Prakarsa Tol Laut ini dimulai saat Jokowi kampanye Pilpres 2014. Saat itu Jokowi berjanji akan membangun Tol Laut dari Aceh hingga Papua. Konsep Tol Laut ini dimaksudkan Jokowi sebagai pengangkutan logistik kelautan. Tujuannya, untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di nusantara. Dengan adanya hubungan antar pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok.
Janji kampanye lisan Tol Laut ini tidak tertuang di dalam dokumen janji kampanye Nawa Cita, “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi -Jusuf Kalla 2014”. Konsep muncul terkait Tol Laut di dalam dokumen ini adalah bidang kemaritiman kemudian populer dengan konsep “Poros Maritim”.
Baca juga:
Jalur Sutra Maritim China, TKA China dan Program Tol Laut Jokowi
Geopolitik Indonesia di Mata China
Salah satu misi Jokowi-JK yakni mewujudkan Indonesia negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Di bidang kemaritiman ini, Jokowi berjanji:
1. Meningkatkan pelayaran perintis antar pulau.
2. Pengembangan industri perkapalan dalam negeri untuk menyediakan sarana tranportasi laut yang aman, efisien dan nyaman.
2. Pengembangan kapasitas dan kapabilitas perusahaan jasa kapal laut di Indonesia.
3. Pengembangan rute kapal laut menghubungkan seluruh kepulauan di Indonesia secara efisien termasuk pulau-pulau terisolasi.
4. Revitalisasi pelabuhan laut sudah ada, terutama pengembangan sebagai Hub Port berkelas internasional, Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, Bitung dan Sorong.
5. Membangun Dry Port.
6. Mendorong peran Pemda dan BUMD dalam pengembangkan transportasi laut dan sungai.
7.Penindakan hukum kapal-kapal asing yang melayani perairan nusantara.
8. Penambahan kapal pandu.
9. Penambahan jumlah route perintis yang dilayani (76 route).
Konsep Tol Laut dipertegas di dalam dokumen RPJMN 2015-2019. Jokowi berencana akan:
Pertama, mengembangkan dan membangun 24 pelabuhan hingga tahun 2019. Atas target ini, rata-rata pertahun dibangun sekitar 5 pelabuhan. Tiga tahun Jokowi berkuasa (2017) seharusnya telah terbangun 15 pelabuhan. Fakta, satupun belum terbukti. Gagal total!
Kedua, mengembangkan 210 pelabuhan penyeberangan. Pada dua tahun Jokowi jadi Presiden, baru terbangun dikembangkan 50 (sekitar 25%) pelabuhan penyeberangan. Sangat tak mungkin, waktu tiga tahun terbangun 75% lagi. Paling maksimal akan tercapai 35% lagi.
Ketiga, pembangunan/penyelesaian 48 pelabuhan baru selesai pada tahun 2016, dan direncanakan total 270 pelabuhan selesai pada tahun 2019. Pada akhir 2017, belum juga terselesaikan 48 pelabuhan baru ditarget selesai 2016 tersebut.
Keempat, pembangunan kapal perintis 50 unit, 60 unit dan 104 unit. Belum ada data dan fakta menunjukkan target tercapai. Kelima, pengembangan 21 pelabuhan perikanan, direncanakan 22 unit tahun 2016 dan 24 unit tahun 2019. Masih dalam janji, belum faktual.
Keenam, penyediaan armada kapal laut logistik nusantara untuk melayani wilayah Timur dan Barat. Ditargetkan 13 route. Pada 2017 sudah tercapai, tapi satu route belum berjalan. Masih syarat kendala dan belum tercapai pengurangan disparitas harga.
Sebagaimana disajikan di atas, Pemerintah telah menetapkan 24 pelabuhan sebagai simpul jalur Tol Laut. Sebagai pendukung, dibangun pula 47 pelabuhan non-komersil. Target pemerintah adalah sudah terbangun 100 pelabuhan pada tahun 2019. Pemerintah juga menyiapkan kapal untuk mendukung pelaksanaan program Tol Laut, yaitu 3 unit kapal di tahun 2015 dan ditargetkan akan mencapai 30 kapal untuk dua tahun terakhir.
