Budaya / SeniCerpen

Aroma Kopi dan Asap Rokok

Cerpen: Agus Hiplunudin

Mulanya pertalian kasih antara Riah dan Diaz berjalan mulus, malah boleh dibilang romantis. Namun, belakangan ini mereka sering bertengkar. Usia pacaran mereka yang baru seumur jagung itu diwarnai percekcokan yang terkadang sengit. Begitu seringnya mereka bertengkar. Sehingga banyaknya pertengkaran di antara mereka sebanyak tiang listrik yang berjejer sepanjang jalan Desa Nameng. Adapun pertengkaran tersebut dipicu oleh sesuatu hal yang sepele —di mana Diaz banyak menghabiskan waktunya dengan menyeruput kopi dan menghisap rokok, dan hal tersebut membuat Riah geram, marah.

“Diaz, bisakah kamu jika sedang bicara denganku tidak sambil merokok dan ngopi?” Tanya Riah pada suatu pagi di teras rumah Riah, di Desa Nameng.

Namun, yang ditanya tidak menggubris. Diaz terdiam sambil memegang segelas kopi hitam pekat masih mengepul—yang masih menggantung antara mulutnya dan meja di hadapannya. Perlahan gelas itu menghampiri pasang bibir Daiz, dan Diaz menyeruputnya dengan nikmat. Riah nampak semakin gelisah.

“Diaz, apakah telingamu, sudah tuli?” Riah dengan nada bicara tinggi, menunjukkan kejengkelannya yang sudah menggebu dalam dadanya. Setelah meletakkan gelas berisi kopi, Diaz menyalakan sebatang rokok, dihisapnya rokok itu dalam-dalam, sambil memejamkan mata. Dan itu membuat Riah makin geram saja. Riah mengoceh!

“Riah, tidakkah kau bisa diam?” bentak Diaz.

Pertengkaran yang sengit antara mereka baru saja dimulai, yang berujung pada menangisnya Riah, yang ditinggalkan Diaz—dengan langkah tiada berdosa.

***

Malam pekat semakin larut. Seperti kopi pekat yang larut kedalam air panas. Desa Nameng nampak lengang dan sepi. Hanya tampak beberapa orang peronda yang sedang membuat perapian di depan pos jaga jalan desa simpang empat. Terlihat salah sorang dari peronda itu memukul kentongan sebanyak tiga kali—pertanda situasi aman tiada maling bekeliaran.

Malam selarut itu, Riah belum pula bisa memejamkan matanya. Sesungguhnya ia sangat mencintai Diaz. Namun pemuda itu begitu konyol, banyak menghabiskan waktunya dengan merokok dan mengopi. Bahkan terkadang Riah merasa dinomor duakan atau dinomor tigakan setelah kopi dan rokok. Riah menghela napas panjang.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Sesekali terdengar koar tangis bayi dari bilik rumah tetangga. Mungkin sang bayi merasa jengkel pada ayahnya yang tak mau melepas puting susu ibunya, dan ayah harus mengalah. Setelah menetek, bayi itu terdiam. Selanjutnya ia kembali tidur mendengkur. Riah nampak semakin gelisah. Tangis bayi yang barusan didengarnya menelisik ke relung hatinya, sebab hati kecilnya, ia ingin segera menjadi ibu. Menjadi ibu berarti menjadi perempuan yang sejati. Sebab sebaik-baiknya perempuan adalah seorang ibu.

Namun, Riah kembali terhenyak Ia kembali ingat pada kekasihnya yang pecandu rokok dan kopi itu. “Sayang, bukannya aku melarang kamu untuk merokok tetapi sayangilah kesehatanmu, rokok membuat paru-parumu bolong dan rusak. Pula dengan kopi, cafein membuat kamu kesulitan tidur, ia memaksamu begadang semalaman, dan itu membuat kesehatanmu memburuk,” gumam Riah, dan ia mendesah.

Dalam waktu yang sama

Dalam kamarnya. Diaz duduk di atas sebuah kursi di hadapannya sebuah meja di mana di atasnya tergeletak sebuah asbak. SWedangkang di samping kiri asbak tersebut tergeletak sebungkus kretek filter. Dan sebelah kanannya duduk manis segelas kopi yang telah dingin. Diaz tampak menikmati isapan-isapan rokoknya, dan meneguk kopi pada tegukan terakhir hingga tandas sampai dedak-dedaknya. Tampak, Diaz mengangkat pantatnya, ia menuju dapur, membuat kopi. Setelah itu ia kembali duduk di kursi yang sama.

