NUSANTARANEWS.CO, Seoul – Derasnya arus kecaman dan ancaman dunia internasional terhadap peluncuran rudal balistik Korea Utara memaksa Pyongyang angkat suara. Korea Utara menjelaskan motif di balik uji coba rudal balistik dan senjata nuklirnya selama ini.
Kim Jong-un seperti diwartakan telah meluncurkan kembali rudal balistik yang diduga Hwasong-12 pada Jumat (15/9) lalu. Hwasong-12 terbang melewati langit Pulau Hokkaido, Utara Jepang sebelum akhirnya terjun ke Samudera Pasifik. Ini adalah kali kedua rudal balistik Korea Utara melintasi langit wilayah Jepang, sekaligus menuai reaksi keras dari dunia internasional.
Hwawong-12 dikatakan menempuh jarak 3.700 kilometer (2.300 mil) dengan ketinggian maksimum 770 kilometer. Para pengamat bahwa rudal balistik itu bukan Hwasong-12 (rudal jarak jauh), tetapi rudal jarak menengah (IRBM).
Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan adalah tiga negara yang paling reaktif menanggapi uji coba provokatif Pyongyang ini. Ketiga negara lalu mendesak Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi keras kepada Korea Utara setelah sanksi pertama tak digubris. DK PBB juga turut mengecam.
Namun, Pyongyang akhirnya angkat suara terkait seluruh rangkaian uji coba rudal dan nuklirnya. “Tujuan akhir kami adalah untuk membangun keseimbangan kekuatan riil dengan AS dan membuat para penguasa AS tidak berani membicarakan opsi militer terhadap DPRK (Korea Utara),” kata sebuah pernyataan yang dikeluarkan kantor berita resmi Korea Utara.
“Kami harus secara jelas menunjukkan kekuatan besar bagaimana negara kami mampu mencapai tujuan menyelesaikan kekuatan nuklir meskipun ada sanksi dan blokade tanpas batas,” kata Kim, menurut KCNA.
DK PBB mengeluarkan sanski terbaru berupa larangan ekspor tekstil, membekukan ijin kerja bagi para pekerja Korea Utara dan menutup pasokan minyak. Hanya saja, dampak dari sanksi ini bergantung pada China dan Rusia. China adalah mitra ekonomi utama Korea Utara, sementara Rusia menampung puluhan ribu pekerja asal Korea Utara.
Lebih lanjut, analis Forum Pertahanan dan Keamanan Korea, Yang Uk mengatakan kepada AFP bahwa ambisi Kim Jong-un untuk mencapai keseimbangan militer dengan Washington terlalu jauh.
“Tidak realistis bagi Korea Utara untuk mencapai ekuilibirium dalam kekuatan militer AS,” katanya.
“Korut tampaknya telah menyelesaikan kesulitan teknis dalam meluncurkan rudal dari TEL. Dengan mobilitasnya meningkat, Hwasong-12 menimbulkan ancaman yang akan segera terjadi di AS dan sekutunya di wilayah tersebut,” tambah Yang.
“Dalam tiga sampai lima tahun, Korut diperkirakan akan mampu mengoperasikan rudal nuklir sebagai pencegahan,” sambung Yang.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan mitranya dari Perancis Emmanuel Macron bersama-sama mengajukan permohonan untuk dimulainya pembicaraan langsung dengan Korea Utara terkait persoalan rudal nuklir. Menurut Putin dan Macron, dialog adalah jalan satu-satunya untuk keluar dari krisis di semenanjung Korea. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)