Apakah terealisasi target pembangunan 24 pelabuhan dan 47 pelabuhan non komersial dan penyediaan kapal utk tol laut? Setelah Jokowi jadi Presiden lebih tiga tahun, fakta menunjukkan, masih jauh dari realisasi bahkan gagal memenuhi target untuk tahun 2017.
Baca juga:
Indonesia Poros Maritim Dunia, Antara Harapan dan Kenyataan
Apa Titik Fokus Visi Poros Maritim Dunia?
Mempertanyakan Posisi Indonesia Dalam Jalur Sutra Maritim Abad 21
Catatan Laksda TNI Untung Suropati Terkait Jalur Sutra Maritim Abad 21
Siswo Pramono: Konsep Maritim Kita Belum Jelas
Intelijen Maritim: Data Gathering dan Network Centeric Warfare
Tol Laut dalam pengertian program penyediaan armada angkutan laut ke kawasan Barat dan Timur, bukan saja bahan pokok dan bahan penting, tetapi kini juga barang kebutuhan daerah seperti air minimal, mie instan, barang elektronik, dan lain-lain sesuai kebutuhan daerah terkait.
Program Tol Laut menyediakan jaringan angkutan laut secara tetap dan teratur melayani angkutan barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan.
Adanya kapal melayani secara rutin dan terjadwal dari Barat sampai ke Timur dan sebaliknya diharapkan dapat menjamin ketersediaan barang dan mengurangi disparitas harga bagi masyarakat karena biaya logistik cukup tinggi.
Tol laut dimulai sejak 2015, dengan menjalankan enam trayek atau rute. Pd 2016 juga ada 6 trayek Tol Laut yang digunakan dengan penambahan pada pelabuhan singgah menjadi 31 pelabuhan. Pd 2017, pemerintah menyiapkan 13 trayek dan menjangkau 41 pelabuhan singgah guna menambah perluasan lokasi lain dalam Tol Laut. PT Pelni diberi penugasan dan subsidi puluhan triliun rupiah melalui Perpres untuk melayani 6 trayek, sedangkan 7 trayek lain kini dilayani oleh perusahaan angkutan laut swasta, melalui mekanisme pelelangan umum.
Kemenhub mengklaim, program Tol Laut ini telah menurunkan harga barang di kawasan Timur dan Barat antara 20-30%. Juga diklaim, pelaksanaan program Tol Laut ini efektif dan berdampak positif terhadap harga barang daerah sasaran.
Kemenhub selalu sepihak menunjukkan prestasi/keberhasilan program Tol Laut. Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, Kememhub klaim, telah membangun dan mengembangkan 150 pelabuhan laut, 50 lokasi pelabuhan penyeberangan. Tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, Kemenhub kembali klaim, terbangunnya tol laut terbukti mengurangi disparitas harga 20 sampai 40%. Hal ini sudah dirasakan masyarakat Kabupaten Rote NTT. Sejak ada Tol Laut, harga barang di daerah tersebut menurun 10-20%. Data Kemendag, harga semen Rp 55 ribu Agustus 2016 menurun 14% menjadi Rp 47,5 ribu Juni 2017. Bahan pokok seperti beras menurun dari Rp 14 ribu Agustus 2016 menjadi Rp 10,5 ribu Mei 2017.
Sebuah sumber menyebutkan data versi Kemenhub. Pemerintahan Jokowi telah menyelesaikan pembangunan dan pengembangan 91 pelabuhan, tersebar di 17 Provinsi di Indonesia. 80 pelabuhan dibangun di wilayah Indonesia Timur, 11 pelabuhan dibangun di wilayah Indonesia Barat.
Sumber lain menyebutkan, kemajuan tiga tahun pemerintahan Jokowi -Jk, juga ditunjukkan dgn Sarana Bantu Navigasi Pelayaran 368 unit, pembangunan kapal navigasi 20 unit, pembangunan kapal patroli 67 unit, penyelesaian pembangunan pelabuhan 104 lokasi dan pembangunan kapal perintis 13 unit.