“Riah kekasihku, tahukah engkau cinta dan rinduku melarut kedalam kopi ini,” gumam Diaz sambil menguncer kopi dengan sebuah sendok logam.

“Aroma kopi ini, sumerbak, sewangi cintaku padamu. Namun, hingga kini tak pula engkau mengetahuinya.”

Selanjutnya Diaz menyalakan kreteknya, menghisapnya dalam-dalam dan asap berhamburan dari lubang hidung dan mulutnya.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Riah, lihatlah asap rokok itu, tidakkah kau fahami? Asap rokok bagaikan sebuah tarian, aku melihat dirimu menari di dalam asap rokok itu,” gumam Diaz.

“Karenanya, janganlah engkau melulu mempermasalah rokok dan kopi, percayalah; rokok dan kopi adalah yang menjadikan cinta kita menjadi kian abadi!”

“Riah tidakkah kau mengerti! Aroma kopi dan asap rokok merupakan teman sejati manakala kita sedang dilanda sepi. Pula dengan asap rokok dan aroma kopi itu, menjadikan hidup kita kian gemilang, penuh inspirasi, dan kita akan terbebas dari rasa sunyi yang membunuh.”

“Bersama asap rokok dan aroma kopi, aku menjadikan engkau syair, cerita pendek, atau prosa. Dengan demikian tak sekejap pun aku melupakanmu kekasihku. Fahamkah engkau?” Diaz berbicara dan bertanya—seakan di hadapannya—ada Riah.

***

Pertengkaran Riah dan Diaz semakin hari semakin meruncing. Tak lain yang diperdebatkan mereka seputar kopi dan rokok; “Sekarang kau pilih siapa—pilih rokok dan kopi atau pilih aku?” Riah sambil terisak, ia menangis.

Diaz tertegun, seketika mulutnya bungkam. Perlahan tangan Diaz meremas bungkus rokok, dan ia menaburkan air kopi yang masih tersisa ke pekarangan. Melihat gelagat itu, Riah tersenyum menang.

Diaz tak lagi merokok dan ngopi. Namun, ia juga berhenti bicara, pekerjaannya hanya bengong. Membuat Riah khawatir. Diaz yang semula pandai membuat puisi dan jenis karya sastra lainnya—sekarang kemampuan itu sirna darinya.

Selang sebulan, Diaz hilang dari Desa Nameng, entah ke mana ia—tak seorangpun yang mengetahuinya. Riah merasa kehilangan. Riah mulai merindukan kekasihnya yang hilang, bersama hilangnya aroma kopi dan asap rokok itu.

Tak ada kesibukan bagi Riah, pekerjaannya saban pagi dan petang ia membuat kopi, bukan untuk diseruputnya, namun untuk ia hirup aromanya, dengan demikian Riah merasa, di mana kekasihnya lagi bersamanya. Dan saban pagi dan petang pula, Riah menyalakan sebatang rokok, bukan untuk dihisapnya, namun ia tatap berlama-lama asapnya, dengan demikian ia merasa bahwa Diaz sedang terduduk manis di atas asap-asap rokok itu.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Pada suatu tempat, Diaz tercenung kebingungan, sebab saban pagi dan petang di atas mejanya selalu ada segelas kopi siap dinikmati, dan sebatang rokok yang sudah menyala—siap dihisap. Diaz menundukkan kepalanya, ia sedang merindukan kekasihnya, Riah.

Panggarangan, Lebak-16-04-17

Agus Hiplunudin, lahir di Lebak-Banten, 1986. Ia lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Etika Administrasi Negara di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung juga menjabat sebagai ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di kampus yang sama. Sekaligus sebagai Direktur Eksekutif SAF (Suwaib Amiruddin Foundation) periode 2017-2019 adapun karya penulis yang telah diterbitkan: yakni: Politik Gender (2017) dan Politik Identitas dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi (2017)—diterbitkan oleh Calpulis Grahaliterata. Adapun karya sastra dalam bentuk cerpen yang telah diterbitkan di antaranya: Yang Hina dan Teraniaya (2015 Koran Madura), Perempuan Ros (2015 Jogja Review), Peri Bermata Biru (2015 Majalah Sagang), Audi (2015 SatelitePost) Demi Suap Nasi (2015 Koran Madura), Filosofi Cinta Kakek (2017, Biem.co), Ustadz dan Kupu-kupu Malam (2017, Biem.Co). Penulis bisa dihubungi di
[email protected] & 081-774-220-4

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 39