NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah meminta kepada pemerintah untuk menyerahkan dokumen transaksi divestasi saham Freeport 51% kepada DPR agar persoalan menjadi jelas. Menurut dia ada hal yang disembunyikan pemerintah mengenai transaksi antara Inalum dengan Freeport, khsusnya mengenai dana utang yang digunakan PT Inalum untuk membeli 51% saham.
Baca Juga: Plin-Plan Soal Kasus Freeport, BPK RI Diminta Jawab, Ia Bekerja Untuk Siapa?
Untuk itu lanjut Fahri, harus ada audit segera guna memberikan rasa tenang kepada masyarakat Indonesia dan khususnya bagi masyarakat Papua tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik transaksi oleh Inalum.
“Karena di belakang Inalum ada transaksi yang tidak pernah dijelaskan kepada DPR. Siapa yang memberi utang? Bagaimana struktur utangnya? Siapa yang menjamin utang itu? Dan bagaimana struktur kepemilikan kita? Apakah saham yang 51% dijaminkan kembali sebagai bagian dari jaminan utang?”
“Nah karena itu kemudian perusahaan yang terlibat? Konsorsium mana yang terlibat? Sebab dugaan saya ini di belakangnya itu permainan antara pemilik saja,” ujar Fahri Hamzah sesuai menjadi pembicara pada diskusi Divestasi Freeport: Buntung atau Untung? Rabu (16/1/2019) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Baca Juga:
KLHK Sebut Rekomendasi BPK Agar Freeport Menyelesaikan IPPKH Telah Dipenuhi
Soal Rekomendasi BPK Nomor 9, KLHK Jatuhi 48 Sanksi Kepada Freeport
Dengan kata lain, ia menduga pihak pemilik yang justru memberikan pinjaman kepada pihak Inalum. “Ini konsorsium yang memberikan pinjaman sama dengan yang mau kita beli. Jadi ini dugaan saya,” jelasnya.
Dirinya mengibaratkan skema kasus devistasi Freeport ini seperti rentenir yang memberikan pinjaman kepada calon pembelinya untuk membeli barang si rentenir yang bersangkutan. Inilah yang menurut Fahri Hamzah harus dijelaskan sejelas-jelasnya kepada publik.
“Kalau mau jelas serahkan saja dokumennya kepada DPR dan saya minta KPK berinisiatif karena indikator ini kan nampak juga dalam perhitungan perhitungan yang sangat ilmiah,” kata dia.
Fahri menjelaskan, sejumlah indikator yang dimaksud antara lain pemerintah melakukan pembebasan kepada Freeport untuk membangun smelter. Kemudian adanya penundaan pembayaran deviden kepada PT Inalum. Pun demikian soal temuan BPK (Badan Pemerikasa Keuangan) mengenai kerugian negara sebesar 185 triliun yang dicabut.
“Sekarang KPK beralih dari audit lama, audit lingkungan yang dilakukan oleh BPK dengan kerugian 185 triliun itu kepada audit transaksi pembelian saham. Masalahnya itu kan pakai BUMN. Struktur kepemilikan aset BUMN kan tunduk kepada undang undang keuangan negara dan undang-undang BUMN,” jelasnya.
“Nah itu semua harus diikuti. Jangan sampai ada pihak pihak di situ yang ngambil untung. Kita seolah olah untung padahal kita sebenarnya cuma dipakai saja. Orang lain yang untung, kita buntung,” tandasnya.
Pewarta: Romadhon
Editor: Alya Karen