NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sempat menjadi polemik dan perdebatan, akhirnya patung Guan Yu Chang yang bergelar Kwan Seng Tee Koen (Kwang Kong) di Klenteng Tuban, Jawa Timur ditutup. Penutupan patung panglima besar Cina ini dilakukan karena bangunan itu ditetapkan sebagai bagunan liar.
Doktor Ilmu Hukum UGM, Lukman Santoso AZ menjelaskan bahwa salah satu jenis bangunan bisa dikatakan sebagai bangunan liar, apabila bangunan itu tak memiliki izin dan didirikan di atas tanah milik negara.
“Jika bangunan itu di tanah pemerintah, maka bisa serta merta langsung dirobohkan. Siapa pemilik bangunan itu? Pemerintah atau swasta, sehingga bisa dikategorikan perbuatan melawan hukum (PMH). Jika itu milik swasta maka kategorinya bangunan liar,” kata Lukman saat dikonfirmasi Nusantaranews.
Lantaran tak mengantongi surat izin, maka pihak yang terlibat dalam peresmian patung itu, kata Lukman bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. “Nah, siapa yang meresmikan? Maka perlu diinvestigasi, yang meresmikan itu masuk perbuatan melawan hukum,” sambungnya.
Dirinya menambahkan atas alasan apapun, hal tersebut tentunya cacat hukum, karena setiap bangunan atau bentuk fasilitas apapun harus dibangun berdasarkan izin sebagai upaya mewujudkan kepastian hukum.
Idealnya dalam membangun sebuah patung raksana/icon apapun, lanjut Lukman, sebuah pemerintahan harus memperhatikan aspek kepentingan publik dan tata ruang wilayah. Khusus terkait Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang serta perda-perda terkait. Sehingga niatan membangun sebuat ikon sejarah dapat dipastikan tidak bertentangan dengan undang-undang serta kepentingan umum.
Kaitannya dengan patung Kwan Seng Tee Koen (Kwang Kong) sesungguhnya tak memiliki sangkut pautnya dengan sejarah di Indonesia. Menyoal tersebut, umat Khonghucu yang tergabung dalam Generasi Muda Khonghucu Indonesia menentang atas pembangunan patung di Kelenteng Tuban.
Baca Berita Terkait: Patung di Klenteng Tuban Tuai Pro-Kontra
Dalam hal ini, Ketua Presidium Generasi Muda Khonghucu Indonesia, Kris Tan menilai pembangunan patung di dalam Kompleks Kelenteng Tuban merupakan sikap yang tidak peka terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Karena dalam realitasnya, sosok Kwan Seng Tee Koen tak memiliki irisan sejarah dengan kepahlawanan di Indonesia.
“Tuduhan yang beredar bahwa itu diprakarsai oleh umat Khonghucu adalah sebuah kekeliruan dan fitnah besar bagi penganut Khonghucu,” ujar Kris Tan (6/8).
Ia menegaskan, dalam tradisi ajaran leluhur Tionghoa sama sekali tidak dikenal doktrin membangun ikon patung yang megah dan absurd yang bahkan menuju pada praktik-praktik menduakan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut dia, dalam tradisi Khonghucu yang menjadi substansi religiusitas dan spiritualitas seseorang adalah bukan pada penyembahan terhadap benda-benda mati.
“Melainkan itu harus diejawantahkan dalam mencontoh prilaku dan meneladani sikap yang ditunjukan oleh Kwan Seng Tee Koen (Kwan Kong) yang kebetulan memang figur yang dianggap sebagai tokoh yang menjunjung tinggi Zhi, Ren, dan Yong yaitu Kebijaksanaan, Cinta kasih, dan Kebenaran,” sambungnya.
Fenomena pengkultusan yang berlebihan, kata dia, justru telah menodai doktrin utama ajaran leluhur Tionghoa yang menyatakan “Tiada tempat lain meminta doa kecuali kepada Tian Tuhan Yang Maha Esa”.
“Maka Generasi Muda Khonghucu Indonesia gemaku.org mengimbau dan mendesak pihak Kelenteng Tuban untuk segera membatalkan rencana atau membongkar patung tersebut karena sama sekali tidak sesuai dengan prinsip tradisi etnis Tionghoa yang mengedepankan kemanusiaan dan cinta kasih. Dan daripada mencederai kehidupan berbangsa maka sebaiknya segera patung tersebut dibongkar saja,” katanya.
Editor: Romandhon