli ini memperjuangkan gagasan yang mereka yakini dapat menggantikan jalan lama yang telah gagal menyejahterakan rakyat. Sialnya, gagasan besar yang dibangun itu justru mengantarkan dirinya ke penjara.
Ferry ditahan selama 9 bulan di rumah tahanan Mabes Polri lantaran menolak kenaikan harga BBM. Dan pada tahun 2009, Ferry berstatus tahanan kota berdasarkan keputusan pengadilan tanggal 24 Maret.
Baca juga: Bencana Kekeringan, Partai Gerindra Beri Bantuan Air Bersih di Sragen
Dia banyak bercerita tentang pengalamannya selama menghuni tahanan. Selepas itu, Ferry mengaku dirinya sempat ditawari bergabung dengan Partai Demokrat pada tahun 2010. Tapi, tawaran tersebut ditolaknya. “Awalnya Partai Demokrat. Tapi, tahun 2010 saya ditawar bergabung Parta Gerindra. Itulah awal mula saya masuk partai,” kisahnya.
“Dunia politik adalah jalur strategis dan prakarsa penting dalam mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa dan merupakan amanah konstitusi, yaitu bagaimana mencapai kemakmuran bagi semua rakyat Indonesia,” ucapnya.
Sebelum Pemilu Legislatif 2014, Ferry kemudian diberi kepercayaan menjadi Ketua Gerindra di Provinsi Jawa Barat. Selama kepemimpinannya, ia dianggap berhasil di mana Gerindra memperoleh peningkatan signifikan perolehan kursi dan suara di Pemilu Legislatif 2014. Tak hanya itu, saat Pilpres di tahun yang sama, Ferry berhasil memenangkan suara Prabowo-Hatta di Jawa Barat sebesar 60 persen.
Karena dianggap berhasil mengemban tugasnya di Jabar, pada tahun 2016 Ferry kemudian didapuk mengisi jabatan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Baca juga: Pemerintah Panik, Daya Kritis Masyarakat Diredam
Dalam perbicangannya bersama NUSANTARANEWS.CO, Ferry banyak mengkritisi sejumlah kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Termasuk soal sejumlah isu seperti kans kemenangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019, menyeruaknya Islamphobia, masuknya tenaga kerja China (TKA), pembubaran ormas, kebijakan reforma agraria yang salah kaprah, hingga persoalan perkembangan sosial media yang dalam waktu sekejap bisa merubah keadaan masyarakat.
Satu hal yang ditekankan Ferry, bahwa Partai Gerindra sangat dekat dengan organisasi-organisasi Islam di tanah air. “Kita punya hubungan yang sangat baik dengan ormas-ormas Islam,” katanya sembari menuturkan salah satu bahaya laten saat ini ialah Islamphobia. Kedua, memasukkan tenaga kerja asing. Ketiga, memasukkan tenaga kerja China.
Lebih lanjut, Ferry juga mengkritik kebijakan bagi-bagi sertifikat tanah yang kerap dipertontonkan Jokowi. Menurutnya, Jokowi tidak perlu membagi-bagi sertifikat kepada masyarakat karena hal itu pekerjaan eselon, bukan kerjaan seorang presiden. “Dan yang dimaksud reforma agraria itu bukan bagi-bagi sertifikat. Itu juga kerjaan eselon, bukan pekerjaan presiden. Jadi, nggak ada hubungannya,” kritiknya. Ferry khawatir Jokowi tidak paham apa yang dimaksud dengan reforma agraria.
Terakhir, Ferry mengatakan Partai Gerindra kini sangat percaya dengan kekuatan sosial media. Apalagi di tengah keraguan sebagian pihak soal potensi kemenangan pasangan Prabowo-Sandi pada kontestasi Pilpres 2019. Hal itu bahkan diakui sendiri oleh Ferry. Namun, kata dia, masyarakat sudah memiliki posisi tawar di sosial media.
“Kami menerima kenyataan, lillahi ta’ala, mengharapkan pertolongan Tuhan. Contoh Ahok yang katanya sangat kuat, toh bisa kalah. Kita yakin, dan berdoa saja. Abis mau gimana, kita oposisi, pas-pasan, mereka menguasai semua peralatan, media dan lain sebagainya,” urainya.
“Meskipun mereka memegang struktur, bukan berarti mereka sudah menang. Sosial media itu sebagai media perlawanan terhadap ketidakadilan pemerintah,” sambung Ferry.
“Gerindra percaya dengan kekuatan sosial media karena bisa merubah situasi dan keadaan, bahkan dalam waktu singkat. Media tergantung masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki sosial media punya otonomi dan kedaulatan atas pilihan mereka sendiri,” ujarnya.
Penulis: Eriec Dieda
Editor: Almeiji Santoso