Tetapi Kemenhub mengakui kendala. Pertama, muatan balik dibawa dari wilayah Timur ke Barat masih kurang. Evaluasi Oktober 2016 menunjukkan, muatan balik paling besar 20%. Sebagai contoh data November 2016, muatan balik trayek Tanjung Perak-Timika hanya 0,39%. Trayek Tanjung Perak-Merauke tidak ada. Trayek Tanjung Perak-Waingapu hanya 7,93%. Trayek Tanjung Perak-Biak tidak ada. Trayek Makassar-Babang juga tidak ada. Trayek Tanjung Priok-Natuna hanya 9,04%. Padahal subsidi Pemerintah untuk enam trayek jalan Tol Laut itu dalam APBN 2016 mencapai Rp 218,87 miliar.
Kedua, tak terjadinya perimbangan arus barang dari kedua arah, membuat Tol Laut secara komersial, operasionalnya menjadi harus ditanggung atau didukungan oleh Anggaran Pemerintah. Kalau seandainya terjadi perimbangan, operator swasta bisa mengambil alih Tol Laut ini, sehingga pemerintah bisa mengambil wilayah lain untuk dibantu.
Ketiga, armada kapal laut untuk Tol Laut digunakan tergolong besar sehingga membutuhkan kedalaman kolam pelabuhan tertentu. Kurang dalamnya kolam pelabuhan sehingga sulit bagi kapal besar bermuatan 2.500 teus untuk bersandar. Misalnya di Pelabuhan Belawan, kedalaman hanya 9 meter, padahal untuk kapal Tol Laut angkut 2.500 teus butuh paling tidak 12,5 meter. Pelindo III misalnya diberi tugas untuk menampung kapal-kapal besar, yang butuh kedalaman kolam pelabuhan 13-14 meter. Kolam itu mesti digali dan itu investasi besar. Siapa yang menggali? Tentu Pemerintah akan membebankan Pelindo bersangkutan.
Di lain pihak, ada pendapat, Tol Laut tidak mencapai target atau sasaran. Di antaranya Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba mengkritik program Tol Laut ini sangat tidak efektif. Dari sisi waktu operasional terlalu lama. Sekali operasi hingga 23 hari. Sementara kapal kompetitor bisnis hanya 7 hari. Kehadiran kapal Tol Laut ini dengan harapan menekan tingkat harga di daerah. Tapi, kalau waktu kedatangannya mencapai 23 hari, maka sama saja.”Tidak ada manfaatnya,” kata Gubernur Malut ini. Sembari menekankan, sementara ini harga barang di Maluku Utara tetap seperti sebelum adanya kebijakan Tol Laut.
Kemudian Staf Khusus Presiden Lenis Kagoyo, mengakui harga bahan pangan dan bahan bakar minyak (BBM) di Papua dan Papua Barat masih tinggi. Meski program Tol Laut sudah berjalan 3 tahun, masyarakat di Papua dan Papua Barat masih mengkritik. Tol Laut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, harga BBM tidak turun sesuai program Nawa Cita Jokowi.
Selanjutnya Ketua Komite Tetap Sarana dan Prasarana Perhubungan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Asmari Herry Prayitno: Dinilainya, sejatinya tol laut memang tidak berkorelasi langsung dengan harga barang. Perkembangan tol laut selama ini salah arah, karena tol laut hanya mengandalkan subsidi untuk menurunkan biaya angkut.
Pendekatan seperti ini tidak sustain karena ketika subsidi dicabut maka harga akan naik lagi. Saat ini saja harganya tetap naik. Sebagai contoh,
di Lirung Sulawesi Utara, daging ayam 14 Agustus 2017, harganya Rp 32.900, lebih mahal dibandingkan 14 Agustus 2016 (years on years/yoy) yang R 30.000. Cabai rawit dari Rp 26.250 harganya naik menjadi Rp 54.750 pada periode sama. Hal serupa juga dialami oleh komoditas pangan pokok lain.
