Politik

Pengamat Sebut Debat Capres Edisi Kedua Ujian Janji Jokowi

game of thrones, perang dagang, winter is coming, pidato jokowi, nusantara, natalius pigai, annual meeting imf-world bank, nusantaranews, perekonomian global, kehormatan bangsa, nusantara news
ILUSTRASI – Pidato Jokowi tentang ‘Winter is Comig’ saduran dari film Game of Thrones. (Foto: Twitter/HBO Asia)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat sebut debat capres edisi kedua ujian terhadap janji Jokowi. Debat Pilpres kedua yang akan digelar hari ini, Minggu (17/2/2019) adalah ujian bagi capres 01, Jokowi atas janji-janjinya selama ini. Jokowi ditantang untuk bicara tentang realisasi janji politiknya ketika 2014 lalu, sebelum bicara tentang apa yang akan dilakukannya jika terpilih untuk periode mendatang.

“Jokowi harus menjelaskan realisasi janji dan kebijakannya terkait materi debat nanti malam. Jangan buat janji-janji baru atau bicara apa yang akan dilakukan nanti,” kata pengamat ekonomi Kusfiardi, Minggu (17/2/2019) dalam keterangan tertulisnya.

Menurut mantan Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) itu, seorang petahana perlu mempertanggungjawabkan kinerjanya selama ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik pada kontestasi pilpres berikutnya. Menurut dia, terkait materi debat kedua, banyak persoalan yang harus dijelaskan Jokowi.

Misalnya mengenai bertambahnya jumlah utang perusahaan milik negara. Menurut dia, utang tanpa diikuti meningkatnya kinerja keuangan perusahaan akan menimbulkan risiko. Mulai dari risiko gagal bayar sampai dengan ancaman pailit. Di antara risiko tersebut, ketika BUMN tidak bisa memenuhi kewajiban utang jatuh tempo, bisa berdampak pada berkurangnya aset. Jikapun tidak terjadi penyitaan aset, maka akan menurunkan nilai perusahaan secara ekonomi.

Baca Juga:  Irwan Sabri Serahkan Berkas Formulir Bakal Calon Bupati Nunukan Kepada PDI Perjuangan

“Bukan hanya itu. Lebih jauh lagi bisa berpengaruh pada kemampuan kerja perusahaan akibat berkurangnya aset,” jelas Kusfiardi yang juga mantan Koordiator Koalisi Anti Utang (KAU).

Beban utang yang semakin besar menuntut adanya peningkatan kemampuan perusahaan untuk menutupi utang jangka pendek. Selain itu, secara keseluruhan, dari pengelolaan operasional perusahaan milik negara, harus ada peningkatan kinerja keuangan. “Selain aspek keuangan tentu juga harus bisa memberikan dampak terhadap kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat,” ujar dia.

Jokowi harus bisa menjelaskan, seberapa relevan pilihan untuk membangun infrastruktur, terutama jalan tol, untuk kepentingan perekonomian nasional. Bukan justru mempermudah infiltrasi barang-barang impor.

“Pembangunan infrastruktur Jokowi ini bias kepentingan asing, bias untuk memudahkan mobilitas produk asing ke pasar nasional kita. Meskipun dikelola BUMN, namun logikanya masih seperti pedagang biasa. Buktinya, ketika BUMN bangun jalan tol, lalu jalan tolnya dijual. Jadi tidak menempatkan peran BUMN sebagai perusahaan negara untuk penyediaan barang dan layanan publik, sebagaimana diharapkan oleh konstitusi. BUMN seperti menggantikan peran swasta saja dalam memperjualbelikan layanan publik,” papar dia.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar Paripurna Laporan LKPJ Bupati TA 2023

Selain infrastruktur, sektor pangan sepanjang pemerintahan Jokowi juga bermasalah. “Pemerintah selama ini lebih memilih jalan pintas dengan impor. Tentu ini jauh dari harapan untuk memperkuat sektor pangan. Bahkan justru sebaliknya, memperkuat ketergantungan pada impor pangan dan menjadi ancaman bagi kemandirian kita,” urai Kusfiardi.

Sementara mengenai isu lingkungan hidup, menurut dia pemerintahan Jokowi tidak begitu serius dalam soal penyelamatan lingkungan. Pembiaran berlangsung terhadap perusahaan yang tidak mengelola limbah dengan lebih baik. Padahal jelas menimbulkan kerusakan lingkungan.

“Potret memprihatinkan tersebut contohnya terjadi pada Freeport. Kebijakan pengambilalihan Freeport oleh pemerintah selain berbiaya mahal kita pun harus menanggung kerusakan lingkungan akibat limbah tambang alias tailing yang tidak dikelola dengan baik.”

Dijelaskannya, temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada 2017, nilai kerugian lingkungan itu mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan lingkungan terjadi karena tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua.

Kerugian lingkungan di area hulu diperkirakan mencapai Rp 10,7 triliun, muara sekitar Rp 8,2 triliun, dan Laut Arafura Rp 166 triliun.

Baca Juga:  Aliansi Pro Demokrasi Ponorogo Tolak Hak Angket Pemilu 2024

“Masalah yang tidak dibereskan selama bertahun-tahun ini akhirnya menumpuk menjadi risiko lingkungan yang amat mahal. Saat negosiasi pengambilalihan Freeport, pemerintah pun mengabaikan isu lingkungan ini sebagai salah satu cara untuk menekan pihak Freeport dalam negosiasi divestasi,” ujar Kusfiardi.

Akibatnya, setelah memegang mayoritas saham Freeport lewat PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), pemerintah kini harus siap menanggung segala konsekuensinya.

“Lagi-lagi pemerintah meringankan kewajiban perusahaan dengan cara menambah beban kepada negara,” pungkasnya.

Pewarta: Romandhon
Editor: Banyu Asqalani

Related Posts

1 of 3,143