HukumPolitik

Soal Ambang Batas, Doktor Ilmu Hukum UGM Sindir Perilaku ‘Inkonstitusional’ DPR

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, maka Pemilihan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD akan dilaksanakan di waktu bersamaan (serentak).

Dengan demikian, pemaksaan presidential treshold 20 persen oleh pemerintah adalah bentuk pembangkangan terhadap amanat Mahkamah Konstitusi. Terlebih menjadikan Pileg tahun 2014 sebagai syarat pangajuan pencalonan presiden. Tentu ini merupakan cara berpikir yang ‘inkonstitusional’.

Doktor Ilmu Hukum UGM yang juga Dosen Hukum IAIN Ponorogo Lukman Santoso Az (20/7) merasa heran atas perilaku pemerintah saat ini yang tetap ‘ngotot’ memaksakan presidential treshold 20 persen.

“Kalau Pilpres dan Pileg dibarengkan sesui UU, maka itu (presidential treshold) ya gak pas,” ungkap Lukman Santoso saat hubungi Nusantaranews.

Dirinya juga tak habis pikir dengan cara perpikir elit penguasa sekarang yang telah dengan sengaja menganulir putusan Mahkamah Konstitusi.

“La iya, putusan MK kan jelas. Pemilu serentak. Berarti kalau serentak ya gak perlu treashold (ambang batas). Jika menghendaki ambang batas berarti putusan MK dianulir. Itu artinya putusan MK dihapuskan oleh UU Pemilu yang baru,” sambung dia.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Meski demikian, Lukman mengaku sudah tak begitu kaget dengan sikap ‘inkonstitusional’ para wakil rakyat di DPR. Pasalnya, tidak untuk kali pertama saja para petinggi negeri itu berulah, sebelumnya juga sudah ada kebijakan aneh soal UU Pertembakauan.

“Lah, sikap politik DPR kan sudah biasa begitu. Pasal tembakau aja dirubah, apalagi cuma presentase ambang batas,” sindirnya.

Dirinya juga tak menampik bahwa presidential threshold sebesar 20 persen semata-mata hanya untuk mendikte Pilpres 2019 dan demi memuluskan kepentingan para partai besar dalam menyiapkan calon presiden mereka.

“Logika yang dipakai adalah kepentingan partai besar terakomodir, sehingga partai punya bargaining posision untuk menyiapkan calon presiden,” katanya.

Semenatara itu, pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra (20/7) saat dikonfirmasi redaksi Nusantaranews menjelaskan bahwa putusan MK memang hanya mewajibkan pemilu serentak sesuai maksud pasal 22 E UUD 45. Akan tetapi, apakah itu secara otomatis meniadakan presidential threshold, Yusril dengan tegas berkata, tidak secara khusus putusan itu menyebutkan presidential treshold ditiadakan.

Baca Juga:  Aliansi Pro Demokrasi Ponorogo Tolak Hak Angket Pemilu 2024

“Namun putusan MK itu harus dipahami secara utuh dengan logika hukum yang benar, bukan logika politik dan kepentingan,” tegas Yusril.

Yusril menerangkan, jika pemilu dilakukan serentak dan presidential treshold tetap ada, bagaimana caranya menentukan presidential treshold itu? Karena itu, lanjutnya, keberadaan presidential treshold menjadi tidak mungkin dalam pemilu serentak.

“Pemerintah dan sebagian partai di DPR ngotot presidential treshold tetap ada, bahkan mau 20-25 persen dengan menggunakan hasil pemilu sebelumnya tahun 2014. Padahal hasil pemilu itu sudah basi, selain juga sudah pernah digunakan untuk Pilpres 2014 itu,” jelas Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu.

Pewarta/Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 9