Sesungguhnya, program Tol Laut ini sejak awal menuai kritik dan pesimistis bisa berhasil. Beberapa kritik dimaksud:
1. Prof Emil Salim: Emil mempertanyakan, darimana dana untuk membiayai program tol laut. Padahal Indonesia masih negara miskin.
2.Sri Sultan Hamengkubuwono X: Baginya, gagasan tol laut Jokowi hampir sama dgn Tol Laut milik Cina. Dia mengingatkan, jika Tol Laut Indonesia berkolaborasi dgn Tol Laut Cina, maka Indonesia membuka pintu lebar utk memasarkan produknya di Indonesia.
3. Direktur Indonesian Maritim Institute, Yulian Paonganan: Menurutnya, sejak zaman dahulu perairan nusantara sudah menjadi poros maritim dunia di mana kapal-kapal dagang dunia melintasinya. Ini artinya, konsep poros maritim didengungkan Jokowi menunjukkan ketidakpahaman atas substansi dan kondisi realistik geostrategis, geopolitik dan geoekonomi Indonesia.
4. Ketua Bidang Advokasi MTI Darmaningtyas: Baginya, sampai sekarang belum ada tanda-tanda mewujudkannya. Bila ditanya perkembangan Tol Laut, menjadi seperti kebingunan, mengingat konsep dan anggaran belum jelas.
5. Deputi Kordinasi Bidang Infrastruktur Komenko Kematitiman Firdaus Manti: Ia menyatakan, untuk memenuhi Tol Laut dibutuhkan belanja modal Rp 101,7 triliun guna beli kapal kontainer, kapal barang perintis, tanker, cargo hingga kapal rakyat. Anggaran tsb tidak bisa dipenuhi Pemerintah sepenuhnya khususnya dari pengurangan subsidi BBM.
6. Wakil Ketua DPR-RI Fadli Zon: Ia membuat catatan ekonomi akhir tahun 2017. Menurutnya, sepanjang tahun 2017 perekonomian Indonesia stagnan. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi pembangunan pemerintah yang menurutnya tidak jelas. Strategi pembangunan Jokowi tak konsisten. Misalnya, mengusung slogan pembangunan maritim, namun yang dibangun justru jalan Tol di darat.
7. Sekjen DPP Gerindra, Ahmad Muzani mengatakan, tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, ada beberapa catatan harus diperhatikan. Salah satunya, Tol Laut. Janji kampanye Jokowi untuk membangun Tol Laut, justru berubah di tengah jalan menjadi Tol Darat. Tol laut kemudian ketinggalan pembangunannya, bahkan seperti terabaikan dari janjinya. Tol Darat itu sesuatu tidak pernah dijanjikan oleh Jokowi saat kampanye Pilpres 2014. Anggota Komisi I DPR-RI ini juga menilai, janji kampanye Tol Laut justru cenderung diabaikan.
Bagi Tim Studi NSEAS, kinerja Jokowi urus Tol Laut bidang kemaritiman ini tergolong buruk dan gagal mencapai target terutama pembangunan 24 pelabuhan sesuai RPJMN 2015-2019. Tentu saja sangat tidak mungkin bisa mengejar keterlambatan hanya 1,5 tahun lagi.
Hal ini juga berlaku pada program Tol Laut terkait angkutan armada laut untuk mengurangi disparitas harga di kawasan Timur dan Barat. Bagi Tim Studi NSEAS, penurunan harga barang akibat pelaksanaan program Tol Laut tidak sebanding dengan besarnya pengeluaran anggaran negara dan BUMN, termasuk Pelindo. Bahkan, di Maluku Utara tidak ada penurunan harga barang. Di Papua dan Papua Barat juga harga barang masih tinggi. Tol Laut tak berpengaruh mengurangi disparitas harga barang.
Penulis: Muchtar effendi Harahap, Tim Studi NSEAS